Senin, 28 April 2014

FACEBOOKERS MENGGETARKAN ISTANA






















THE GREATES EVER HOAX IN OUR CENTURY



29 Oktober 2010
1 Tahun Kriminalisasi Chandra Hamzah &
Bibit Samad Rianto


Segala macam praktik untuk merancang, membuat dan mereproduksi informasi adalah sebuah kekuasaan yang dapat menguasai, keniscayaan ini menjungkir balikan nilai apapun yang sebelumnya nyata menjadi isapan jempol. Ataupun sebaliknya dari sekedar isapan jempol justru menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Meski demikian ia hanya terbantahkan oleh kebenaran itu sendiri.
Dan Gibran

Pengantar Penulis

Buku ini seharusnya sudah lama, sudah lama mengemuka di hadapan majelis pembaca. Atau penonton setia “megasinetron” ; Ada Apa Dengan Century, atau apapun judulnya drama tentang kriminalisasi ini, dan dengan berbagai sekuel-sekuelnya, semisal Ketika Cicak Bersaksi, Ketika Cecunguk Berkuasa, Ketika Century Bersandiwara, ketika...dan ketika lainnya lagi.

Berikutnya dan berikutnya bahkan sampai ada yang mengatakan “KCB” Ini sepertinya menjadi film panjang. Bahkan, kalau dipenggalah bisa mencapai “KCB 100”. Tentu anda tidak perlu percaya informasi itu. Sebab kamipun malas menanyakannya pada “sutradara” dan terutama sekali produser film tersebut. Memangnya siapa juga yang mengaku menjadi sutradaranya???. Lagi-lagi bahasa lugas seorang komentator di group Gerakan 1.000.000 facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto (seharusnya Rianto).

Tidak terasa, waktu bergulir begitu cepat, detak semakin berdetik, searah jarum jam roda-roda perubahan terus menggilas. Meski ada yang tak berubah-ubah. Yakni. Bahkan sampai hari ini. Persoalan kriminalisasi Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Ini seolah menjadi kebiasaan! jika bukan kebiasaan melenyapkan! Kebiasaan membungkam, kebiasaan meminggirkan. Maka pilihan lainnya adalah Mengkriminalisasi.

Dan satu yang pantas untuk anda catat. Hampir satu tahun, peristiwa pemenjaraan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Namun tetap saja menyisakan persoalan bagi kita. Bahwa ternyata “drama” ini masih terus berjalan. Ia tidak usai ketika Chandra Bibit keluar dari penjara, dan dipulihkan kembali menjadi pimpinan KPK.

Bahkan sebagian aktivis ICW, Kontras, Petisi 28, Gerakan Indonesia Bersih, FesBI (Forum Silaturahmi Facebookers Indonesia), KOMPAK, Sekber Masyarakat Sipil, Masyarakat Transparansi Indonesia, dan banyak lainnya. Ataupun juga anda yang berhimpun di group-group penekan bagi keadilan di republik facebook. Merasa bahwa SKPP bagi keduanya, Chandra Bibit, adalah “jebakan batman”. Yang longgar di depannya, untuk kemudian di ujung lainnya ia akan mudah memerangkap mereka kembali. Terbukti Pengadilan Jakarta Selatan memenangkan gugatan Anggodo SKPP Chandra Bibit yang dari awal memang dianggap lemah.

Serta-merta nuansa-nuansa ini memberikan kejelasan bagi kita bahwa “sinetron” ini sesungguhnya. “Utak-atik” perkara.

Facebookers, sebenarnya sebuah entitas majemuk, ia berasal dari ranah realitas dunia maya. Yang bila dikalkulasikan, ia jenis masyarakat namun jangan kecilkan artinya jika mereka sudah berwadah dalam suata wacana tertentu. Dan

Dan sampai disini, anda mungkin akan merasa heran, buku ini sangat di sengaja untuk menampilkan gaya “buku biasa” karena, dibuat oleh seorang facebookers maka, gaya yang kami sajikan. Miripp-mirip bahasa celetukan, seloroh bahasa komentar-komentar.

Sesungguhnya ia menyajikan Genuinitas. Keaslian dari karakter bahasa sehari-hari dari para facebookers. Awalnya konsep BUKAN BUKU BIASA (B3) ini sebenarnya diniatkan kumpulan komentar, namun karena dirasa sangat kurang berkenan kehadiran wilayah intelektual orang-orang cerdas nan pintar. Maka kami sajikan sedikit panjang-panjang meski. Ia juga sebenarnya susunan Gerundelan yang sengaja diperpanjang durasinya. Oleh kami. Usman Yasin dan Dan Gibran.

Terlebih lagi bahwa tanpa beban kami tetap ingin memberikan celotehan ini kedalam sebuah “Buku”. Bukan hanya agar terlihat sedikit pintar. Namun sejujurnya. Agar ia lebih kelihatan “Angker” Sok kritis dan apapun celotehan orang lainnya yang mencelotehkan, celotehan kami.

Dengan kerendahan hati, kami juga ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya pada banyak kawan-kawan facebookers dan banyak  lagi. Diantaranya pihak yang sudah kami gadang-gadang namanya di Group kebanggaan kami, diantaranya Mas Chandra Marta Hamzah, Pak Bibit S. Rianto, dan keluarga besarnya.

Serta Mas Sutrisno Bachir yang sudah mendukung beberapa kegiatan kami. Juga  Mas Effendi Gazali, Adhie Massardi, serta banyak lainnya yang mungkin akan sangat panjang sekali kami sebutkan satu persatu.











Bab 1
Ketika Cicak Bersaksi
Disarikan dari berbagai Sumber Facebookers
 

























Mau tahu “sinetron” terbesar sepanjang sejarah reformasi yang ditunggu jutaan pemirsa. Begitu kata Arham Kendari yang kemudian dengan kreatifnya ia mengekpresikan bentuk “pemotretannya” kedalam sebuah poster Film.
Bahwa ekpresi semacam ini adalah juga bentuk Kegeraman pada realitas yang tengah terjadi dalam masyarakat. Potongan gambar diatas ini adalah ungkapan ekpresi dari seorang Aktivis Online  dan juga facebooker yang sangat aktif. Ia adalah potret dari rangkaian Kriminalisasi KPK. Sekaligus potret “jujur” yang kemudian ia kreasikan dalam bentuk suntingan-suntingan Poster sebuah film.
Tapi yang patut kita cermati adalah. Betapa bahwa betapa kita semua memang benar-benar sadar bahwa kita semua adalah “cicak-cicak” yang menjadi saksi-saksi dari jalannya Cerita diatas cerita yang sesungguhnya. Bahwa realitas cerita yang sebenarnya bisa saja melahirkan berbagai kesaksian-kesaksian lainnya yang kemudian seolah tak henti-hentinya memberikan luapan-luapan dan kalau boleh menyebutnya sebagai letusan-letusan amarah, kegeraman, rasa dongkol, atau juga dukungan, ataupun juga sekedar Komentar. Karena kita para pemirsa yang menyaksikannya.
Tapi ia bukan juga sebuah tontonan belaka melainkan juga sebuah film kolosal yang mengikut sertakan pemirsanya menjadi bagian dari sinetron itu sendiri. Ini tentu saja Unik. Loh Kok bisa?! Dan pada tengah Babaknya. Dukungan para “figuran-figuran” atau yang biasa di sebut sebagai EKSTRAS. Berhasil membebaskan Chandra dan Bibit.
Tak urung ia dimanakan “MEGA SINETRON”. Karena pastinya akan mengundang animo yang sangat besar, sekaligus menanjaknya ratting dari  tayangan ini. Tiap episode seolah memberi daya tarik yang tak ada habis-habisnya di pergunjingkan masyarakat facebooker dan banyak lagi aktivitas online lainnya. Yang kesemuanya ikut ambil bagian untuk masuk menjadi pemain. Sekalipun figuran atau ekstras tadi.
MEGA SINETRON ini juga realitas yang sebenar-benarnya. Ini pula kegelisahan yang berkembang di masyarakat bahwa Keadilan begitu mudahnya dipermainkan. Bahwa KEADILAN bisa seenaknya ditarik ulur. Bahkan dengan kemampuan dan akses tertentu pada kekuasaan Segala perkara bisa ditarik atau diulur untuk sekedar mengganti frasa “diperjualbelikan”. Sehingga dari sana kita dapatkan pula istilah MARKUS. Makelar Kasus.
Sampai saat ini ‘megasinetron’ Ketika Cicak Bersaksi atau Cicak vs Buaya masih tetap tayang tiap hari di hampir semua layar televisi. Atau kita tahu bahwa sesekali ia seperti Iklan yang menghiasi. Karena ujung pangkalnya masih tak bertepi. Tayangan ini menarik perhatian hampir semua lapisan masyarakat. Infotainment-pun ikut-ikutan menayangkan kasus ‘perselingkuhan’ yang terjadi dalam epidose Cicak vs Buaya ini. Tidak kalah seru dengan adegan sinetron terkenal seperti Cinta Fitri.
Ada tangisan Antasari Azhar, kelakar Kebohongan seorang Kepala Kepolisian RI dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan DPR, ada penjahatnya (mafia kasus/markus), ada intrik cinta dan perselingkuhan, konspirasi, siaran live di pengadilan, dan adegan-adegan lain yang melibatkan emosi pemirsa. Lebih seru! Lebih seru dari sinetron kebanyakan Kawan!. 
Ketika Cicak Bersaksi nampaknya meraup penonton yang jauh lebih banyak daripada megafilm Ketika Cinta Bertasbih. Data ini sederhana saja. Indikasinya bisa dilihat dari pemirsa yang mendengarkan siaran Live. Dibukanya rekaman penyadapan Anggodo di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Pemirsapun belum bisa meramalkan bagaimana akhir cerita ini. Sang sutradara begitu lihai dalam mengaduk-aduk emosi pemirsa. Belum jelas kapan episode terakhir akan ditayangkan. Belum ada yang mengetahui apakah film ‘KCB’ ini akan happy ending atau masih terus to be continued tanpa akhir yang jelas. Atau bisa saja berhenti tayang karena disensor oleh lembaga sensor dan screening model baru! Misalnya penyadapan harus diatur, atau sesekali ada Iklan berjalan seperti teroris yang memang juga sama-sama patut ditertawakan lantaran sama-sama memuakan. Apakah megasinetron ini disponsori oleh ‘Century Bank”  dan akan melibatkan ‘artis’ papan atas seperti Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani? Atau lebih atas lagi? Semua masih samar. Prediksi-prediksi seperti ini makin menambah penasaran pemirsa di seluruh nusantara sehingga tetap setia mengikuti alur cerita Ketika Cicak Bersaksi ini.
Apabila kasus ini usai, mungkin akan ada rumah produksi yang akan me-film-kan peristiwa bersejarah ini. Semoga tayangan ’sinetron’ megakolosal ini  bisa menjadi titik awal perbaikan hukum di Indonesia. Ada sedikit kekhawatiran  apabila pemeran antagonis dalam ‘KCB’ ini menjadi pahlawan ketika film ini berakhir  akan bisa memicu kemarahan rakyat yang berujung pada people power untuk menuntut keadilan.

***

Negeri Para Bedebah

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor
menjatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang
Yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !

Adhie M. Massardi
 


***







***



***
Getaran 1.000.000 Facebookers Pasca Reformasi ‘98
Pagi itu perasaan gemes, gregetan bercampur amarah menyelimuti hampir semua mahasiswa seluruh Indonesia, pikiran polos, lugu dan lucu itu nampak pada raut muka seluruh mahasiswa yang pada waktu itu diselimuti ketegangan, satu malam penuh ketegangan terasa disaat saya dan seluruh mahasiswa Indonesia berada di dalam gedung DPR/MPR tahun 1998 waktu itu.
Pagi hari itu perasaan yang sama masih menyelimuti hampir seluruh area Gedung DPR/MPR harapannya hanya satu, yaitu menurunkan REZIM Soeharto, Rezim yang begitu diktator pada saat itu, berkat kerja sama dengan tujuan yang sama antara mahasiswa dan seluruh rakyat indonesia, harapan itupun akhirnya terwujud ketika Soeharto melepaskan singgasananya yang begitu kuat selama 32 tahun berkuasa, begitu banyak korban berjatuhan, mereka merelakan dirinya kehilangan semuanya termasuk nyawa demi kejatuhan Rezim Soeharto.
Setelah semua harapan itu, euforia pun muncul diseluruh benak Rakyat Indonesia yaitu Reformasi ‘98, agenda demi agenda Reformasi digulirkan oleh semua elemen Bangsa dengan harapan pasca Reformasi ‘98 kehidupan negara ini akan berjalan lebih baik termasuk tatanan demokrasi.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah kenapa kita aktivis mahasiswa 98 terlalu gembira dengan kehadiran yang mengatas-namakan tokoh Nasional pada waktu itu, bukankah akhirnya mereka pulalah yang menjerumuskan kita kedalam jurang kehancuran?Akibatnya terjadilah kecelakaan sejarah dimana tidak ada pemikiran mahasiswa yang melegenda, yang ada hanya lompatan–lompatan membabi buta di berbagai gerbong politik, dan harapan–harapan semu yang mungkin dijanjikan oleh yang katanya tokoh Nasional  pada waktu itu.
Celakanya lagi pemikiran kebangsaan kita telah dikotori oleh oknum-oknum aktivis gerakan mahasiswa yang daya pikirnya terkontaminasi oleh para konspirator dan hasilnya kita semua hanyalah stuntman sejarah, sistem pemerintahan makin kacau, demokrasi bisa dikendalikan oleh mafia2 politik yang didominasi oleh pemain2 lama termasuk tokoh2 lama yang berkedok Reformasi, hukum di negeri ini bisa dikendalikan oleh kekuatan–kekuatan politik binaan ORDE BARU adalah kenangan yang sangat memilukan .
Pasca ’98 Musuh Besar Masih Korupsi
Kasus yang paling aktual menghentakan kita seluruh rakyat Indonesia saat ini adalah terkuaknya kebobrokan penegakan hukum pasca Reformasi 98 mungkin kasus ini menjadi salah satu kejadian paling buruk dalam perjalanan kehidupan bernegara ini, walau faktanya kejadian ini telah lama berlangsung.
Pemilu tahun 2009 menjadi pemilu paling bersejarah dimana tidak hanya pemilihan umum secara langsung tetapi juga kemenangan Rakyat secara keseluruhan yang menghasilkan 1 kader terbaik anak Bangsa, terlepas adanya penyelewengan & kekacauan proses PEMILU termasuk persoalan DPT. Kasus ini berjalan tanpa ada keputusan dan hasil apapun yang bisa memberikan jawaban terhadap teka teki kekisruhan PEMILU 2009 yang selama ini muncul dibenak seluruh Rakyat Indonesia, yang terjadi hanyalah pemulusan sistematis terhadap kemenangan PEMILU 2009.
Jika Moral Force menjadi hilang dan tidak ada sama sekali karena terlalu euforia terhadap keberhasilan PEMILU secara langsung tidak bisa memberikan jaminan pemerintahan yang baik jika tidak ada orang yang mau peduli untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat, jika didalamnya terjadi penyimpangan. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa kita tidak usah repot memikirkan Negara karena sudah terwakili melalui mekanisme partai yaitu terpilihnya anggota DPR/MPR yang merepresentasikan kepentingan Rakyat namun tidaklah demikian, yang ada representasi itu telah dirusak oleh kepentingan partai melalui proses koalisi yang menciptakan tirani koalisi berkesinambungan.
 Setelah se-orang ketua DPR bisa merubah dengan seenaknya sistem yang sudah ada dimana bila dimungkinkan pertemuan2 komisi dengan pihak pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari sang ketua, kepentingan penguasa  akan di back up  oleh yang mendukungnya termasuk terbentuknya tirani koalisi  di parlemen. Jika yang menjadi oposisi terlalu kecil maka sudah dipastikan tirani koalisi akan begitu mudah mengapresiasi seluruh kepentinganya termasuk kepentingan pribadi, roda Pemerintahan akan berjalan menjadi tidak sehat.
Walau ada anggapan picik bahwa Gerakan Mahasiswa sekarang ini sudah tidak relevan lagi tetapi buat saya sebagai mantan aktivis gerakan mahasiswa berharap bahwa Kekuatan Mahasiswa harus dibuktikan melalui Pikiran – pikiran kebangsaan yang sehat dengan tdk mau menerima uang atau janji apapun dr orang-orang yang tidak jelas disaat Gerakan Mahasiswa mulai bergulir. Selama gerakan mahasiswa sifatnya masih transaksional tidak akan pernah melahirkan Gerakan Mahasiswa yang begitu masif, Gerakan yang ditakuti oleh Penguasa yaitu Gerakan murni yang dilakukan oleh Mahasiswa sebagai kaum muda yang bersih, berhati nurani dan terbebas dari prilaku transaksi terhadap apapun dan siapapun.
Suara Murni Dari Facebookers
Fakta yang paling menghentakan kita semua adalah peran dunia maya melalui FACEBOOKERS, mereka datang dengan tidak ada titipan dari siapapun mereka bebas berekspresi menyuarakan kegundahan-kegundahan melalui Facebook, ±1.200.000 facebookers adalah sebuah angka yang tak bisa dianggap remeh oleh penguasa,
Coba bayangkan jika 1.200.000 facebookers turun bersama dengan kekuatan mahasiswa Jl. Jend. Soedirman – Thamrin dan memblokade jalan selama 8 jam, Bayangkan akibatnya bagi Jakarta sebagai denyut nadi pusat perekonomian dan pemerintahan, bayangkan pula selama itupula pengaruhnya pada pasar Bursa. Apalagi ada “ide liar” untuk memusatkan demo di depan Bursa Efek Jakarta (BEJ). Naga Bonar Bilang : Matilah kau!
Saya teringat dengan obrolan ringan warung jalanan” bahwa proses Rekruitmen yang jelek akan menghasilkan kinerja jelek.” Ini hanyalah ungkapan biasa yang semua orang jika mendengarnya akan tersenyum kecil, namun jika kita dalami ternyata ungkapan biasa itu telah terbukti pada hasil PEMILU 2009 belum juga genap 100 hari memimpin dan menjalankan program-programnya musibah itu akhirnya terkuak juga. Kasus penahanan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto atau kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polisi Republik Indonesia (POLRI) / Cicak vs Buaya, menjadikan inspirasi bagi seluruh Rakyat Indonesia melalui dunia maya yaitu Gerakan 1.000.000 Facebookers mendukung Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
 Target minimalnya adalah bahwa dalam kehidupan bernegara ini telah terjadi kesalahan yang tidak bisa kita maafkan, betapa tidak akibat terkuaknya kasus kriminalisasi KPK oleh  POLRI akhirnya bisa menyadarkan dan membuka mata batin kita semua, terlepas siapa yang bersalah dan siapa yang benar, starting pointnya adalah telah terjadi kebobrokan yang begitu sistematis yang selama ini tertutupi oleh aura karismatis sang penguasa.
Proses hukum yang sekarang berjalan begitu kacau dimana semua lembaga penegakan hukum telah terjadi penyelewengan yang tak bisa kita tolerir, upaya–upaya penyelesaian dan mediasi melalui proses hukum sepertinya makin hari makin tak jelas ujungnya, tak ada kontrol apapun yang bisa menyelesaikanya seperti terhadang oleh tembok besar.
Team 8 bentukan Presiden dijadikan lokomotif utk mengakomodir kegundahan dan kemarahan Rakyat terhadap penyelesaian kasus hukum di Negeri ini yaitu kasus korupsi yang melibatkan PT MASARO dan yang tidak kalah hebohnya yaitu kasus bail out PT. BANK CENTURY dimana uang negara diselewengkan untuk mengobati penyakit Bank Century yaitu 6,7 trilyun yang di gelontorkan tak jelas kemana rimbanya. Indikasinya dana itu terpakai untuk pendanaan PEMILU 2009 yang dimanfaatkan oleh segelintir orang dan PARTAI.
Rekomendasi DPR pada waktu memberikan suntikan ke Bank Century adalah 1,6 trilyun Rupiah, tapi yang terjadi pembengkakan pengucuran uang Rakyat sebesar 6,7 trilyun rupiah. Atas dasar inilah, seharusnya kita Rakyat Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap uang yang 6,7 trilyun bukan hanya pada kasus penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, atau Susno Duaji yang merekayasa kasus itu, tetapi siapa yang menginginkan rekayasa itu dibuat?.
Apakah itu dilakukan oleh petinggi Negeri ini untuk menghindari keterlibatannya dalam kasus Bank Century?, atau ketakutan yang luar biasa akibat pendanaan PEMILU yang diambil dari uang haram?. Seorang petarung atau kontestan akan melakukan berbagai macam cara untuk bisa memenangkan pertandingan termasuk menghalalkan segala cara, dan ini selalu dilakukan oleh pecundang yang khawatir kemenanganya akan direbut oleh orang lain.
Bahaya yang sekarang harus kita waspadai adalah pengontrolan pemikiran dan sentimen publik yang terus menerus dilakukan melalui opini – opini yang dibangun oleh para pakar dan pengamat yang sengaja ditempatkan penguasa diluar sistem, termasuk didalamnya melalui partai atau media dan kampus–kampus. Disadari atau tidak, strategi inilah yang paling jitu dilakukan penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya.
People Power Dari Facebookers
Kembali pada kasus yang sekarang, yaitu perseteruan Cicak vs Buaya, KPK vs POLRI, Kejaksaan & Komisi III DPR RI, ataupun proses penangkapan dan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, Susno Duaji dan Anggodo, ataupun tuntutan dibebaskanya mas Bibit dan mas Chandra dan dihukumnya Anggodo dan Susno Duaji. Ini hanyalah bagian dari pembentukan opini untuk mengalihkan isu – isu yang lebih besar lagi, yaitu adanya indikasi mengalirnya uang haram ke salah satu partai demi kemenangan PEMILU.
Atas dasar kasus ini saya berpikir bahwa perlu ada mekanisme, ”PEOPLE POWER” yang mungkin lebih besar dan hebat dari thn ‘98 tanpa adanya pertumpahan darah dan menghindari konspirasi kedua oleh tokoh-tokoh yang mengatasnamakan kejujuran dan moralitas, People Power harus dilakukan langsung oleh rakyat, mahasiswa dan media dalam hal ini (situs jejaring sosial Facebook) secara simultan menuntut pertanggung jawaban Presiden atas kekisruhan para penegak hukum yang terjadi saat ini.
Keberadaan KPK didasari pada UU bukan pada kepentingan Penguasa dimana KPK tidak begitu saja  dianggap sebagai musuh bersama eksekutif maupun legislatif melainkan alat kontrol yang bisa dipakai demi pemerintahan yang bersih dari KKN, karena ini adalah komnitmen yang kita bentuk pasca Reformasi 98 yaitu terbentuknya pemerintahan yang bersih .
Upaya pelemahan KPK berjalan terus tanpa ada kontrol dari siapapun jika pada waktu itu kasus Bibit dan chandra tidak bergulir ke publik atau pemutaran rekaman demi rekaman korupsi di Negeri ini. Terlepas dari itu semua Rakyat dan Mahasiswa harus melakukan langkah konkret dengan tidak menggantungkan harapan lagi pada lembaga-lembaga perwakilan yang sudah ada karena jika keadaan ini terus kita biarkan, Negara ini akan semakin kacau dan masa depan bangsa ini akan ditentukan oleh para koruptor dan menjadi tdk sehat jika korupsi berjalan terus.
Sekali lagi saya harapkan PEOPLE POWER adalah salah satu alternatif untuk mengatasi kebuntuan persoalan Bangsa ini. Jika ini tidak dilakukan, maka setiap ada persoalan apapun yang terjadi di negeri ini tidak akan ada yang bisa menyelesaikannya kecuali mereka yang berada dilingkaran kekuasaan artinya ORDE BARU jilid II akan kembali berkuasa, jika PEOPLE POWER terjadi semua lembaga hukum harus di reformasi termasuk POLRI, POLRI harus berada di dalam Departemen Dalam Negeri untuk menghindari pengaruh kekuasaan PRESIDEN karena selama ini POLRI langsung dibawah PRESIDEN sehingga keberadaan POLRI hanya menjadi alat PENGUASA.
Mari kita bangun Bangsa ini Menjadi Bangsa yang adil dan makmur terbebas dari budaya Korupsi Kolusi & Nepotisme (KKN), agar siapapun orangnya yang memiliki kompetensi bisa menjalankan kompetensinya dibidangnya masing–masing dan akan menciptakan iklim investasi yang sehat, jika iklim investasinya sehat maka para investor akan berdatangan berinvestasi di Negara kita.
(Sopan Ibnu Sahlan ; Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Satyagama Jakarta angkatan 1997 - 2000 ).
***
 




















***

Anak...ku..
tangis pertama mu terdengar...
saat negeri tercinta ini sedang gundah...
saat rakyatnya menanti kearifan sang raja...
malam itu...
kunamakan kau Bibit Chandra...
ku tau dia bukan malaikat apalagi dewa...
dia hanya manusia biasa...
seperti kita...
punya salah dan khilaf...
hanya rakyat jelata...
yang sering tak berdaya...
di depan bapak penguasa...

Elang Gurun 

komentar salah seorang pendukung Groups Gerakan 1 Juta Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Bibit Chandra Bukan Malaikat

Bibit Chandra Memang Bukan Malaikat, kita sama-sama tahu Bibit Chandra jelas juga bukan dewa. Tapi yang sangat jelas dan dapat dilihat tanpa perlu kacamata pembesar apapun untuk melihatnya adalah keduanya terlanjur ”dikriminalisasi”. Keduanya dibuatkan tuduhan yang sangat terasa sekali aroma dibuat-buat. Sangat kental sekali muatan dan REKAYASA.

Wajah hukum begitu memilukan sekaligus juga memalukan ketika pemimpin ini negeri ini juga justru terasa mampu di buat plin-plan oleh aktor-aktor yang mengelilingi. Mungkin ada pembisik, mungkin juga ada pembesuk. Mungkin ada orang dekat atau mungkin juga bagian lingkaran dalam pat gulipat.

Maka serta merta membuat kita, yang merasa perlu memberikan pembelaan adalah ketika dongeng tentang kebenaran menjadi terlihat sangat begitu lugas dan polos ternyata masih pula ingin di belok-belokan oleh segelintir manusia-manusia yang kebetulan memegang kendali kuasa atas peradilan dan hukum di negeri ini.

Rakyat terlanjur percaya bahwa akal-akalan untuk menjebloskan Bibit Chandra adalah upaya untuk mematikan upaya pemberantasan korupsi. Desas-desus kanan kiri nian terbukti ketika Mahkamah Konstitusi memperdengarkan secara terbuka rekaman. Cukong-cukong yang sejauh ini memang sudah terlanjur ”nongol” ke permukaan.

Bahwa cukong-cukong tadi memang teramat biasa bergaul dengan punggawa-punggawa hukum kita, penegak keadilan di republik ini terlanjur akrab, bahkan menyisakan pertanyaan kecil ketika semakin jelas dan terang benderang jangan-jangan cukong-cukong ini sudah terlanjur dicinta.

Bahwa mereka melakukan upaya untuk menyerang Bibit Chandra. Bahkan yang sangat menyayat hati kita semua dengan teganya mereka untuk sampai hati berniat ”tak pateni” kepada Bibit Chandra.

Aktor-aktor tersebut ternyata belum juga dapat dicarikan bukti bahwa mereka bersalah. Aktor-aktor tersebut justru mendapatkan keleluasaan untuk hilir mudik di depan hidung mereka, seolah mereka berkantor dan berasrama disana ditempat semestinya mereka di BAP dan bukan diservice dan dilayani bak majika. Apa lacur kata rakyat mungkin sudah terlanjur Cinta. Terlanjur sayang. Bukan lagi terlanjur akrab atau cuma terlanjur dekat seperti kisah Antasari dan Rhani.

Desas-desus cinta dalam hal ini, dengan sangat jujur saya katakan bahwa ada ”rahasia” terdalam yang dimiliki cukong-cukong ini yang apabila mereka di BAP kan atau di perkarakan atau di majukan, atau apalah definisinya yang jelas diperkarakan. Mereka akan bernyanyi, dan nyanyian tersebut adalah hal ihkwal yang ”berbahaya”.

Lalu kembali ke persoalan utama, mengapa sejauh itu rakyat terus dan terus mendukung. Bahkan tercatat kemudian angka difacebook pun melampui satu juta suara. Bahkan lebih. Mengapa? bahkan Rakyat Indonesia antusias membela. Bahkan anak dua belas tahunpun turut lantang menyuarakan dukungannya dengan memberikan komentar.. dan berderet-deret lainnya.

Dukungan ini bukanlah dukungan main-main. Ketika rakyat merasa bahwa; pertama, ada sandiwara hukum yang sungguh mempermalukan wajah keadilan, bahkan menistakannya. Kedua bahwa sejauh ini Indonesia, yang akrab dengan praktik-praktik korupsi menitipkan suara dan kegelisahan mereka pada KPK. Alih-alih mendapatkan ”kriminalisasi” spontanitas suara-suara itu berduyun-duyun datang bak air bah. Untuk mengatakan HENTIKAN!

Ketiga, wajah Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang notabene mendapatkan raport minus untuk Korupsi seolah merasa tak penting menempatkan suara rakyat dan menempuh prosedural an’sich tanpa tedeng aling-aling seolah sedang serius menjalankan proses secara benar. Yang belakangan semakin membuat mereka kikuk sendiri. Dan tentu saja lagi-lagi mereka alpa bahwa, rakyat masih dianggap sebagai saksi bisu.

Dan keempat, terminologi Cicak-Buaya memainkan peran penting membangunkan sentimen ”wong cilik” yang terus menggema sebagai bentuk perlawan akan kriminalisasi. Bibit Chandra yang pimpinan KPK saja bisa di penjara apalagi kita, orang biasa yang tak punya kuasa. Begitu komentar Andreas Octaputra. Dan boleh anda catat, suara yang persis sesirama dengan Andreas Octaputra, nampaknya ada ribuan. Mungkin juga puluhan ribu.

Dan kelima, rakyat terlanjur percaya bahwa kriminalisasi terhadap kedua petinggi KPK itu justru adalah sebuah pembusukan politik (polical decay) yang sepertinya ingin ditutupi oleh petinggi-petinggi Polri dan Kejagung, dengan semakin terendusnya aroma ”Centurygate”. Yang mengisyarakatkan sebagai main issue yang bisa jadi menautkan kepada atasan yang lebih tinggi lagi dari sekedar petinggi Polri dan Petinggi Kejagung.

Seorang Bapak dengan nama nick Elang Gurun di facebook menamakan Anaknya Bibit Chandra, jelas bukan ingin mendewakan nama mereka, Bibit Chandra jelas bukan malaikat,. Bibit Chandra seperti halnya Prita, dan kita semua yang mewakili rakyat biasa berhadapan dengan ”beringasnya” aparat hukum kita, penegak keadilan bagi kita yang terasa kental berkawan dengan bandit-bandit pengatur perkara.

Bibit Chandra jelas bukan Malaikat. Tapi jelas rakyat mampu melihat dengan jelas siapa ”Setan”-nya. Facebooker jelas bukan nama-nama apalagi karuan seperti karut sengkarutnya DPT yang memalukan. Justru ketika rakyat sadar se-waras-warasnya mereka tidak sedang membela malaikat. Tapi Rakyat jelas melihat dengan mata kepala mereka sendiri masih bergentayangannya ”Setan” gundul yang belum tertangkap juga.

***

Untuk di ketahui, marak beredar sebuah manuscrip skenario kriminalisasi. Dan bahan yang di sajikan oleh Rina Dewright ini sungguh membangun sebuah anggapan yang makin lama, semakin liat. Dan dari tulisan yang memang banyak beredar inilah menjadi sumber dan sekaligus asumsi-asumsi. Meski sedikit bernuansa gossip politik. Namun, isi dan beberapa fakta yang ada dalanm tulisan ini boleh jadi mendekati kebenaran dari rummor yang berkembang selama ini. Dalam anggapan kami isi dan content tulisan ini is too Good To be True...
Berikut adalah tulisan bebas dari penulis yang keberadaannya misterius tersebut.

HOT ISSUE

Fakta di Balik Kriminalisasi KPK dan Keterlibatan ISTANA


Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.

Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY.

Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.

Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.

Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.

Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu, dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY  (tentu saja tidak mungkin diam) terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan, suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.

Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI [seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknum KPPU dalam masalah Lippo-enet/Astro, dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya].

Para konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun mereka minta agar kasus BLBI , dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK. Jalur pintas yang mereka tempuh untuk “menghabisi Antasari “ adalah lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari- Maret 2008 semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah wartawan brodex – wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan. Ada dana yang sangat besar untuk membayar media, di mana tugas media mencari sekecil apapun kesalahan Antasari. Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari.

Nyatanya, tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak berhasil.

Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut, justeru malah menjadi-hadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator–operator Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra Sampurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya kampanye SBY.

Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.

Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan menjerat Antasari.

Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia (induk Rajawali Putra Banjaran). Antasari minta data-data tersebut, Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi PT RNI ditangkap KPK.

Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak Antasari.

Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.

Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga Nasrudin.

Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.

Chandra dan Bibit

Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.

Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau 180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara melalui Century oleh inner cycle SBY.

Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.

Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.

Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).

Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para konglomerat hitam, serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislative dan presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar.

Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menangkap Anggodo! Meski belakangan terbukti yang menangkap Anggodo memang harus KPK.




 





























***


Simbolisasi Cicak Dan Buaya Di Mata Facebookers

Dan Gibran dan Bambang Adi


Dalam sejarah peradaban manusia, pemakaian simbol binatang menjadi perlambang ‘kehebatan’ sangatlah lazim. Negara, perusahaan, institusi, atau apalah, begitu menjadikan fauna sebagai imaji metafora. Jika tidak percaya ambil saja contoh partai besar-partai besar yang mengambil simbolisasi fauna.

Cicak adalah hewan melata yang hidup di antara bumi dan langit, berkulit lembut dan halus, merayap dengan ke empat kakinya yang mempunyai daya pereka sejenis senyawa keratin yang juga ada di rambut manusia peneliti dari Universitas Calivornia Barkeley menemukan ada sekitar 500ribu bulu halus di telapak kakinya yang berukuran antara 30 sampai 130 mikro meter kekuatan melekatnya di timbulkan oleh daya van der waals dengan daya lekat 10 atm hasil pengukuran dari alat atomic force microscope, luar biasa, sehingga bisa merayap dan mencari nafkah dan hidup di tembok yang licin, permukaan kaca yang licin, mungkin juga di tiang listrik tegangan tinggi yang juga benar-benar licin. Soal licin ini memang Cicak ahlinya.

Makanan utamanya nyamuk penghisap darah tak pandang nyamuk penghisap darah sehat, atau nyamuk penghisap darah yang kena virus nyamuk tetap melahap semuanya. Cicak hanya hidup di satu alam, cicak bagi sebagian orang mungkin menggelikan tapi kebanyakan orang malah bisa di jadikan bahan mainan anak anak. Kemanfaatanya bagi manusia mengurangi populasi nyamuk dengan tanpa meracuni dunia dengan obat kimia.

Uniknya pada saat terancam dia rela melepaskan bagian ekornya yang sebenarnya sebagai peyeimbang pada saat merayap supaya bisa berlari kencang dan itu bagian yang cukup vital baginya dengan tanpa rasa ragu di putuskanya bagian tubuh yang sangat berharga itu.

Buaya hewan bertumpu di keempat kakinya yang berkuku tajam, berkulit kasar dan keras tapi bagus tahan banting, anti sobek, banyak manfaatnya, bisa untuk dompet, tas, dll. Buaya memangsa daging atau pemakan bangkai yang liar makanya banyak sekali jadi pastilah badanya besar panjang menyeramkan, buaya hidup di semak semak dan bereproduksi di tempat gelap kotor dan pengap buaya hidup di dua alam yang sangat ekstrem bisa ditempat basah ataupun kering atau yang di hutan belantara atau tengah kota metropolitan. Merski ebrbanding tebalik dengan kemanfaatannya karena termasuk hewan langka yang harus dilindungi akan tetapi bukan kemanfaatanya.

Yang menyebalkan, buaya justru dikonatasikan negatif. Kecuali, lidah buaya, tapi istilah buaya darat, air mata buaya, buaya pasar, sampai pribahasa, ”lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya”, sekiranya berderet tipologi makna metafora negatif.

Pandangan Facebookers Tentang Cicak dan Buaya

Adalah Facebooker yang berinteraksi dalam jagat jejaring sosial yang mempunyai kesamaan tujuan perjuangan dan pemahaman tentang fenomena kehidupan social yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, karena sifatnya yang spontanitas dan tanpa punya keterikatan organisatoris itulah para anggota face book yang lebih banyak di kenal sebagai facebooker lebih bisa leluasa dan independen dalam berpendapat dan bersikap tanpa ada pengaruh arahan platform atau atauran aturan yang ada seperti yang terjadi dalam keanggotaan lembaga atau organisasi dimana kebersamaan dan kesamaan ide pandangan dan sikap merupakan sesuatu yang di paksakan. Karena system keanggotaan yang terbuka dan setiap saat dengan gratis bergabung menjadi anggota facebooker itulah pertumbuhan facebooker akan sangat cepat apa lagi dalam menyikapi hal hal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakt banyak.

Dan facebooker ini adalah sekelompok ”denyut” yang merupakan produk dari perkembangan teknologi yang terkini yang tanpa pernah di sadari akan menjadi satu fenomena social yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia salah satunya kehidupan politik di Indonesia.

Cicak Di Mata Facebookers

Facebooker ada yang individual dan ada yang berkelompok nah khusus yang bergabung di dalam group Gerakan 1.000.000 facebooker dukung Chandra Bibit, ini menempatkan diri seiring dengan apa yang tengah di perjuangan KPK yang dalam tulisan ini disebut CICAK yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia, Mengapa pemberantasan korupsi merupakan suatu agenda yang menyatukan jutaan facebooker di Indonesia bukankah banyak hal lain yang juga merupakan kegiatan penting dalam penegakan hukum di Indonesia, contoh pemberantasan pembalakan liar. Ilegal fishing, pemberantasan teroris, hal ini terjadi karena di mata face booker korupsi adalah kejahatan penghianatan dimana pengkhianatan merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat melukai dan menzolimi rakyat dengan bentuk yang langsung serta berdampak sangat luas terhadap kehidupan sosial bangsa ini.

Makanya perjuangan yang sedang di lakukan oleh binatang yang namanya cicak ini dimana begitu menyedodot simpati yang luar biasa yang mana karena kehidupanya yang berada diantara langit dan bumi sudah semestinya bersih dari kotoran tanah, atau segala bentuk kotoran yang ada dimuka bumi karena dia tidak menginjak bumi justru jika kakinya tersentuh kotoran dia akan mudah jatuh dari dinding tempat dimana habitat cicak bermukim karena hal yang memperekat hubungan cicak dengan para facebooker yaitu cicak di pandang makluk yang bisa hidup jika terbebas dari kotoran. Kekuatan akan perekat inilah dengan segala daya upayanya kelompok facebooker berusaha keras ikut berpartisipasi untuk membersihkan kaki sang cicak dimana di duga kaki sang cicak akan di lumuri kotoran supaya sang cicak terjatuh dan tak lagi bisa merayap di dinding untuk memangsa nyamuk nyamuk penghisap darah rakyat Indonesia.


Bentuk nya yang kecil mungil berkulit halus dan ber tekstur lembut ini yang konon juga lucu bagi sebagian orang ini justru yang juga membuat kedekatan terhadap rakyat bisa terjalin disamping manfaat yang benar benar bisa dirasakan oleh masyarakat apabila makin banyak nyamuk di santap oleh cicak harapan hidup makmur di Negara yang bernama Indonesia ini akan terwujud jika tidak ada lagi penghisap darah hidup di negeri ini.

Cicak apabila dalam keadaan terancam akan melepaskan ekornya untuk mengelabuhi musuhnya sehingga dia terhindar dari bahaya, inilah yang terjadi pada kasus bibit Chandra dengan tanpa harus banyak melakukan perlawanan disaat polisi menetapkan mereka berdua sebagai tersangka, dan meletakan jabatan dengan rasa iklas bukan berarti salah karena ingin memberikan umpan kepada musuhnya yang sedang mengancam keselamatanya dengan tidak sibuk menggelar jumpa pers yang hanya menyatakan diri bersih dan tidak bersalah tanpa bukti apa-apa dan hanya berorasi saja sedangkan proses pembuktian sedang berjalan. Bibit Chandra adalah bagian penting dari tubuh cicak itu sendiri dilepas kan oleh sang cicak supaya sang predator sibuk mengejarnya dan menangkapnya sementara sang cicak bisa berlari kencang meninggalkanya, karena begitu percaya dirinya sang predator mengejar ekor yang sudah tak berdaya tak punya kaki dan mulut mungkin di kira siap dilahap oleh sang predetor ternyata sang predator lengah justru dia terjungkal ke dalam jurang yang tak berdasar berkubang kotoran dan lumpur yang tak mungkin di bersihkan sementara sang cicak dengan mudahnya menumbuhkan ekor baru nya dan tetap memburu setiap nyamuk yang mengancam negeri ini.

BUAYA DI MATA FACEBOOKER

Jika facebooker tanpa pernah ada batas waktu dan usia, maka buaya dikala sudah sampai waktunya akan di bantai untuk di ambil kulitnya. Kukunya tajam menghujam bumi wajahnya sangar yang di tunjukan dengan gagah dan menyeramkan berbagai lambing tanda jasa dan kepangkatan ditempelkan pada baju seekor buaya sehingga menakutkan jika dilihat dan menyeramkan bila di tatap dimata buaya sendiri mereka berpacu dan berlomba menjadi yang paling sangar dan menakutkan yang menjadi simbol kesuksesan.

Bicara soal gizi untuk Buaya, binatang ini termasuk ”High cost” Dengan biaya makan yang mencapai trilyunan rupiah karena harus di berikan daging segar yang harganya selalu melonjak tinggi. Apalagi musim ketika akan lebaran dan natal, maka sesuai perkembangan harga sembako yang juga melambung tinggi itu dipastikan anda tidak bisa membeli daging. Dan bila anda alpa memberinya makan. Jangan coba-coba main-main ke kandangnya! Jangan-jangan anda sendiri menjadi santapannya.

Buaya hanya bisa di pertontonkan di kandangnya, kebutulan kalo di Jakarta ada di Ragunan. Jadi sangat wajar jika kemanfaatannya tidak berbanding lurus dengan kemanfaatanya justru dengan kehidupan dua alamnya inilah yang membuat buaya jadi predator yang sangat merugikan di dalam air segala bentuk kehidupanya ludes di santap habis masih kurang juga dia pergi kedarat semua yang bernama daging entah itu halal atau tidak disantap aja, karena kerakusanya itu makanya jangan heran kalau buaya mudah di sogok di suapin apapun mau itu daging segar atau bangkai pasti langsung di sikat habis.

DRAMA KOLOSAL TARIAN CICAK BUAYA

Terus terang, perlu dipikirkan kesimpatian kepada institusi kepolisian dan kejaksaan. Sejak ‘Theatre Cicak-Buaya’ ditayangkan, terutama kepolisian RI menjadi sasaran olok-olokan, makian, yang pada ujungnya agar dilakukan reformasi institusi kepolisian (dan kejaksaan), bergulir sangat kencang. Pernahkan dipikirkan, ratusan ribu anggota kepolisian dan kejaksaan yang tidak tahu-menahu ‘Balada ‘Cicak-Buaya’ menjadi begitu tertekan? Keluarga mereka; isteri, anak, saudara sampai tetangga. Banyak anggota penegak hukum tersebut yang jauh, bahkan tidak tahu-menahu soal ‘Balada ‘Buaya’.

Saya bukanlah anggota kepolisian atau kejaksaan. Tapi, jujur saja, banyak berteman dengan mereka yang dirasakan sebagai ‘pengayom’. Teman. Sahabat. Polisi hakikatnya pemjamin rasa keamanan, bukan sumber masalah. Bahwa ada sementara (oknum) yang nakal, hal tersebut lazim. Tapi, keterusikan nurani publik sangat dapat dimaklumi, dan jangan dianggap hal sederhana. Banyak kekecewaan atas harapan yang berlabuh pada kegeraman.

Pemberantasan korupsi, yes. Pembenahan kepolisian dan kejaksaan, sangat penting. Tentu, berbeda halnya ‘menghukum’ oknum insitusi dikomparasi institusinya. Intitusi itu milik kita, bagian dari peyelenggaraan negara. Terlepas, membunuh tikus berbeda dengan membakar lumbung padi, gerakan kebenaran, sesuai nurani publik, janganlah pernah tidak dituntaskan.

Terus terang, meminjam istilah Sarlito, ketika Bibit dan Hamzah ditahan polisi, nurani publik terusik. Rasa keadilan dan harapan (pemberantasan korupsi) terasa menjadi begitu tercederai, hingga penjelasan presiden tidak mampu mengerem. Pembelaan terhadap Bibit dan Hamzah, esensinya KPK, mengalir bak galodo, air bah. Ada yang risau, kalau terbiarkan bisa menjelma menjadi ‘people power’.

Pemerintah jangan berlama-lama menuntaskan ‘Drama Cicak-Buaya’. Bukan karena kita memiliki Komodo yang kesunyian di NTB, atau cicak sekarang seekor bisa berharga lebih Rp.100 juta, tetapi energi sebaiknya difokuskan membangun negara yang masih sangat jauh dari yang dicita-citakan.

Sindirian Australia “Indonesia Soluton’ perihal penanganan pengungsi asing, jangan sampai merembet kemana-mana. Publik perlu diberitahu sejelas-jelasnya asal-muasal ”Tarian Cicak-Buaya” hingga penyelesaiannya. Lalu, kita kepalkan jari-jari kembali ke hal paling esensial, membangun bangsa tercinta ini.

Itulah tiga jenis binatang yang semakin populer belakangan ini. Jika dua binatang yang pertama memang ada di dunia nyata, maka binatang yang ketiga—Godzilla, adanya hanya di film belaka.

Pihak kepolisian dengan bangga menyebut dirinya ibarat buaya, dan sekaligus menyamakan KPK dengan cicak yang tak mungkin bisa menang melawan buaya. Jelas saja cicak yang berukuran kecil sampai kapanpun tidak akan menang melawan buaya yang bertubuh besar. Tapi bukankah buaya dianggap sebagai binatang ganas yang ditakuti? Bukankah buaya seringkali diistilahkan dengan konotasi negatif, seperti buaya darat misalnya?

Ketika institusi penegak hukum sudah dilecehkan pimpinannya sendiri dengan istilah-istilah yang tidak elok didengar ini, saya kembali pesimis bahwa penegakkan hukum yang sudah mulai berjalan ke arah yang benar, akan dibelokkan lagi ke arah yang sebaliknya. Ketika institusi-institusi utama penegak hukum ini mengeluarkan gurauan-gurauan yang tidak lucu itu, masyarakat harusnya bisa melihat bahwa dagelan hukum mulai terjadi. Musuh bersama, yaitu para koruptor, yang harusnya diburu jadi terabaikan akibat perang antar binatang yang semakin seru ini. Publik tidak menginginkan ini. Hal ini harus diselesaikan segera. Tidak bisa ditunda lagi. Semakin berlarut perang ini, maka semakin hancurlah masa depan hukum di Indonesia.

Semoga perang antar binatang-binatang ini bisa segera berakhir. Dan semoga institusi-institusi hukum di Indonesia kembali menjadi institusi sungguhan, bukannya menjadi binatan seperti saat ini. Kita tunggu saja seperti apa jadinya hukum di Republik tercinta ini. Oh ya, mudah-mudahan tidak muncul binatang ke-empat yang juga sangat mengerikan yaitu “Sang Kingkong”.

***








Ong Yuliana, Yuliani, Oh Yulianto
 


Dan Gibran












Mega Super Sinetron ini sudah jauh meninggalkan ratting tayangan lainnya yang kurang ”Up to date”. Yang sekedar memoles artis dengan riasan tebal dan norak. Dan dengan peran kurang alami dan terlalu dibuat-buat. Kalau MEGA SINETRON ini justru sebaliknya sangat alami, tidak dibuat-buat dan tentu saja asli tidak dibuat-buat dan Fresh from the Oven (maksudnya penyadapan).

Artis-artisnya pun jauh lebih menarik karena benar-benar ”Berpengalaman” dan tentu saja jam terbang yang sudah tak terbilang lagi tingkat kampiunnya. Yang dapat berperan sangat alami apalagi mereka yang menjadi bintangnya. Justru sudah tak perlu lagi risau karena tak merasa direkam aksi-aksinya dari satu scene ke scene berikutnya.

Sebut saja Ong Yuliana Gunawan. Wanita berparas ayu ini ternyata penyedia duren kelas atas yang justru sangat anehnya dan tidak masuk akal justru diakui ”tidak dikenal” oleh Anggodo si empunya suara bintang percakapan (penyadapan) yang terlanjur menjadi pemeran utama itu. Dalam sebuah wawancara pasca sidang MK yang memperdengarkan rekaman tersebut. Loh Kok Bisa?

Ong Yuliana Gunawan pernah ditahan oleh tim Satuan Narkoba Polwiltabes Surabaya pada tahun 2007 lalu atas sangkaan kepemilikan narkoba jenis sabu. Bukan cuma sekali salah satunya malah sangat kentara karena Mengikut sertakan Mantan artis papan atas Roy Martin yang kedua kalinya menjadi pesakitan untuk kasus yang sama. Dan tertangkap sekamar dengan Ong Yuliana ini.

Kisah Ong Yuliana ternyata pernah ditahan dua kali di rumah tahanan kelas satu Surabaya di Rutan Medaeng, Waru, Sidoarjo, dalam kasus narkoba. Ong Yuliana terpidana narkoba ini juga memiliki keahlian dalam memijat.

Dari data yang dihimpun dari rutan Medaeng, Ong Yuliana sudah dua kali masuk ke rutan Medaeng untuk menjalani masa tahanan, karena menggunakan dan menyimpan shabu-shabu Informasi lain menyebutkan, jika Yuliana pertama kali masuk rutan Medaeng sekitar akhir 2005 lalu dalam kasus kepemilikan shabu-shabu.

Setelah menjalani masa tahanan sekitar empat bulan, Ong Yuliana bebas keluar rutan Medaeng. Namun pertengahan 2006, Ong Yuliana kembali masuk ke rutan Medaeng karena kasus yang sama dan menjalani masa tahanan tidak lebih dari enam bulan .

Sebagai narapidana, Ong Yuliana dikurung di sel blok W. Ong Yuliana dikenal sebagai wanita yang bergaul kepada siapapun, baik petugas rutan maupun sesama napi. Ong Yuliana dikenal pandai memijat Didalam rutan, Ong Yuliana sering mempraktekkan keahliannya dalam memijat, terhadap siapapun.

Pihak rutan Medaeng menutup diri untuk memberikan keterangan resmi mengenai kisah dan sepak terjang Ong Yuliana ini. Ong Yuliana Gunawan memang dekat dengan Anggodo, baik sebagai pemijat maupun bisnis. Bahkan kabar yang terdengar Ong Yuliana yang sempat terekam KPK, selain menyerahkan duren dua dus, Ong Yuliana juga sebagai pemijat Mr R tersebut.

Ong : Tadi Pak Ritonga telepon, besok dia pijet di Depok, ketawa-ketawa dia, pokoknya harus ngomong apa adanya semua, ngerti? Kalau enggak gitu kita yang mati, soalnya sekarang dapat dukungan dari SBY, ngerti ga?

Anggodo : Siapa?

Ong : Kita semua. Pak Ritonga, pokoknya didukung, jadi KPK nanti ditutup ngerti ga?

Anggodo : Iya-iya

Ong : Udah pokoknya jangan khawatir ini urusannya bisa tuntas, harus selesai. Dia ngomong begitu, Pak Ritonga. Bener Pak Ritonga itu loh, siapa polisi itu, si Susno itu. Kemarin Pak Ritonga dianu itu, Pak Ritonga ngamuk. Kan dia itu anu Pak, janji to? Gitu loh, kok dia yang nyeleweng, gak berani dia, katanya Anggodo suruh nelepon kamu, kamu stress toh Pak? Hari ini masuk TV terang loh Pak, masuk tv terang bos itu kayak apa itu?

Anggodo : lya...hehe

Ong : Tapi lebih baik kok katanya, bagus. Harus begini, karena Antasari, kan kamu tak certain ya Pak, ini kenapa dia ngomong gini? Mulai.. (tidak jelas) semua, Antasari kan butuh...tutup (tidak jelas) ngerti Pak? Pak Ritonga kan rentut-nya se-Indonesia yang nentuin Pak

Anggodo : Iya

Ong : Nah ini loh yang ini, makanya Pak Ritonga dengan urusan sampe tuntas

Anggodo : Ya..ya

 Lien atau Ong Yuliana Gunawan menjadi salah satu nama yang aktif dalam rekaman dugaan rekayasa kriminalisasi KPK., Yuliana disebut dekat dengan orang dalam lingkungan istana. Jika benar Ong Yuliana Gunawan dekat dengan lingkungan istana, maka kasus ini harus segera diusut agar tidak merusak nama baik Presiden. Tegas Ketua Tim Pencari Fakta Adnan Buyung Nasution.


Lain Lagi Yuliana, ada lagi Rhani Juliani , ia adalah istri ketiga dari mendiang Nasrudin Zulkarnaen, Rhani begitu ia biasa disapa. Saksi kunci kasus pembunuhan berencana Nasrudin dengan terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, Rhani Juliani kemarin akhirnya hadir dalam persidangan sebagai saksi.
Namun, kesaksian Rani Juliani berlangsung tertutup lantaran dinilai terlalu vulgar. Dalam persidangan yang banyak mengungkap tentang hubungan antara pria dan wanita seperti hubungan intim suami istri dan lain-lain secara terbuka dikatakan oleh Rani Juliani. Rani Juliani juga mengakui sebagai istri siri Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen, dan ternyata mereka sudah bercerai pada Februari 2009. Namun walaupun sudah bercerai Rani mengakui Nasrudin sebagai suaminya dan masih sering berhubungan intim.
Juniver salah seorang Pengacara Antasari Azgar mengatakan, keterangan Rani Juliani menunjukkan dia tidak layak menjadi saksi. Penilaian itu dilihat dari segi kesusilaan, kepribadian, dan efek sosial.
Kesaksian sang mantan caddy tersebut menjadi penting karena peristiwa di kamar 803 Hotel Grand Mahakam pada Mei 2008 menjadi bagian penting dalam dakwaan jaksa penuntuk umum (JPU) yang dipimpin Cyrus Sinaga. Dalam kamar tersebut diduga ada tindakan asusila antara Antasari dan Rani.
Sedangkan Nasrudin menyusul ke kamar dan marah-marah kepada Antasari dan Rani, padahal Rani datang bersama Nasrudin. Menurut Juniver, belum diketahui apa motif di balik peristiwa tersebut.
Menurut Juniver, salah satu perbedaannya adalah keterangan Rani saat berada di dalam kamar 803 Hotel Grand Mahakam bersama Antasari. Rani menuturkan, dia datang menemui Antasari bersama suaminya, Nasrudin, naik taksi. Sebelum naik menemui Antasari, Rani terlebih dulu minta izin ke Nasrudin.
Nama Rhani Juliani identik dengan skandal Antasari ketimbang Skandal yang menautkan permasalah Bibit dan Chandra. Namun Yuliana dan Yuliani boleh jadi bersaudara kembar jika dikaitkan keduanya menjadi kunci meski demikian keduanya berpeluk erat dengan syahwat. Plus minus dengan kekuasaan dan ditambah lagi dengan korupsi yang memang menjadi tema masalah yang sebenarnya.
Yulianto, salah satu saksi kunci kasus penyuapan dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, diduga berasal dari Surabaya. Dia pernah terlibat kasus dan menjadi terdakwa. Namun, pria misterius itu belum pernah menjalani hukuman setelah divonis bersalah. Hal tersebut diungkapkan ketua Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Jatim Henry Rusdijanto.
Cerita ini bermuasal dari kesaksian Ari Muladi. Yang juga sama-sama sebagai saksi kunci dan awalnya malah menjadi tersangka pertama dari kasus yang awalnya adalah penyuapan terhadap kedua pimpinan KPK. Bahwa jelaskah identitas Julianto? Bahkan banyk orang meragukan keberadaan Julianto. Sampai-sampai banyak orang yang mendapat tuduhan karena bernama serupa.
Yuliana, Juliani, Yulianto deretan nama ini jelas bukan deretan nama-nama saudara kandung. Meski mungkin saja ada kesamaan nama dan tempat Di Indonesia ini. Yang sejenis, serupa, setipe senasib tapi jelas tidak sepenanggungan.

Yang jelas juga bukan nama judul cerita fiktif. Yang biasanya tayang di stasiun televisi kita sebagai sinema elektronik yang konon katanya masih di gandrungi pecinta produk dalam negeri meski pemerannya mulai di sesaki produk Impor. Tapi sejak nama mereka tayang di antero televisi dan media lainya. Mereka justru mencuat bak meteor yang melesat.

Deretan nama diatas lebih dari sekedar deretan nama pembingungan orang-orang, atau aktor-aktor yang sudah makin kelihatan kebohongannya. Ow..woh Begitu kira-kira asumsi masyarakat Indonesia yang tiba-tiba saja menjadi desas-desus mulai dari warung kopi hingga tentu saja Facebook.

Bahwa nama-nama yang sedang menjadi perburuan publik tadi satu diantaranya bahkan mencuat beberapa kali lantaran tersandung kasus Narkoba, yang satunya malah boleh di bilang ”hantu” yang belum di ketahui ada atau tidaknya. Yang jelas nama-nama tersebut menjadi begitu terkenal karena kadung kontroversial.

Cicak dan buaya sudah bukan padanan kata yang asing lagi sebagaimana kita kenal sedari kecil dongen kancil dan buaya. Sekarang  rasanya harus sedikit bergeser. OngYuliana dan Oh Yulianto Dimana engkau berada.

Bukan sekedar Nama deretan nama diatas adalah penggalah episode-episode kebohongan. Kalau malam Ong Yuliana kalau siang berubah wujud jadi Oh. Yulianto. Tapi sebelumnya nantikan kisah seru selanjutnya bersama Juliani. Maksudnya Rhani Juliani (ANTASARI Red).

 



Dan Anggodopun Menjadi “The Real Kapolri”










Satu fakta yang sepertinya tak terbantahkan ialah. Jika Ada seorang yang mampu mengatur-atur Truno 3 (Kabareskrim) Mestinya ia adalah Atasan Kabareskrim, dan tentu saja Jika Kapolri saja tidak sanggup menolak permintaan dari orang ini. Maka ialah sebenarnya yang layak menyandang gelar The Real Kapolri. Manusia itu ternyata Super Anggodo.
Kegeramanan Facebookers akan status Anggodo yang tidak juga dijadikan tersangka oleh Mabes Polri membuat dunia maya sebagai ajang pelampiasan. Anggodo Bisa menjadi Kapolri? Apa Bisa? Bisa dong Kalau Negeri ini sudah menjadi Negeri jahanam. Kata seornag Facebookers. Jawaban ini sekaligus kritik sangat menyengat bagi kita semua. Sejahanam Itukah Bangsa ini? Meski demikian sebagai kumpulan orang-orang waras facebookers memang ingin melawan kejahanaman itu justru dengan Kritik pada diri bangsa itu sendiri.
Tengok saja grup facebook bertajuk “Dukung Anggodo menjadi the Real Kapolri” ternyata juga diminati oleh ratusan pengguna facebook. Grup yang secara jenaka menyentil lemahnya Kapolri berhadapan dengan Anggodo ,secara tidak langsung facebooker menduga ada kekuatan besar dibelakang Anggodo yang mengakibatkan Mabes Polri sangat ragu menetapkan Anggodo sebagai tersangka.
Gambaran anggodo sebagai The Real Kapolri di ilustrasikan dengan photo-photo Anggodo yang mengenakan seragam Kapolri dengan berbagai pose.
“Kalau menurut aku lebih tepat diangkat sebagai .... Menteri Pendaya-gunaan Aparatur Negara , karena jelas sudah terbukti kinerja nya sangat bagus dalam mengatur para Aparat Negara .... seperti Kepolisian dan Kejaksaan .....” tulis anggota Grup bernama Bhaktiman Triwikrama.
Dalam diskripsi singkatnya grup ini memberi keterangan Sebuah parodi dari Republik Facebookers. "Korupsi dipastikan hilang dari bumi Indonesia, Karena Anggodo akan melegalkan perbuatan Korupsi."
Pengaruh cukong mengalahkan martabat istana. Gebrakan cukong mengamputasi kekuasaan Polri.  Jabatan Polri hanyalah sebuah status yang diterhempas oleh kuatnya kekuasaan cukong "Hukum" bernama Anggodo Widjaja. Sampai saat ini polisi masih kebingungan mencari pasal yang akan dikenakan kepada Anggodo, sementara rakyat secara terbuka sudah menonton sandiwara yang dibuat oleh seorang sutradara. 
Sebelumnya presiden mengancam akan mempidanakan orang yang mencatut namanya dalam rekaman yang diperdengarkan di MK, namun setelah mengetahui yang berbicara adalah Mr. Anggodo, saat itupula Presiden SBY diam seribu bahasa. Ancaman melaporkan pencatut nama SBY hanya menghiasi halaman media massa. Tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan seorang Anggodo Widjaja untuk saat ini.  Jika saja Kapolri dan Kajagung berjalan beriringan dan bertemu dengan Anggodo Widjaya maka keduanya akan memberikan hormat. Itulah fakta di Negeri yang kita sebut "Negeri berdaulat atas hukum." Rakyat sudah bingung, maka sepantasnyalah Anggodo dinobatkan sebagai "The Real Kapolri."  Saat ini Negeri ini memang pantas sudah bergelar "Negeri Para Bedebah".
Suara facebookers setidaknya berbicara atas nurani mereka, beragam nama grup muncul sebagai refleksi untuk menyikapi kondisi yang berkembang saat ini atas kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun demam facebooker mendukung KPK begitu marak namun ada juga grup yang secara terang-terangan yang berupaya memberikan dukungan kepada Mabes Polri dan Anggodo Cs.
Pertanyaannya apakah grup-grup yang mendukung kelompok buaya ini mendapat tempat dihati facebookers? Jawabannya ternyata tidak!
Lihat saja grup bertajuk “Dukung Keadilan Anggodo” sampai dengan Kamis (19/11/09) hanya berhasil menjaring anggota sebanyak 191 anggota. Begitu pula grup bertajuk  “1 Milyar Manusia Dukung ANGGODO Untuk...............” hanya diminati oleh 64 anggota. Parahnya lagi grup bertajuk “Gerakan 50.000.000 Facebookers Dukung Anggodo Widjojo” hanya diikuti oleh 54 anggota.
Sebaliknya grup bertajuk dukung penahanan anggodo dan grup bertajuk menyentil dan nyeleneh Dukung Anggodo menjadi Kapolri lebih diminati oleh Facebookers dengan jumlah anggota dari ratusan orang hingga puluhan ribu anggota.
Fenomena minimnya dukungan terhadap kelompok buaya juga terlihat pada beberapa grup yang Bertemakan dukung Instansi Polri seperti pada grup “Dukung Polri” hanya beranggotakan 314 facebookers. Dari 121 grup yang bertajuk dukung Polri di Facebookers hanya grup dengan nama  “satu trilyun manusia dukung polri dalam kasus penahanan Chandra Hamzah dan Bibit” cukup mendapat tempat di hati facebookers dengan berhasil meraih simpati sebanyak 31.697 anggota. Namun grup inipun sangat tidak realistis, dengan target 1 trilyun manusia khususnya pengguna facebookers maka target tersebut sangat tidak masuk akal. Pasalnya pengguna facebookers di Indonesia sampai dengan bulan November 2009 baru sebatas 21 juta pengguna.
Fenomena facebookers lah yang  mengapresiasi kondisi kekinian setidaknya tidak bisa disetir begitu saja oleh penguasa agar facebookers mau mendukung grup yang mereka arahkan. Dari beberapa perbandingan grup diatas nyatanya grup-grup bertajuk dukungan kepada gerakan buaya begitu minim dukungan.
Nah, seandainya penobatan Anggodo menjadi The Real Kapolri terwujud maka dipastikan Anggodo Cs akan menggerakan segala upaya agar facebookers mendukung gerakan mereka. “Loh apa bisa,?” bisa dong masa jajaran Mabes Polri dan Kejaksaan Agung bisa diatur…
“Setuju! Mari kita rame2 dukung Anggodo jadi KAPOLRI di Negeri Neraka Jahanam..! “ Tulis Nurhayati Sri di wall grup dukung Anggodo menjadi the real Kapolri.
Sumber tulisan Arif Hidayat, facebookers

***








































Bab 2

ADA APA DENGAN CIKEAS (AADC Jilid 2)

Dan Gibran

Ini bukan sekuel dari Ada Apa Dengan Cinta-nya versi Rangga dan Cinta dari film besutan sutradara Rudi Soejarwo. Tapi inilah Epos Mahabarata Modern. Dimulainya peperangan paling mutakhir dari republik reptil. Yakni Cicak versus Buaya.

Drama Cicak Vs Buaya sudah memasuki babak baru setelah bisa diprediksi bahwa akan terjadi klimaks-klimaks baru dalam drama ini. Mau disebut apapun kisah ini entah itu sinetron, reality show, drama, film atau apapun juga, memang harus diakui bahwa pertempuran cicak vs buaya ini semakin menghibur untuk dilihat justru lantaran semakin membingungkan untuk diikuti.

Bagaimana tidak menarik ketika kisah ini semakin panas dan akan bertambah panas alur ceritanya. Dan tentunya semakin membingungkan banyak orang ketika mengikuti berbagai fakta dan opini dari berbagai pihak lewat berbagai media yang ada. Terutama berbagai paparan dan saling serang opini melalui konferensi pers baik dari kepolisian, tim 8, komisi 3, maupun KPK sendiri semakin membuat kisah ini menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam.

EPOS MAHABARATA MODERN

Image menjadi sebuah inti permasalahan dalam kasus ini. Kemudian ingatan melayang pada sebuah kisah Epos Mahabharata apabila melihat perkembangan kasus Cicak Vs Buaya ini. Inti dari cerita tersebut adalah Kebaikan Vs Kejahatan. Dimana KPK menjadi pihak Kebaikan dan lawan-lawannya menjadi pihak kejahatan.

Tentu saja image KPK sebagai institusi yang bersih yang menjadi harapan baru bagi seluruh warga Indonesia menjadi representasi dari Pendawa, sedangkan Institusi hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian termasuk DPR dan Pemerintahan sebagai representasi Kurawa. Dalam hal ini, KPK memang akan melawan sebuah arus besar yang sangat kuat yang masih ditunggu-tunggu siapakah gerangan sutradara dibalik semua rekayasa atau peristiwa kasus ini.

Dan yang patut diacungi jempol adalah Begawan "Resi Wiyasa" modern ini atau sutradara dibalik Epos Mahabharata modern ini. Drama ini telah menjadi box office di Indonesia selama lebih dari beberapa bulan ini. Bayangkan kalau si sutradara meminta royalti dari kisah ini? Jangan-jangan sudah mengalahkan sineas hollywood di negeri seberang sana.

Beberapa perkembangan terakhir memang sangat mencengangkan pasca pengakuan saksi WW dalam persidangan Antazari Ashar. Menyimak kesaksiannya membuat otak kita menjadi berpikir semakin kuatlah rekayasa yang terjadi bagi institusi pembela kebenaran, KPK. Meskipun dalam konferensi pers sehari setelah kesaksian ww, Pak Nanan selaku "tukang ngomong" Kepolisian langsung meng-counter kesaksian WW dengan mempertontonkan adegan suasana penyidikan WW dan AA, namun opini yang berkembang di masyarakat semakin tidak terbendung. Terlebih lagi setelah menyimak hasil rekomendasi Tim 8 yang secara tegas menyatakan dugaan rekayasa terhadap KPK.

Terus mau dibawa kemana akhir Epos Mahabharata ini?Ya kita, tunggu saja perkembangannya.Yang jelas Epos ini akan semakin menarik ketika dikaitkan dengan skandal Bank Century karena dipastikan akan menguak sesuatu yang lebih besar lagi. Semakin meyakinkan akan adanya sebuah Konspirasi Besar di negeri ini yang melibatkan orang-orang besar yang notabene sudah anda pilih sendiri di pemilu kemarin. Bagi anda yang tertarik untuk melihat fakta lain dibalik Cerita sang sutradara ini mungkin anda bisa membaca tulisan Rina Dewreight yang cukup mencengangkan ini dalam Fakta di Balik Kriminalisasi KPK,dan Keterlibatan SBY atau di situs cicak.or.id atau di berbagai forum lainnya.

Terlepas dari kebenaran fakta, harus diakui bahwa posisi KPK saat ini diakui kebersihannya oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai satu-satunya institusi yang menjadi harapan baru bagi bangsa ini dan hal tersebut menjadi Image yang melekat kuat di seluruh masyarakat kita. Melihat tulisan Rina tersebut, sudah dipastikan bahwa KPK membutuhkan dukungan anda semua,masyarakat Indonesia mengingat "Kurawa" yang dihadapinya sangatlah besar! Dan dukungan kita semua membuat akhir cerita ini tidak akan sama dengan yang diharapkan oleh sang sutradara,aktor intellectual,atau bahasa kerennya "Intellectual Dadder" akan peng-kerdilan peran KPK! Dukungan seluruh masyarakat Indonesia akan membuat alur cerita ini akan berakhir seperti kisah Epos Mahabharata seperti yang sudah kita ketahui ending-nya bahwa pihak Pandawa-lah yang harus menang!

ADA APA DENGAN CIKEAS

Apa? CAKAS. Ya terdengar seperti itulah bunyinya. Kata itu terdengar agak samar-samar ditelinga. Mungkin juga alat pendengar yang makin susah untuk mencerna dengan baik karena terlalu banyak tertawa. Tertawa karena mungkin juga terlalu banyak mendengar lelucon-lelucon paling menggelikan sepanjang sejarah peradaban negeri ini. Tapi yang pasti karena makin gaduhnya suara-suara facebooker yang bersahutan membahana di lautan facebook.

Bagaimana tidak menggelikan ini ada pihak yang sangat jelas terbukti, dan tidak malu-malu melakukan pengakuan menyuap bahkan dengan sangat bangga mempertontonkan dirinya sebagai. ”Donatur” dan disatu tempat lainnya ada pihak yang belum terbukti kebenaran menerima suap dari ”Donatur” Malah adalah pihak yang  di kejar-kejar bahkan kalau boleh di bilang ”dikerjain” karena belum terbukti benar menerima sepeser uang suap tadi. Ini kok yang sudah ketahuan menyuap malah ga di kejar-kejar. Ada apa ini? Itu tentu sebuah lelucon. Begitulah celotehan para facebookers.

Kembali ke Cikeas, oh, maaf maksud saya Cakeas. Tadi. Ternyata ndilalah kata yang dimaksud adalah CAKAS. Ini tentu sebuah kata yang sangat dahsyat. Bagaimana tidak dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Komisi III  DPR RI pun harus tertunda karena juntrungannya. Memang akan ada pengarahan dari Presiden SBY.

Dalam Babak lanjutan RDP tersebut lalu Diketahui bahwa Jaksa Agung menawarkan sebutan ”Markus” yang sudah beberapa pekan ini menjadi bahasa ”hardikan” bahasa sumpah serapah dan segala macam serapannya. Tawaran ini dilontarkan di saat RDP berlangsung kembali setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memanggil Kapolri dan Jaksa Agung Herdarma Supanji.

Hendarman mengatakan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan antara Komisi III dengan Polri, Kejagung, dan KPK di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/11/2009) malam. Hendarman menjelaskan, markus adalah nama seorang rasul dalam kitab suci. Oleh karena itu, Hendarman meminta agar sebutan tersebut ditiadakan.

Hendarman bahkan juga menawarkan alternatif panggilan, "Bagaimana kalau daripada cakas lebih baik disebut cakil, calo keliling, supaya lebih mudah." canda Hendarman lagi.

Hendarman mengakui kalau pemberantasan cakil adalah satu satu tantangan Kejaksaan ke depan. Namun, ia akan berusaha agar institusinya bisa benar-benar bersih dari cakil-cakil.Yang benarnya panggilan lain dari Markus Makelar Kasus  atau ingin diistilahkan sebagai CAKAS. Yang artinya Calo Kasus.

Lalu dengan tergelitik saya mengatakan? Kok mirip-mirip CIKEAS? Apa serupa ya? Dengan menyeletuk kawan kita itu bilang Cakas Itu Calo Kasus, saudaranya Cakeas : Calo Kelas Atas, itu kan kerabatan juga sama Cikeas : Cincai Kelas Atas.
Ah dasar BE_DE_BAH.


CIKEAS

Lalu Kitapun bertanya
Barang apakah itu?
Nama orang barangkali
Ah itu pasti nama Jalan

Atau juga nama tempat
Sebab rasa-rasanya sering terdengar
Apalagi berkonotasi
dengan telpon,
dengan menteri,
dengan Kabinet
yah sepertinya akrab sekali dimass media

Lalu bertanyalah kita
dimanakah nama Jalan itu
Oh di sebelah tenggara Jagorawi
Tapi ada juga yang mengatakan
Disebelah utara Bogor
Orang Bekasi dan  Pondok Gede bilang :
Wah itu di selatan
Ah yang benar yang mana???

Tapi bukan ..
Tolong dikoreksi
kita sedang Rapat Dengar Pendapat dengan Calo
ups.. maaf!!! Maksud saya Tentang Calo
Jadi CAKEAS itu pasti nama Calo Kelas Atas

Tapi usut punya usut ternyata itu nama Cakil
CAKIL : Calo Keliling.
Lalu si Cakil pun menolak sebutannya...
Dia Lantas memberikan telunjuknya pada CAKAS
CAKAS : Calo Kasus

Awas orang Madura bisa marah
Kalau depannya Ada Cak.
Apalagi itu berkonotasi....
Kurang menggembirakan
Maka sejak itu                                                                                                         
Dengan malu-malu dan tanpa kemaluan
Bergantilah setengah resmi
Dan resmi yang setengah-setengah
Menjadi sebutan CIKEAS :
CIKEAS : Cincai Kelas Atas


Jumat Malam Bukan Kliwon      
Dan Gibran
                                                   



                                                            




 



















Presiden Rasa “Ayam Sayur”

Dan Gibran

Sebagai anak bangsa saya sedih jika Presiden kita dikatakan sebagai Presiden Ayam Sayur. Karena kata ayam yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Chicken jelas bertendensi melecehkan Presiden SBY yang kita banggakan. Dan saya rasa kita semua harus mengenyahkan kata ini karena SBY tentulah bukan Ayam.

Meski kata sayur ditambahkan juga sebagai penggalah frasa Ayam sayur, sekilas mengingatkan kita pada saat Pemilihan Presiden kemaren, ketika Iklan Presiden SBY ini memakai jingle sebuah produk mie instan yang sudah sangat populer di telinga khalayak bahkan tidak sedikit yang memberikan pujian karena itu artinya Presiden kita sangatlah dikenal oleh rakyatnya dan memang produk Mie instan ini memang sudah sangat sedemikian merakyatnya.

Lalu bahwa frasa rasa ayam sayur dialamatkan kepada Presiden SBY yang kita banggakan ini tentu harus kita tolak rame-rame karena tentu saja Presiden yang kita pilih bersama dan kita banggakan ini sekalipun merakyat tidak lantas serta merta mendapatkan predikat RASA. Apalagi AYAM SAYUR.

Sebagai anak bangsa lagi-lagi kita harus segera kita enyahkan. Dari perbendaharaan wacana dan diskusi-diskusi karena keyakinan saya dan harapan saya sebagai anak bangsa Presiden SBY bukanlah Presiden Rasa Ayam Sayur. Baik di konotasikan dengan Mie Instan maupun di konotasikan dengan Produk lainnya tentu saja apalagi demi untuk alasan menolak plagiatisme.

Namun demikian minggu-minggu ini menjadi akhir pekan yang menyimpan bara dalam sekam, baik bagi facebooker maupun bagi rakyat Indonesia yang konon sedang memperhatikan televisi kita dengan menantikan satu momentum yang ditunggu-tunggu. Yakni jawaban Presiden.

Presiden kita ini bukanlah peragu dan pengulur-ulur waktu untuk tetap memegang teguh prinsip pembiaran. Kita sangat percaya dipundakmulah kami sematkan kepercayaan untuk membimbing kami meraih bangsa yang dihormati dan disegani. Presiden Jawablah segera! Kami sangat yakin engkau bukan peragu apalagi pengulur-ulur waktu.

Jawaban itulah yang akan menentukan posisi kewibawaan dan ke-kesatriaan seorang putera bangsa nomor satu di Republik Indonesia ini. Jawaban itu pula yang mungkin akan semakin memantapkan Presiden SBY sebagai Presiden yang memiliki kepemimpinan yang kuat atau justru sebaliknya Presiden yang memilih tidak mengambil resiko dan tetap bersembunyi sambil menyantap dan menyukai Rasa Mie Instan.

Beberapa Tokoh telah bersuara, mulai dari Eep Saefullah Fatah, Effendi Gazali, Syafii Ma’rif, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin dan banyak sekali tokoh-tokoh kita yang sudah mulai gelisah akan dibawa kemana republik kita ini jika momentum besar untuk menerabas pemberantasan korupsi justru menjadi hilang dengan dalih  mengatasnamakan ”Tidak Mau Intervensi”. Presiden Bicaralah!

Kian hari, kian mengerucut dan bertendensi dengan mengarahkan pandangan pada pucuk pimpinan Bangsa ini yang konon akan berada di garis paling depan pemberantasan Korrupsi. Kita tidak perlu pusing memikirkan Depan sebelah mana? tapi yang sudah sangat clear dan jelas adalah Komitmen kenegarawanan SBY yang tentu saja kita tidak perlu pagi-pagi buta ini menuduh bahwa Presiden sekedar Lips Service. Karena jelas Presiden Bukan Rasa Ayam Sayur. Presiden kita, Presiden SBY sejatinya akan berada di garis depan seperti yang di janjikannya.

Presiden kita bukanlah orang yang mudah digertak-gertak dan bukan pula akan mundur setapakpun demi sekedar pemaksaan. Apalagi kalau dipaksa oleh suara segelintir facebooker yang konon menurut Pakar Telematika yang terkenal itu. Dukungan di facebook adalah rekayasa. Jelas Presiden kita bukanlah Presiden yang Penakut.

Lebih dari itu Presiden kita akan sangat mempertimbangkan masak-masak, dengan perenungan yang matang dan dengan cara seksama meski kita sebagai rakyatnya sudah berteriak dengan sangat santun pada Presiden dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tapi Presiden kita lagi-lagi memang bukan Presiden Ayam Sayur yang kalah oleh gertakan dan teriakan segelintir orang yang berada di facebook apalagi mendapat masukan sangat berharga dari pakar telematika terkemuka bahwa lagi-lagi ini sebenarnya rekayasa.

Presiden SBY yang tentunya bukan Presiden Ayam Sayur, dan bukan pula presiden yang tidak merakyat. Pasti akan sangat bijak mempertimbangkan suara-suara kami ini sebagai penjelmaan suara kerumunan. Ya kami jelas sekedar suara kerumunan meski tentu bisa terlihat jelas beda sekali dengan gerombolan.

Meski sangat jelas terlihat engkau sedang memikirkan masa-masak dan jelas kami sangat yakin Presiden bukan sedang mengulur-ulur waktu dan juga tengah jengah dan meragu. Apalagi tengah duduk diam dan terlena.  Sebaba keyakinan Kami Presiden SBY Presiden yang kami cintai itu sedang menyiapkan langkah-langkah kongkrit, tegas dan sigap.

Dengan menunjukan jiwa kesatriaanmu, dengan menunjukan kewibaanmu yang sangat terlihat jelas itu. Kami tentu berkeyakinan bahwa Presiden kita tidak tepat untuk di tuding-tuding memiliki ketersangkutpautan dengan skandal century gate yang sangat menyakitkan hati rakyat itu, apalagi ikut menerima kucuran dana. Dan itu lagi-lagi sudah dinyatakan oleh Pembantumu MenKumHam, dan juga seorang artis yang juga vokal menjadi Anggota DPR. Bahkan sudah menjaminan kupingnya untuk diiris ramai-ramai bila ternyata terbukti sebaliknya.

Presiden Bicaralah! Kami berkeyakinan tindakamu, cara penyelesaianmu akan sangat bijaksana dan tentu saja akan mampu menjawab teriakan kami ini para facebooker yang senantiasa menciantimu dengan mendukung upaya penegakan hukum yang sekarang ini sedang mempertontonkan episode ketelanjangan persekongkolan antara penegak hukum kita dan makelar-makelar yang selama ini ternyata memang sangat nyata mengelilingi Polri-Kejaksaan Agung. Dan kita sama-sama sepakat tontonan ini tentu terasa menggelikan manakala kita tidak cepat bertindak untuk menghentikannya.

Sebab inilah intisari kejahatan itu. Bahkan dosa yang teramat menyedihkan ketika mereka yang sepatutnya memberantas kejahatan justru menjadi bagian dari persekongkolan jahat untuk meruntuhkan kebenaran. Presiden bicaralah! Sebab kami masih yakin engkau sebenar-benarnya kesatria.

Maafkan apabila tulisan ini sebagai sebuah solilokui-teriakan yang diam. Dan diam-diam berteriak meski tak terdengar dengan jelas. Harapan kami selaku warga negara kelas biasa. Dengarlah harapan kami, dengarlah jeritan kami. Presiden engkau bukan Presiden Rasa Ayam Sayur. Kami Haqul Yakin akan hal itu.

Meski ketika berakhir pidato Presiden untuk mensikapi hasil akhir rekomendasi Team 8 ternyata banyak yang menilai presiden bersikap SooSlow Bimbang Youdon’tknow lah...



***

Dari Bencana Tsunami Hingga Bencana Moral

                                                            Dan Gibran

Dari tahun pertama menjabat sebagai presiden hingga hari ini kita sangat-sangat prihatin, dan terus menerus mengurut dada. betapa tidak. karena dialah Presiden yang setiap harinya “mengurus” bencana. mulai dari gempa di merauke, tidak lama Tsunami, dan tidak lama wabah Flu burung, tidak lama kemudian disusul kecelakaan kereta, tiba-tiba meledaklah Lumpur lapindo, milik seorang anggota Konglomerat yang menjabat Menteri Kabinet KIB 1. Disusul pula kecelakaan kapal laut. dan ironis 2007 ini diawali sebagai tahun bencana dengan “raibnya” Adam Air. yang konon katanya juga dimiliki petinggi negeri ini. dan disusul pula bencana gempa disepanjang nusantara. dan tidak kalah melelahkanya. Banjir.

Presiden Bencana

Sungguh saya tidak percaya pada hal yang berbau klenik, atau berbau tafsir-tafsir yang bisa melencengkan kita dari logika, namun saya mulai sadar ada apa dengan bangsa ini, makin rumitkah, untuk dapat memperbaiki keadaan yang sudah hampir baik ini atau seperti Ebit G Ade bilang ; mungkin alam mulai murka dengan salah dan tingkah kita.

Belum tuntas kecelakaan satu, datang kecelakaan lainnya belum selesai kita dengan persoalan bencana satu datang pula bencana lainnya, apa ini sebuah pertanda, sungguh saya tidak sedang mengajak anda percaya bahwa ini adalah pertanda, tentu juga saya sangat tidak ingin mengajak kita bertanya pada rumput yang bergoyang tentu saja.

Saya kira tidak ada yang lebih melelahkan dari kerja pemimpin-pemimpin kita sebelumnya dibanding kerja SBY saat ini terutama sekali dalam hal mengurus bencana. Dan meski sangat ingin menghindari, namun tidak juga bisa ditampik bahwa SBY adalah presiden bencana.

kerja yang begitu melelahkan tentulah sebuah “takdir” sebagai presiden. namun ditambah dengan serangkaian bencana tidak bisa di hindari bahwa hal tersebut tentu kian menambah bobot turunnya akselerasi kinerja pembangunan.

alih-alih bisa kerja untuk fokus pada masalah penganguran, bila saat bersamaan harus mengurus Adam Air, alih-alih bisa memulai dan menebar kinerja disaat bersamaan Tsunami datang. dan seterusnya-dan seterusnya. tentu saya pun mulai lupa karena kalau di deret ternyata sudah hampir menembus 1000 musibah.

Skeptisisme

George Santayana dalam “Skepticism and Animal Faith” menuliskan ; “Sikap skeptis , dalam mempertanyakan segala sesuatu, merupakan benteng kemurnian cendekiawan, dan sangat memalukan jika benteng itu diserahkan terlalu cepat atau pada siapapun yang datang lebih dahulu—ada kemuliaan dalam menjaga benteng itu dengan sikap tenang dan rasa bangga melewati masa muda yang panjang, sampai akhirnya, benteng itu bisa dengan aman dipertukarkan dengan kebenaran”.

Pendapat George Santayana ini, buat saya memberikan dua ruang berpikir. apakah terlalu cepat kita memberikan cap SBY sebagai Presiden bencana. atau jangan-jangan pada awalnya rakyatlah yang harus di salahkan karena terlalu menggantungkan harapan-harapan besar pada SBY.

Dan kira saya pikir kita harus melumatkan cara berpikir yang pertama karena proses berpikir ini mungkin saja bisa tidak relevan. Dan tidak fungsional untuk menyelesaikan persoalan, tapi setidaknya skeptisisme memang diperlukan untuk tidak memperlakukan masa depan dengan gegabah. termasuk saya kira perjalanan bangsa ini yang terlampau rumit untuk bisa di urai dan diselesaikan satu demi satu.

Dan Cara pikir yang kedua tentu saja merupakan sebuah kritikan pada saya dan juga pada anda calon-calon pemilih nantinya, tipe pemimpin apa yang "Pas" buat kita. Atau memang tuntutannya bukan sekedar "pas" karena kita butuh pemimpin yang memang bukan sekedar Pas-Pas-an terutama sekali formula dan dinamika yang kita butuhkan harus sebuah tonik yang serba sigap.

Dan rakyat harus disadarkan oleh buaian, sekedar pintar dan pintar sekedarnya. Sekedar ganteng/cantik atau ganteng/cantik sekedarnya. Sekedar suka atau suka sekedarnya. Kita. Anda dan saya akan dia ajak bertamasya dalam 5 tahun kepemimpinan kedepan. Sirkus macam apa lagi yang akan kita hadapi disamping maaf. Ada Bencana Apa lagi ya???

Jenis “Masalah”

Disatu sisi memang ada persoalan yang datangnya dari “langit” namun disisi lain, ada banyak sekali kekeliruan yang memang secara mata telanjang dilakukan dengan kecermatan yang minimal dengan tingkat profesionalisme yang amburadul. jika Tsunami memang datang dari “langit”. Lalu bagaimana menjelaskan kasus Haji kelaparannya. jika Adam Air mungkin kecerobohan setengah manusia dan sisanya Takdir lalu bagimana dengan keluarnya dan ditarik kembalinya PP 37 tahun 2006. Khilaf?

Atau anda boleh lupa dengan Energi dari Air yang ternyata akal-akalan tukang tipu cari fulus, lucunya kok bisa orang kepercayaan presiden membawakan ke meja Presiden, saya jg mulai sedikit lupa kalau ada padi supertoy yang katanya 3 bulan bisa 2 kali panen, ini benar-benar lelucon dalam keseriusan atau jangan-jangan serius untuk membuat lelucon. Lalu anda sadarkan diri bahwa anda sedang berada di sebuah negeri yang di intai 1000 plus musibah tadi.

Ini tentu dapat memberikan kejelasan, ada korelasi yang mulai terlihat sebagai kecompang campingannya pemerintahan ini dikelola. Sehingga bukan tidak mungkin banyak sekali keanehan yang akan muncul dan semakin terlihat kontradiktif satu sama lain. Disatu sisi berniat sungguh-sungguh melawan korupsi, namun disisi lain seorang Koruptor yang sangat kemaruk. bisa “lolos” kembali menjadi gubernur.

Jika kita mau jujur untuk mengevaluasi terhadap kinerja pemerintahan saat ini pantas memunculkan sebuah kesimpulan ; betapa tragisnya nasib bangsa bila kekuasaan yang ada saat ini di tangan SBY tidak mampu memfokuskan dirinya untuk memberikan manifestasi dari janji-janji untuk memulihkan perekonomian nasional. Bagaimana kita bisa menyatakan ekonomi telah pulih, apabila inflasi berlangsung tinggi, pertumbuhan berlangsung rendah, Dan persentasi kemiskinan menanjak. Sector real tidak bergerak, pengangguran meluas, perbankan tidak berfungsi, otonomi daerah yang saat ini sekedar retorika belaka dan KKN yang justru makin dominan dalam kehidupan bernegara. Dengan modus yang semakin tidak pernah terbayangkan pada era sebelumnya. Dan pekerjaan paling serius ternyata sekedar JAIM. JAGA IMAGE.

Satu lagi yang paling aktual adalah kita semua seolah tercengang, ketika menggelinding ke permukaan adanya upaya Kriminalisasi KPK. Upaya untuk membuat dan mengusahakan Penahanan dua petinggi KPK atas tuduhan dan sangkaan yang berubah-rubah.

Bagaimana tidak merupakan sebuah upaya KRIMINALISASI serta pelemahan terhadap Perang Anti Korupsi. Sebagai warga Negara yang terasa sangat kasat mata. Ketika MK memperdengarkan rekaman hasil penyadapan. Seolah memberi lampu terang benderang bagi penangkapan dan penahan kedua petinggi KPK yang dikenal berani dan konsisten.

Sekaligus menyisakan pertanyaan sederhana. Yakni Mengapa actor intelektualnya justru masih berkeliaran di luar. Bahkan terungkap pula kemungkinan upaya melumpuhkan mereka berdua yang dalam bahasa rekaman “tak pateni”. Aroma segar rekayasa dan bau busuk Kriminalisasi begitu menyengat siapa saja. Dan yang memalukan adalah begitu berlarut-larutnya para eksekutif untuk dapat menindak actor-aktor yang mestinya di makzulkan.
LSI menyebutkan, berlarutnya isu KPK-Polri-Century membuat dua lembaga politik tinggi negara, Presiden dan DPR dipersepsikan negatif oleh responden. Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, menyatakan, responden mempersepsikan negatif terhadap DPR sebesar 58 persen.
Sedangkan persepsi negatif terhadap presiden meningkat menjadi 64 persen dibandingkan pekan sebelumnya sebesar 53,85 persen. Persepsi negatif terhadap DPR sebesar 58 persen dan persepsi positifnya sebesar 36 persen tersebut terbentuk oleh kasus pertemuan DPR Komisi III dengan Kapolri. Yang pada intinya hampir seluruh kelembagaan Negara ini mengalami turun kelas secara politik.
Sampai dimana upaya pemberantasan Penyakit bangsa yang paling meresahkah rakyat ini akan dapat direalisasikan. Yakni Pemberantasan Korupsi. Yang bahkan Presidennya pun. “Ikut-ikutan” tersangkut, namun belum juga memperlihatkan upaya dan terobosan untuk meyingkap tabir kejahatan konspirasi tingkat tinggi ini. Bahkan masyarakat awam saja dengan lugasnya mempertanyakan. Presiden kok ga menuntut? Kenapa namanya disebut-sebut yang katanya “mendukung” itu justru tidak berbuat apapun baik untuk menepis dugaan. Ataupun melakukan maneuver demi kepentingan “citra diri” yang sudah dipercaya menjadi kebiasannya. Justru membiarkan begitu saja dirinya tersangkut paut.
Inilah bencana sesungguhnya ketika kebusukan justru mulai berawal dari Atas. Ketika konspirasi tingkat tinggi untuk melawan upaya kontra Anti Korupsi justru dengan maksud memberangus pemberantasan korupsi. Sungguh ironis dan benar-benar sebuah KLIMAKS dari bencana moral yang paling tak termaafkan. Dan ini sama saja membiarkan erosi besar-besaran. Tsunami besar menerpa jalannya pemerintahan. Karena bukan saja mengganggu melainkan juga mempengaruhi kinerja pembangunan apalagi masih bulan madu 100 hari terpilih untuk kedua kalinya. Presiden justru membiarkan bencana paling menyedihkan yakni. Bencana Moral.
Untuk itu sebagai rakyat biasa kita hanya dapat berharap, semoga tidak terjadi kutukan yang mengerikan terhadap bangsa dan negara ini. Meski demikian kita perlu teramat hati-hati dan tidak mudah memberikan cap terhadap pemerintahan saat ini seraya berpikir ulang untuk tidak cepat juga menggantungkan harapan-harapan yang muluk kepada pemimpin manapun.
Waspadalah sebagai warga Negara dalam menjatuhkan pilihan. Dan terlebih lagi Hati-hati agar bangsa ini tidak terpikir untuk mengucapkan “Selamat Tinggal SBY”.


***







Merindukan “The Real Presiden”

Dan Gibran dan Ali Said Damanik

Gonjang-ganjing persoalan Bibit Chandra yang kian hari makin bergemuruh di Internet wabil khusus dalam Facebook. Dan pergumulan yang saban hari dan jam nya mengisi ruang media kita. Tidak hanya Televisi tapi juga radio, tidak hanya Koran tapi juga ruang bus kota yang diisi pengasong dan pengamen. Semua membicarakan kasus ini.

Sampai pada puncaknya yakni Jawaban Presiden SBY atas rekomendasi team 8, yang notabene adalah bentukan SBY sendiri. Kalau boleh jujur, semua perhatian bangsa ini tertuju pada jawaban yang sikap, lugas dan tegas. Tidak bertele-tele apalagi mengundur-undur. Bangsa ini butuh pemimpin yang sebenarnya. The Real Presiden. The Real Commanders. The Real Executif.

Menjadi antiklimaks menurut saya ketika jawaban yang kita harapkan dan tunggu-tunggu justru sebuah pidato ketimbang sebuah jawaban, Langkah Eksekusi atau Perintah Eksekusi. Tapi kenyataannya JAWABAN itu lebih merupakan saran ketimbang instruksi. Kecewakah? Sebagian besar memberikan sinyal yang sama atas rasa kekecewaan mereka.

Bahkan Agustian seorang facebooker mengatakan “Anda Presiden atau Penasehat Presiden? Kata seorang facebooker. Bahkan seorang facebooker bernama Ade merasa menyesal “tau gini gw ga milih dia deh dulu, nyesel banget gw, cuma gitu doang!” dengan sesalnya.

Suara dan komentar ini sedikit banyak memberikan sinyal bahwa ada harapan yang terkoyak ada janji yang sepertinya tercederai, ada kualitas yang dulu dikampanyekan sekarang ketika saatnya dipergunakan justru disimpan dan sedikit dieram entah bersembunyi dimana.

Terus terang inilah bentuk kekecewaan kami yang telah tergiur “satuputaran” karena merasakan tidak ada yang jauh lebih “perform” presidential look ketimbang Pemimpin yang terpilih. Kekecewaan yang mesti ditelan mentah-mentah dan harus juga disimpan sekedar kekecewaan sambil menyalahkan diri sendiri. Mungkin itu yang harus kami telan.

Merindukan The Real Presiden

Kecewa dengan sikap para pemimpin bangsa akhir-akhir ini, tiba-tiba kita merindukan sosok Jusuf Kalla. Orang Makassar ini rupanya masih penuh mengisi memori saya dan membuat saya membolak-balik chanel TV, mencari-cari  siapa tahu ada dia yang sedang berbicara mengomentari persoalan-persoalan bangsa yang semakin menyebalkan belakangan ini. Tapi saya tahu usaha itu sia-sia. Beliau sudah pensiun dan sedang menikmati hari tua bersama keluarganya.

Saya pikir saya terlalu sentimental sehingga –jangan-jangan—cuma saya seorang yang merindukan “Mr. Quick Fix” & “The Real President” ini. Iseng-iseng saya tengok di berbagai forum di internet, irama senada juga banyak disuarakan oleh orang ramai. Bahkan suara itu juga diperdengarkan oleh mereka yang dalam pemilu lalu tidak  termasuk dalam barisan penyontreng kumis tipisnya.

Saya merindukan gaya bicaranya yang lugas, ceplas-ceplos dan apa adanya; spontanitasnya yang segar dan penampilannya yang bersahaja. Saya juga merindukan solusinya yang menerobos dan kerap out of the box, kesigapannya bertindak tanpa peduli dengan soal citra dan popularitas. 

Di atas itu semua, saya sebetulnya sedang merindukan kualitas dan keberanian seorang pemimpin dalam bertindak dan mengambil resiko dengan visi sebagai panglimanya. Sepanjang usia saya hidup di republik ini, tidak banyak pemimpin yang layak mendapatkan apresiasi karena keberaniannya bersikap dan bertindak. JK adalah satu diantara sedikit pemimpin itu.

Maka, ketika ada persoalan berlarut-larut yang melibatkan dua reptil di republik ini atau kasus sengkarut Bank Century, saya teringat Kalla yang berani blasak-blusuk di pagi buta ke pedalaman Aceh, masuk ke jantung konflik ketika itu, hanya supaya bisa ikut shalat subuh berjamaah bersama para tengku pemimpin lapangan GAM dalam upayanya mendapatkan kepercayaan mereka terhadap proses perundingan yang sedang berjalan di Helsinki. Sebuah keberanian yang beresiko tinggi tetapi untuk sebuah tujuan yang jelas. Saya tidak yakin pemimpin sebelum dan sesudahnya berani menanggung resiko semacam itu untuk kasus yang lain.

Ketika listrik napasnya senin-kemis di republik ini, saya teringat JK yang ngotot dengan solusi listrik 10.000 Megawatt-nya. JK yang dengan berani bersitegang dengan beberapa pejabat negara lain yang hanya mau bermain di area-area yang aman saja.

Ketika di saat-saat kritis hari-hari ini, dimana rakyat membutuhkan ketegasan dan komitmen penegakan hukum dari pemimpinnya, saya teringat Kalla yang men-skak mati seorang ibu pengusaha muda dari Bandung yang mempertanyakan komitmen Kalla (ketika itu sebagai seorang calon Presiden dalam Pemilu) terhadap pengembangan produk dalam negeri. Kalla ketika itu dengan entengnya mencopot sepatunya dan mempertontonkannya kepada publik bahwa sepatu itu asli buatan lokal. Sementara ketika sang ibu ditanya balik apakah tas-nya buatan dalam negeri, sang ibu –yang ternyata menenteng tas branded buatan luar negeri --gelagapan seperti menutupi aib ketangkep hansip.

Demikianlah Kalla. Sebagai pemimpin pastinya dia tidak sempurna. Tapi dia sudah menunjukan kepada kita sebuah ajian penting yang wajib ‘ain dimiliki seorang pemimpin; kesigapan dan keberanian mengambil tindakan, termasuk menanggung resiko apapun yang mengiringi tindakan itu.

Resiko –terutama yang buruk—itu  yang banyak orang takutkan. Resiko memang harus dikalkulasi dan di manage sedemikian rupa sehingga kalaupun ada kerugian bisa ditekan sekecil  mungkin. Tetapi jangan terlalu runyam dan kelamaan mengkalkulasi resiko, karena kesempatan tidak bisa menunggu.

Dalam dunia bisnis, kalkulasi resiko vis a vis keberanian dan kesigapan adalah menu mainan sehari-hari para eksekutif yang ganjarannya akan langsung keliatan dalam performance usaha mereka nantinya. Merupakan seni tersendiri untuk menggabungkan campuran diantara elemen-elemen itu. Biasanya, yang resikonya lebih tinggi hasilnya juga akan lebih kinclong (high risk high return).

JK dibesarkan dalam lingkungan seperti itu. Latar belakangnya yang saudagar membuatnya mesra dengan hitung menghitung resiko & peluang. Bukan soal besar bagi Kalla untuk mengorbankan bahkan popularitasnya, kalau dia juga melihat ada manfaat besar yang akan didapat di kemudian hari. Soal pembangunan pembangkit listrik 10.000 Megawatt adalah salah satu contohnya.

Tidak perlu rapat berpuluh-puluh jam (apalagi di hari libur), untuk mengetahui bahwa kasus Century adalah perampokan terang-terangan terhadap negara sekaligus tak perlu dewan penasehat untuk memerintahkan penangkapan pimpinan Bank Century saat itu juga.  Bahwa kemudian ceritanya menjadi lain, tentu itu hal yang berbeda.

Intinya, dengan persoalan maha kompleks yang menjangkiti bangsa ini, Indonesia jelas butuh dipimpin oleh mereka yang berani. Berani bersikap, bertindak, berkotor tangan termasuk tidak popular untuk sebuah cita-cita maha besar sebagaimana diamanatkan founding fathers:  keadilan dan kemakmuran bangsa.

“Be brave then the people will follow you” kata seorang guru. Pemimpin tanpa keberanian, seperti pisau tumpul, sayur tak bergaram, tukang cukur tanpa gunting, atau mesin VVT-i tanpa bahan bakar. Yang seperti itu, kata teman saya orang melayu;  “enjin bagus power ta’  ade…” (Wallahu A’lam)
Bab 3
Suara Facebookers Suara Tuhan

Dan Gibran

Jika ada yang mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, maka saat ini anda boleh mengganti istilah itu dengan suara facebooker suara Tuhan. Bagaimana tidak? Suara facebooker setidaknya dalam konteks kekinian dapat merepresentasikan suara mayoritas rakyat yang selama ini diam. Atau sementara dianggap DIAM.

Sarana kristalisasi suara rakyat seolah dapat diredusir hanya di bilik suara. Tiap lima tahunan sekali. Tapi kini tidak lagi. Definisi Legitimasi dan bandul kekuasaan saat ini harus dibongkar kembali, mengingat apresiasi masyarakat atas kebijakan pemerintah tidak selalu seiring sejalan. Bahkan terkadang bertolak belakang.

Mencuatnya dukungan pada kasus Chandra Bibit yang mendapat ganjaran pemenjaraan. Tiba-tiba dinilai oleh masyarakat sebagai sandiwara hukum dan politik yang terasa mengasingkan keadilan. Membuat masyarakat seolah berhadapan dengan lembaga-lembaga hukum, bagaimana tidak, rakyat serta merta melihat upaya pembalikan logika, yang tiap bagian episodenya memancing perdebatan dan sekaligus cibiran kepada aktor-aktor utamanya yang adalah sekelompok petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan.

Salahkah ketika akhirnya suara penolakan itu lantas muncul seketika. Bahkan hanya hitungan hari saja menembus angka 100,000 bahkan hari ke-8 sejak diprakarsai oleh Usman Yasin. Menembus angka 1 juta dukungan. Sejauh yang saya catat groups terbesar memang mampu mencapai 3 juta lebih namun itupun perlu waktu yang teramat lama untuk sampai ke angka 1 juta dukungan.

Mungkin ini semestinya masuk rekor tersendiri. Sungguh fantastis jika dilihat angka pengguna facebook yang baru 11 jutaan manusia indonesia yang menggunakannya. Dan itupun dengan penetrasi internet di indonesia yang baru 30 jutaan manusia Indonesia yang melek internet.

Suara Tuhan Lima Tahunan

Pemilu sebagaimana kita tahu adalah perwujudan hak sekaligus kewajiban konstitusional.  Pemilu sekaligus pesta rakyat, pesta yang menempatkan rakyat sebagai penentu siapa-siapa saja yang akan dipilihnya mewakili mereka di dewan perwakilan rakyat dari daerah hingga tingkat nasional. Sekaligus memilih pemimpin rakyat untuk lima tahunan ke depan.

Namun apakah pemilu adalah representasi suara rakyat. Apalagi ketika rakyat bicara keadilan, kesejahteraan bagi mereka. Dengan sistem pemilu yang proporsional terbuka sekalipun. Kemenangan pemilu tidak lantas berarti kemenangan rakyat. Kemenangan pemilu adalah kerberhasilan pemolesan citra dan kemampuan meraup suara ataupun juga dalam konteks tertentu bisa jadi kemampuan memanipulasi suara. Yang dalam bahasa Adhie massardi. Suara hasil nyopet.

Sementara keterwakilan mereka yang terpilihpun bisa jadi dipertanyakan ketika pemilu dengan serangkaian prosedurnya masih terbuka peluang untuk melakukan curang dan perekayasaan. Dan kebetulan sekali kita baru saja melalui Pemilu yang cukup bukti untuk dikatakan sangat kurang baik pelaksanaannya. Baik prosedur dan pelaksanaan teknis lainnya yang compang disana-sini.

Mulai dari problem, DPT yang amburadul, kasus kertas suara yang salah cetak, sampai proses-proses lanjutan penghitungan di PPS, KPPS, KPPK, rekapitulasi tingkat kabupaten/kota, Rekapitulasi tingkat propinsi dan juga rekapitulasi tingkat nasional, bahkan rekapitulasi IT yang semuanya turun derajat dari pemilu sebelumnya. Maka Pemilu boleh jadi jauh dari merepresentasikan suara rakyat. Ia hanyalah melegitimasikan suara konstitusi. Demikian juga proses-proses lanjutannya

Apakah menurut anda suara Tuhan bergema lima tahunan sekali cukup merepresentasikan  harapan rakyat yang sesungguhnya? Mengingat seringkali ada gap, dan jurang pemisah yang membuat suara rakyat terpinggir ketika penguasa justru mempergunakan suara rakyat, hanya sebatas pendorong mereka melaju menempati kursi kekuasaan dan seterusnya.

Pada wilayah itulah, seringkali terjadi gap dan jurang antara harapan rakyat dengan laju kekuasaan. Sehingga tidak pelak rakyat membutuhkan saluran-saluran yang mampu menjembatani untuk mengingatkan kembali penguasa atas janji-janji mereka ketika mereka kampanye terdahulu.

Ketika orang berduyun-duyun melakukan dukungan dengan menentukan pilihannya dibilik suara tak lebih dari 5 menit, dengan bekal pemahaman yang sangat minimalis, dengan kemampuan pemolesan citra dari kontestannya, dengan  kemungkinan-kemungkinan adanya perekayasaan dan kesalahan disana-sini. Apakah suara lima tahunan ini dapat dikatakan Suara Rakyat sebagai Suara Tuhan? Apakah pemilu masih dapat dikatakan sebagai sarana dan sekaligus ukuran yang mengukur suara tuhan?

Saluran Rakyat Alternatif

Dalam konteks demokrasi, saluran-saluran pengejawantahan kehendak besama rakyat tidak sekedar hanya dapat diredusir dengan pemilu. Demokrasi bukan hanya sekedar prosedur-prosedur politik transaksional antara rakyat dengan penguasa setiap periode tertentu, melainkan juga proses interaksi berkesinambungan. Seringkali kita lihat kehendak bersama juga tidak sejalan dengan pilihan politik masyarakat.

Sehingga sangat sah-sah saja ketika masyarakat mencari peluang untuk menyalurkan suara-suara mereka melalui sarana lainnya yang mampu menyalurkan keinginan, harapan mereka. Pada elan ini ketika facebook menyediakan ruangnya untuk membangun persemaian kehendak bersama itu kedalam bentuk-bentuk dukungan atau penolakan tertentu. Dan merupakan ruang kebebasan yang tak dapat di kontrol oleh siapapun kecuali oleh moral hazard masyarakat bersama itu sendiri. Maka jangan salahkan jika masyarakat menginginkan sesuatu yang lebih dari para pemangku amanah yang telah mereka titipkan suaranya, melalui proses konvensional pemilu. Meski demikian yang perlu di catat adalah rakyat bukanlah sekedar obyek semata. Tapi justru merekalah subyek yang sebenarnya.

Ketika Pemilu ”kurang mampu” dijadikan sandaran sebagai dikarenakan keterbatasan waktu ruang dan tempat secara sistemik. Maka bisa jadi facebook menjadi suara dan sarana alternatif bagi mereka yang memang merasa berkepentingan atas suara mayoritas masyarakat.

Suara Rakyat sekarang ini boleh jadi di representasikan dalam suara Facebooker. Inilah keanehan sekaligus keunggulan teknologi infromasi yang mampu menjembatani gap. Suara-suara yang kadang-kadang direduksi sebagai menang kalah. Atau barisan penguasa dan barisan oposisi.

Setidaknya kekuasaan yang di emban diberikan secara ”tidak gratis” oleh rakyat. Ada harapan-harapan disana, ada  sehingga legitimasi sepatutnya di berikan tanda koma bukan sekedar titik yang tidak perduli dengan kritik dan keinginan si empunya yang memberikan kuasa.

Memaknai Angka 1 Juta Dukungan

Dengan eskalasi dukungan yang demikian cepatnya hingga tak perlu menghitung waktu yang tak terlampau lama. Angka 1 juta dukungan itupun tercapai. Hingga tulisan ini di release sudah mendekati angka 1,4 juta pendukung, kalau ditambah dengan groups lainnya yang sejenis bahkan angka itu ternyata mencapai 2,7 juta pendukung.

Apa arti angka tersebut yang tentu saja jauh dari 60,2 % pemilih Presiden SBY, pada pemilu kemaren. Atau angka penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang. Dengan litergi yang linear seperti itu tentu saja tidak ketemu. Namun bandingkan dengan dukungan yang sama di media facebook untuk SBY yang hanya kurang dari seratus ribu, atau penggemar Sandra Dewi yang mencapai 250 ribuan.

Tentu saja tidak ingin juga mengatakan kalau Sandra Dewi vis a vis dengan SBY di pemilu maka pemenangnya adalah Sandra Dewi. Namun, lebih dari itu Angka satu juta dukungan yang bergulir demikian cepat dan dengan eskalasi yang terus membesar. Sebenarnya merepresentasikan suara masyarakat yang tengah bergerak. Masyarakat yang tengah gelisah, masyarakat yang marah dan menolak tipu daya.

Suguhan Sinetron tak layak tayang itu seolah ingin dijejali kepada masyarakat. Seolah masyarakat hanyalah Obyek dan bukan pelaku, atau subyek yang berperan untuk memberikan tanggapannya. Pemenjaraan Chandra Bibit yang sungguh sebuah pembuktian paling tak terbantah bahwa, sistem hukum kita berjalan tidak beriring dengan elan keadilan.

Rakyat melihat ketelanjangan ini dengan tatapan ironi. Seolah mereka dinafikan dan ketidakberdayaan mereka serasa dimanfaatkan untuk menempatkan mereka sebagai penonton-penonton kebijakan yang tak perlu berurusan dengan ”ikut-ikutan” Menentukan. Kita dan semua warga negara cukup dipinggir lapangan saja.

Tembusnya angka 1 juta dukungan, adalah kristalisasi dari bergaungnya suara rakyat. Yang ingin sama-sama turut serta ambil bagian. Perasaan terlukai dan terlecehkan, mengkristal menjadi tekanan bagi rakyat untuk ”berbuat” sesuatu. Maka ketika Usman Yasin menginisiasi Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Seolah rakyat memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan dan bahkan melakukan action yang serupa untuk mengatakan penolakannya atas kriminalisasi yang diperlakukan kepada kedua petinggi KPK itu.

Tidak mudah menjaring dukungan hingga tembus 1 Juta. Bahkan anda boleh coba sendiri. Alih-alih menuai dukungan boleh jadi malah menuai cercaan. Seperti halnya dengan Groups yang mendukung Polri untuk memproses kedua Petinggi KPK itu ke Meja hijau. Yang jumlah pendukungnya baru puluhan tapi ternyata yang masuk ke groups lebih banyak yang mencerca.

Dalam konteks kekinian ditambah lagi dengan makin berkembangnya teknologi informasi yang tidak saja mengubah struktur masyarakat. Melainkan juga mampu mengobrak-abrik susunan dan struktur pilar kekuasaan.

Ketika informasi makin tidak terbendung. Maka ketika itu pula seluruh proses-proses dinamika masyarakat makin transparan, tidak terkecuali juga proses pengambilan kebijakan dan proses lanjutannya. Termasuk juga penegakan hukum, peradilan dan proses-prosesnya. Semua dapat dilihat dengan jelas. Dan pada satu titik tertentu masyarakat dapat menyimpulkan sendiri.

Dulu proses hukum dan pengambilan kebijakan yang tidak transparan hanya melahirkan desas-desus dan kabar-kabar yang seringkali kabur dan menyesatkan masyarakat. Informasi saat ini menjelma menjadi urat nadi dan sel-sel Kebenaran. Bentangan informasi yang dapat dilalui muatan apapun saat ini tentu saja berfungsi untuk menjaga ketersediaan obyektifitas publik.

Memahami suara Rakyat bukan sekedar memahami coblosan suara di TPS yang itupun mungkin setidaknya lima tahunan sekali, suara rakyat bukanlah deposito yang periode cairnya 5 tahun sekali atau hanya berada di bilik coblosan suara belaka. Tapi saatnya suara rakyat menjelma menjadi penentu. Yang bisa dicairkan kapanpun juga untuk setiap kali itu juga didengar dan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan

Bayangkan angka satu juta dalam satu minggu dukungan para faceboker. Apa artinya? Angka satu juta dalam waktu sekejap ini adalah Kristalisasi dari gelombang serta animo masyarakat pendukung yang dapat dikalkulasikan. Jika di banding dengan proporsi penduduk Indonesia yang 10 juta orang mungkin bari 0,5 saja namun proporsi pengguna Internet di Indonesia ini yang baru menapai 20-30 jutaan orang. Ditambah dengan kecepatan dukungan yang membesar dalam waktu yang relatif singkat. Ini harus dibaca sebagai sebuah opini publik yang sedang membombardir dengan tatapn ironi yang menjelma menjadi tatapan yang marah kepada penguasa. Terutama mereka yang penyelenggara tugas 

Ini adalah kejahatan yang luar biasa karena menautkan sebuah logika paling mendasar yakni. Kejahatan ini dilakukan oleh mereka yang justru seharusnya menjadi pencegah atau bahkan juga pemberantas kejahatan.

Bagaimana tidak luar biasanya kalau ternyata facebooker mampu memaksa SBY untuk segera bertindak. Angka satu juta dukungan ini adalah perspektif publik yang tersingung. Yang marah dan meminta eksekutif tertinggi negeri ini bertindak. Dan tidak boleh dibiarkan tanpa menimbulkan konsekwensi.

Dan akhirnya terbukti TPF adalah jawaban paling jujur dari presiden SBY untuk menjawab tuntutan masyarakat dan terutama juga suara mereka yang terhimpun dalam facebook. Bagaimana tidak Langkah dan manuver politik SBY ini akan mengundang resiko sekaligus tanggapan masyarakat bahwa Presiden sudah tidak mempercayai institusi Polri dan Kejaksaan. Sehingga TPF sebagai kanal sebuat oleh SBY

Suara Rakyat adalah suara Tuhan. Dalam konteks kekinian, sah-sah saja menggunakan adagium itu, khususnya di gelanggang politik, walaupun banyak pertanyaan menyangkut hal ini. Misalnya, kalau memang suara rakyat adalah suara Tuhan, apakah Tuhan ikut bersalah karena rakyat telah membiarkan Soeharto menjadi presiden selama tiga dasawarsa? Dan, apakah Tuhan ikut pula bersama rakyat saat Soeharto ditumbangkan?

Contoh lainnya, dalam sebuah pemilihan kepala desa, ketika seorang calon terpilih karena membagi-bagi uang pada penduduk, apakah Tuhan juga bisa disuap? Ketika kepala desa tersebut melakukan korupsi, apakah Tuhan bisa dipersalahkan? Tapi, biarlah itu menjadi polemik di kalangan politisi, karena tulisan ini lebih kepada penggunaan adagium tersebut dalam konteks ilmu hukum.

Dari semua suara-suara dan komentar-komentar yang kian bergemuruh dari facebooker, penulis menyimpulkan bahwa rakyat sudah berteriak sangat gaduh : HENTIKAN SANDIWARA YANG TAK LAYAK TAYANG INI!!!

***

Ketika Satu Bangsa Berkomplot

Dan Gibran

Ketika satu juta orang berkomplot meneriakan keadilan, ketika satu juta suara bahkan lebih dan lebih membabi buta mencerca, menistakan bahkan mencerca ketidakadilan yang sengaja di perlihatkan kepada mereka. Pantaskah mereka kita sebut berkomplot? Rasanya ada yang salah dalam benak kita. Bahwa bagaimana mungkin suara tersebut digambarkan sebagai orang-orang yang berkomplot.

Demikian juga dengan segelintir manusia ditubuh kepolisian, atau ditubuh kejaksaan yang kemudian tertangkap basah secara rekam oleh penyadapan saat mereka tengah melakukan perencanaan, pemufakatan jahat, pengaturan siasat dan skenario yang kemudian membalikan logika hukum dan terlebih logika keadilan yang teramat telanjang tersebut mereka boleh disebut pihak yang benar?

Ketika semua orang berbisik-bisik, kemudian suara bisik-bisik tadi mulai bergemuruh bahkan ketika kumpulan suara bisikan-bisikan tadi dilakukan secara serempak dan pada gilirannya semakin tak lagi sunyi bahkan sekalipun berbisik kumpulan suara tadi menjadi hangar-bingar yang sangat mengganggu dan memusingkan. Bahkan teramat memekaan telingga terutama sekali mengusik mereka yang menjadi subyek dari bisik-bisik tadi. Apakah masih kita sebut sebagai bisikan-bisikan?

Ini mungkin terjadi ketika sebuah kondisi telah memperlihatkan kehadirat khalayak bahwa publik yang lugu dan teramat polos itu melihat bahwa ada keganjilan. Dan keganjilan tersebut di perlihatkan dan di pertontonkan kepada mereka secara berulang kemunafikan dengan mempermainkan keadilan. Seolah para petinggi tersebut hidup di ruang vakum yang tidak ada yang melihat sama sekali.

Yang jadi pertanyaan adalah salahkah ketika akhirnya suara-suara tersebut membahana kesegala sudut ruang, jalan-jalan dan gang serta selokan-selokan seolah terisi oleh obrolan dan bisikan-bisikan. Ketika itu terjadi anda masih menyalahkan bahwa rakyat berkomplot memperbincangkan ketidakadilan yang dipertontonkan secara sangat sengaja.

Kerumunan Facebooker

Facebooker jelas bukan jenis komplotan, karena sejatinya ia kumpulan berkerumunnya orang perorangan dalam lintasan jejaring sosial dunia maya. Mengutip Le Bon yang menulis dalam buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd).

Giddens mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum. Faacebook adalah arena percakapan itu. Ruang dan fasilitas umum yang menghubungkan dengan banyak manusia lainnya. Dan sekaligus tempat berkumpulnya manusia itu. Meski relatif tidak secara fisik. Namun setidaknya facebook

Menurut Le Bon, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu: 1.Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.

2. Contagion (penularan). Facebook sendiri adalah gejala sosial yang semakin menular pada subsistem cultur masyarakat terutama kelas menengah dan lintas kelas serta usia. Sehingga dimungkinkan dukungan atas Chandra Hamzah dan Bibit ini menular ke banyak pelaku-pelaku lainnya. 3.Konvergensi (keterpaduan). Hiruk pikuknya perseteruan Cicak Versus Buaya semakin mempertebal keyakinan publik untuk membela pihak yang dizalimi. Dan terakhir adalah 4. Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Ketika seorang supir  bertanya pada tuannya Bapak sudah ikutan dukungan difacebook belom pak. Soal kasus Bibit Chandra?. Sadar atau tidak si supir yang sudah masuk ke jejaring sosial tadi justru menimbulkan efek mempengaruhi.

Facebooker Melawan Kebohongan Yang Kasat Mata

Diruang facebook ini dengan berbagai groups dan forum diskusi yang berada didalamnya. Adalah ruang ”percakapan” dimana kita tengah berinteraksi satu dan lainnya. Dan setidaknya intensi yang relatif tidak kecil untuk mengumpulkan suara-suara tadi.

Ketika rakyat yang tengah berkomplot itu memperbincangkan anda menimbang ulang bahwa tahta yang di kuasakan pada pengemban amanah tak mampu menjawab keadilan maka bukan tidak mungkin suara-suara itu akan membising dan bergabung dalam riuh rendah kebisingan lainnya.

Lalu kita bersatu dalam suara-suara untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bersatu menyatakan penolakaannya. Dan ternyata kita sedang berkomplot. Dan alamat tuduhan itu kemudian meluncur pada kita yang tengah Memang dunia dibalik. Apasalahnya menyatakan penolakan apa salahnya mempersoalkan korupsi dan geliat makelar kasus yang sangat gamblang, nyata dan kasat mata justru dilihat oleh publik.

Justru sebaliknya kita tidak melihat mereka yang seharusnya melakukan dan memerangi persoalan ini bergeliat untuk melakukan upaya yang sama justru tidak kelihatan, invisible, Tidak kasat, tidak kongkrit dan lambat melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan publik.

Seorang sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) mengkalsifikasikan kerumunan menjadi empat (4) jenis, yaitu kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional (convensional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd), dan kerumunan bertindak (acting crowd).

Awalnya ketika tercetus dukungan pada Prita kita lantas lupa setelah kemudian Prita mendapatkan penangguhan penahanan, dari sekedar kerumunan sambil lalu (casual crowd) massa pendukung mulai mengintensifkan menjadi kerumunan ekpresif ketika mereka mengkristalkan dukungan-dukungannya juga bagaiamana masyarakat tak kenal Prita secara langsung tadi.

Inilah yang menjelaskan kemudian sekumpulan ibu-ibu di depok dan jati padang kemudian tergerak untuk mengumpulkan uang receh. Dan kemudian diberikan label gerakan oleh media sebagai Koin Untuk Prita. Tidak saja itu tapi juga masyarakat yang sudah menyatakan berekpresi tadi juga melakukan tindakan (acting crowd)

Meski demikian kita sadari bahwa kerumunanpun memiliki nilai yang relatif meski bernuansa kesementaraan. Namun demikian komplotan mereka yang berada difacebook yang menyatakan keinginannya untuk melakukan action juga didorong oleh nilai-nilai tadi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Bahkan bukan tidak mungkin kerumunan tadi pada titik ideologis yang sama akan mampu melakukan aksi. Mereka beraksi ketika ruang-ruang yang mereka dorong dan harapkan melalui saluran-saluran sosial dan legitimasi kekuasaan konvensional tak lagi memberikan jawaban. Bahkan cenderung diam atau malah melawan arus. Maka tunggu saja kerumunan yang berkomplot di facebook itu tumpah ruah di satu tempat untuk kemudian bukan lagi sekedar berekpresi melainkan juga bertindak.

***

People Power 2.0

Sejarah telah bertutur: jangan main-main dengan massa yang berkerumun. Penguasa sekuat apa pun bisa ambrol bila melawan massa seperti itu. Gerakan people power di Filipina telah menghancurkan rezim Ferdinand Marcos. Gelombang unjuk rasa mahasiswa pada 1998 juga telah melengserkan Soeharto.
Itu dulu, Bung. Untuk menumbangkan penguasa, orang perlu berkumpul di satu tempat. Mereka berunjuk rasa bersama-sama meniru demo ala Lech Walesa atau Tragedi Tiananmen. Lalu menggabungkan energi kemarahan sehingga menghasilkan tuntutan yang meledak-ledak.
Sekarang orang tak perlu berkerumun di satu tempat untuk menggerakkan people power. Ini zaman web 2.0 (meminjam definisi Tim Tim O’Reilly) , Bung, era orang bisa menyuarakan pendapatnya  dengan lantang . Facebook dan Twitter jauh merasuk ke relung-relung kantor, kampus, juga tempat-tempat nongkrong. Cukup teriakkan kepedihan bersama di Facebook, “jemaah fesbukiyah” akan mendukungnya spontan. Lihat saja gerakan mendukung dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M.
Hamzah. Hanya dalam hitungan hari, sekarang sudah terkumpul “kerumunan” yang terdiri atas lebih darisejuta pendukung. Mereka sangat lantang dan juga galak. Gerakan mengenakan pita hitam atau baju hitam sebagai bentuk keprihatinan terhadap matinya keadilan hukum dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan polisi serta kejaksaan sebagai contohnya. Dalam sekejap, gerakan mengenakan pita hitam menyebar ke mana-mana.
Padahal, dalam gerakan ini, tak ada yang disebut superinfluential people, seperti teori Malcolm Gladwell dalam bukunya, The Tipping Point. Dulu setiap perubahan selalu membutuhkan “orang berpengaruh”. Polandia butuh Lech Walesa. Gerakan reformasi 1998 di Indonesia butuh orang-orang seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengku Buwono, juga para orator mahasiswa, yang kini sudah duduk manis di kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Merek Hush Puppies, seperti kata Galdwell, pun butuh orang berpengaruh. Merek yang hampir mati itu tiba-tiba melejit–penjualannya terbukukan 5.000 persen–lantaran orang-orang penting tiba-tiba memakai sepatu Hush Puppies.
People power melawan ketidakadilan terhadap Bibit dan Chandra tidak membutuhkan superinfluential people. Mereka tak butuh koordinator lapangan atau orang-orang yang mencari donasi untuk membeli nasi bungkus. Saat orang merasakan “kepedihan yang sama”, orang pun berkerumun di Facebook dan Twitter serta situs jejaring sosial lainnya. Tak peduli siapa yang meneriakkannya. Siapa yang kenal dengan pembuat “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”, yakni Usman Yasin? Mungkin 99 persen pendukung gerakan ini dipastikan tak mengenalnya.
Dulu betapa repotnya mengumpulkan sejuta orang. Kini bisa terkumpul dengan beberapa klik komputer. Inilah People Power 2.0. Di Indonesia, setidaknya sudah dua kali people power model ini lahir dan menekan dengan kuat orang-orang yang berkuasa. Yang pertama, saat Prita Mulyasari, penulis e-mail yang dipenjarakan Rumah Sakit Omni Serpong. Yang kedua adalah gerakan dukungan terhadap KPK dan membuat Presiden Yudhoyono tergopoh-gopoh memanggil tokoh penting, membentuk Tim Pencari Fakta.
Kepolisian, kejaksaan–atau Presiden sekalipun–boleh menganggap remeh gerakan ini. Mereka mungkin akan bilang, “Ah, itu kan cuma di Facebook” atau “Ah, itu kan bukan gerakan kaum elite, bukan gerakan rakyat”. Tapi keadaan bisa berbalik. Perubahan memang selalu dipelopori dari kalangan kelas menengah, baru kemudian menetes ke masyarakat kelas bawah atau atas. Sekarang sudah terbukti, sejuta  facebooker bisa menggoyang Yudhoyono, yang meraih dukungan dari 41 juta orang pada Pemilu 2009.
Bila masyarakat marah, People Power 2.0 akan terus bergulir, membesar bak bola salju. Seperti kata Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi. “Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri.”
Burhan Sholihin : blog tempo interaktif

***

Munculnya Aktivis-aktivis Online

Dan Gibran


PRITA MULYASARI BUKAN TERORIS, IA TIDAK PERNAH MELEDAKKAN RESTORAN ATAU MENGANCAM DAN MENGEBOM HOTEL, IA BUKAN KORUPTOR YANG MENILEP UANG RAKYAT, IA BUKAN PENJAHAT YG MEMBUNUH ORANG, BUKAN PULA PERAMPOK KELAS KAKAP YG KELUAR MASUK PENJARA  demikian komentar dari salah seorang facebooker.

Prita, 32 tahun, hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih balita. Yang berkeluh kesah suatu ketika, dia merasa diperlakukan tak layak oleh Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Lalu mengirim keluhan lewat email kepada beberapa temannya. Tapi, gara-gara email itulah, ia kemudian digugat oleh Rumah Sakit Omni. Ia dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu. Prita kalah di persidangan perdata. Naik banding. Ia juga menghadapi persidangan pidana dan dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni
Internasional dengan terdakwa Prita Mulyasari telah dihentikan dalam putusan sela oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, putusan sela itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banten. Dengan pembatalan putusan sela itu, dengan demikian sidang kasus pencemaran nama baik dengan dengan terdakwa Prita Mulyasari bakal dilanjutkan kembali. Putusan Pengadilan Tinggi Banten terjadi atas atas banding yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyadi dan Rahmawati Utami.

Tiba-tiba muncul kasus nenek minah yang mencuri 3 Buah Kakao, Kemudian ada lagi Pak Basyar yang harus menjalani hukuman karena di tuduh tetangganya mencuri semangka. Dan dari semua kasus itu secara kebetulan serempak dilakukan pembelaan oleh masyarakat Online. Apa lacur? Semua kasus itu mengindikasikan secara sangat nyata bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa, yang dekat dengan kekuasaan, sedangkan hukum begitu mudah diterapkan pada ”wong cilik”.

Sehingga tidak aneh ketika masyarakat merasakan perasaan yang sama, secara common sense kita merasakan keadilan memang tidak berpihak pada yang lemah. Dan ketika itu menjadi musuh bersama –common enemy. Maka saluran apapun menjadi begitu sesak untuk sekedar menyuarakan perlawanan.

Koin Prita yakni gerakan pengumpulan dana untuk Prita Mulyasari adalah bentuk persaudaraan bersama common feeling yang terus menggurita bak air bah. Yang justru jauh melampaui jumlah dari seharusnya dibayarkan Prita adalah sebuah suara-suara rintihan yang selama ini memang tidak mendapatkan tempatnya.



Dulu seingat saya, ketika tahun1998 gaung para milist (penggiat) email. Sedikit banyak membantu mendistribusikan atau sedikitnya mengkompori Mahasiswa dan masyarakat yang memperjuangkan reformasi. Kontribusi mereka adalah membocorkan ”rahasia negara”. Yakni korupsi pejabat beserta Anak dan kerabat-kerabatnya. Sehingga masyarakat muak dan sekaligus murka.

Kini jauh lebih ”beringas” bukti paling artifisial yang tak dapat dibantah adalah satu juta dukungan untuk Bibit dan Chandra saja sudah dapat mewakili sebuah opini publik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat jelas bukan lagi sekedar obyek-obyek pernyerta atau menjadi penonton di pinggir lapangan lagi. Melainkan mereka adalah subyek yang sebenarnya.

Para Blogger, yakni sebuah definisi untuk sebuah aktivtas penggiat blogs, yang muasalnya adalah dinding tempat curahan hati para netter. Yang pada gilirannya penyuaraan pembelaan, Para Facebooker, definisi juga bukan hanya sekedar mereka yag memiliki account di facebook melainkan juga masuk pada ranah aktivism. Yakni mereka yang menggiat suara keperdulian melalui channel facebook. Dan mungkin juga para Twit-twiter dan banyak lagi sarana penggaungan notasi rasa keadilan, keperdulian dan kancah pembelaan yang tak lagi sekedar basa-basi.

Para twitterpun kini bukan lagi sekumpulan orang yang saling menggosipkan persoalan remeh-temen seputar kegiatan orang-orang di lintasan hidupnya. Kini muncul apresiasi-apresiasi yang tak sedikit mengundang berbagai isu yang jauh lebih strategis. Mulai dari prita bahkan sampai kasus yang menimpa Luna maya.

Dah bahkan implikasi sosial dan budaya bagi kehadiran aktivis-aktivis online ini sangat demikian menggemparkan. Boleh jadi inilah era dimana masyarakat menjadi penentu. Orang-perorangan kini makin diperhitungkan. Seiring dengan mewabahnya facebook, twitter, blogs dan mungkin akan banyak lagi bermunculan situs pertemanan yang memberikan ruang yang sama bagi tempat berkumpulnya manusia-manusia waras pemrakarsa keadilan. Pejuang-pejuang online, relawan-relawan digital yang sediakala memantau pojok-pojok demokrasi di negeri para bedebah seperti kata Adhie Massardi.

***

Menggertak Istana Dari Kamar Kos

Pewawancara : TEMPO

Kerap diteror, bahkan ia pernah hendak dibunuh, diancam dengan golok.




Siapa menyangka revolusi itu dimulai dari sebuah kamar kos. Di sebuah sore yang kering, Usman Yasin, dari kamar kosnya, 500 meter dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor, menggerakkan perlawanan yang sampai menggetarkan Istana Negara.
Tak banyak orang mengenal Usman. Dia cuma mahasiswa biasa. Umurnya 44 tahun. Kandidat doktor itu hanyalah dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Tipi sore itu, 19 Oktober 2009, rasa kecewanya terhadap penahanan dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sudah di ubun-ubun. Maka ia pun meneriakkan kegelisahannya dengan membuat halaman dukungan untuk Bibit dan Chandra di Face-book. Dengan laptopnya, dia membuat halaman "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah Bibit Samad Riyanto".Perlawanan dari kamar kos itu temyata menciutkan Istana Negara. Lebih dari sejuta pengguna Facebook ikut mengecam penahanan tersebut. Artis, politikus, serta ribuan orang turun ke jalan ikut berunjuk rasa. Semuanya terinspirasi oleh sebuah halaman fan di Facebook yang berjudul "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah Bibit Samad Riyanto".
Padahal "pemberontakan" alumnus Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB tahun 1990 itu terbilang kalem. Di halaman Facebook dia menuliskan kecaman yang santun "Sebagai anak bangsa, kami mencintai KPK. Untuk itu mari kita dukung Chandra dan Bibit dalam grup ini. Kita namakan Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit.""Terlepas dari apakah mereka bersalah atau tidak, kami yang berada di luar sistem merasa terganggu oleh kejadian yang menimpa Pak Bibit dan Mas Chandra," \ ujar Usman kepada Tempo, Jumat pekan lalu di taman kampus FPB Darmaga, Bogor.
Perlawanan kecil-kecilan itu dia mulai dengan mengundang 500 temannya di Facebook. "Sebagian besar dari mereka memberikan dukungan, bahkan langsung menelepon saya memberi semangat agar tetap terus berjuang. Saya juga masuk ke beberapa grup agar bisa mengajak anggotanya mendukung Bibit-Chandra," ujar Usman, yang pernah delapan tahun mengajar di Fakultas Pettanian Universitas Muhammadiyah Malang sebelum pulang kampung ke BengkuluTak disangka, kelompok perlawanan ini bak disambut luar biasa, dari dalam negeri dan orang Indonesia luar negeri. Malam itu 50 ribu orang mendaftar ke grupnya. Esok harinya, jumlah anggota grup ini makin bertambah hingga 100 ribu lebih.
Dukungan yang terus bergulir bak bola salju itu sempat membuatnya banyak menerima telepon teror. "Hati-hati, Bang," begitu Isnaini, istri Usman, yang menjadi lurah di Kota Bengkulu, menasihatinya. Beberapa teman juga mengingatkan Usman agar tidak mencantumkan data pribadi dan keluarga, untuk menghindari adanya kemungkinan teror.Bagi Usman, teror adalah "santapannya" dulu saat di Bengkulu. Dulu dia pernah diteror akan dibunuh, diancam pakai golok. Itu terjadi saat ia menjadi aktivis, antara lain Ketua Yayasan Lembak Bengkulu-LSM yang mengkritik kasus korupsi di pemerintah daerah Bengkulu.
Komentar-komentar di dinding grup Facebook-nya mulai beragam. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Bahkan pihak yang dianggap "lawan" sempat mengkritik soal pengetahuan dan data yang dia miliki soal Bibit dan Chandra. Usman tetap bertahan dari serangan berbagai pertanyaan. "Saya katakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kelahiran KPK karena ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan memberantas korupsi di Indonesia," ujar pria kelahiran Bengkulu, 22 Oktober 1965, ini.
Dukungan pengguna Facebook terus menggelinding walaupun pada 3 November lalu Bibit-Chandra dibebaskan dari tahanan. Setiap hari, puluhan ribu orang bergabung, dah pelajar, mahasiswa, sampai aktivis lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan partai. Bahkan dukungan dari anggota kepolisian dan keluarganya juga mengalir. "Saya tidak menyangka ter-nyata banyak anggota Polri di berbagai daerah mendorong saya agar terus berjuang untuk mereformasi Polri dan Kejaksaan Agung," ujar ayah tiga anak ini.Dukungan semakin membanjir saat Komisi HI Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Kepala Polri Bambang Hendarso Damiri dan pejabat Polri lainnya. Mereka memberikan penjelasan soal dugaan kriminalisasi pimpinan KPK dengan menjadikan Bibit-Chandra tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan menerima suap.
Acara yang menurut Usman "melukai hatiTakyat" itu membuat jumlah pendukung grup ini tercatat 200 ribu. Puncaknya ketika 1,5 juta orang bergabung.Gara-gara membeludaknya dukungan, Usman harus menambah jam berinternet. Sebelumnya, ia membuka Facebook dua jam sehari, dan kini ia harus meluangkan waktu tiga sampai enam jam sehari. Dia tak ingin mengecewakan 1,5 juta pengguna Facebook yang mendukungnya. Dia melayani chatting, tulisan ke kotak pesan atau dinding akun Facebook-nya, surat elektronik, pesan pendek, bahkan telepon.
Untuk itu, Usman sering mengakses Internet di mana saja setiap ada kesempatan, baik menggunakan laptop maupun melalui telepon seluler. Biaya langganan Internet hanya Rp 110 ribu per bulan ditambah pulsa yang tidak terasa digunakan sekitar Rp 200 ribu.Dengan 1,5 juta pendukung, Usman sempat kewalahan. Tak kurang akal, ia mengajak teman-temannya, bahkan yang pernah jadi mahasiswanya, memantau dan menghapus komentar yang kurang pas, foto-foto dan video yang berbau rasis, fitnah, SARA, pornografi, serta iklan.
Puncak kebahagiaan, diakui Usman, diperoleh saat keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan, yang mencabut status tersangka Bibit-Chandra, dan setelah itu secara resmi keduanya kembali berkantor di KPK. Ia kemudian diundang bertemu dengan Chandra dan Bibit. Ia diundang memberikan sambutan pada peluncuran buku Bibit, Corruptor Go to Hell, pada 16 Desember lalu."Ketidakadilan bisa mendorong orang untuk bekerja sama dalam sebuah aksi bersama," katanya. "Dan gelombang itu telah menggetarkan tembok-tembok kekuasaan, bahkan mampu menggetarkan istana."

***






Facebook, Micro Blogging :
People Power Gaya Baru

Kondisi saat ini, tidaklah jauh berbeda dengan kondisi zaman orde baru, dimana para politisi, dan pemerintah serta pejabat Negara, selalu berkoar-koar seakan tidak ada yang salah dengan negeri ini, semua sepertinya berjalan sesuai dengan konstitusi, perundang-undangan serta peraturan hukum yang berlaku. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, semua yang konstitusional itu merupakan sebuah kamuflase untuk tetap mendapatkan legitimasi dari rakyat, padahal langkah konstitusional itu merupakan cara untuk menutup kasus yang sebenarnya terjadi dengan rekayasa-rekayasa yang dapat diterima oleh akal, serta pengkondisian bukti-bukti untuk memenangkan dalih didepan hukum.
Rakyat merasakan ketidak adilan, tetapi tidak memiliki kuasa untuk membuktikan.
Rakyat mencium bau bangkai, tetapi jasad bangkai tetap disembunyikan, dibalik seragam-seragam petugas dan pejabat Negara, yang berusaha mencari pembenaran dari sikap dan tindakan yang diambil.
Keterbukaan yang dikondisikan oleh kemajuan teknologi informasi dan Internet yang sudah menjadi lifestyle di seluruh dunia, ternyata tidak dapat dibendung, dan belum disadari benar oleh seluruh petinggi negeri. Bahkan orang sekaliber Amin Rais, yang katanya tokoh reformasi pada tahun 1998, tidak menyadari bahwa people power itu sudah bergerak.  People power melalui media internet seperti facebook, website, blog dan milist memiliki pengaruh yang sangat luar biasa, tidak hanya mencakup bangsa ini saja, tetapi bisa mempengaruhi seluruh penjuru dunia. Dengan kecanggihan, tulisan dalam sebuah blog yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dapat disimak oleh orang asing dengan menggunakan aplikasi translator, walaupun masih belum sempurna, tetapi tetap saja dapat menyampaikan informasi dan opini keseluruh dunia.
People power yang dilakukan melalui media internet lebih dashyat dibandingkan demo-demo yang dilakukan ke istana dan gedung DPR, karena yang melakukannya adalah kelompok yang memiliki status sosial, ekonomi serta pendidikan yang mumpuni untuk melakukan gerakan. Semakin banyak banyak kelompok ini berpartisipasi dalam perjuangan aspirasi ini, semakin besar desakan kepada pemerintah untuk mengambil keputusan yang tepat. walaupun begitu fungsi demonstrasi secara fisik masih tetap diperlukan didalam perjuangan menyampaikan aspirasi rakyat, sebagai sebuah bukti bahwa perjuangan didunia internet merupakan sebuah aspirasi nyata, tidak hanya anonym atau tidak jelas identitasnya.
Walaupun masih perlu dilakukan penelitian, identitas yang ada di Facebook merupakan identitas yang benar. Justru itulah sebuah kemajuan facebook sebagai sebuah social media, walaupun tidak seratus persen, minimal 85 % dari identitas yang ada difacebook, merupakan identas ril. Mungkin inilah yang tidak disadari oleh kelompok yang berpihak kepada kepolisian kejaksaan, bahkan sempat keluar sebuah statement yang menyatakan bahwa mereka akan mendapat dukung seribu juta dari facebooker. Tentu saja pendapat ini dikeluarkan didasari pendapat, bahwa identitas facebooker itu merupakan sebuah kepalsuan.
Mereka berpikir, dengan seonggok uang, untuk membayar sebuah tim yang akan membuat identitas-identitas facebooker palsu yang akan mendukung kelompoknya, maka akan didapat dukungan facebooker yang melebihi dari jumlah penduduk Indonesia.
Sikap melecehkan dan menganggap remeh inilah yang akhirnya malah menjerumuskan kelompok pendukung Kepolisian dan kejaksaan, sehingga mendapat perlawanan yang lebih besar lagi.
Seharusnya mereka menyadari bahwa dunia sudah berubah, tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi tindakan-tindakan koruptif, walaupun saat ini masih tetap saja berlangsung tindakan korupsi diseluruh penjuru Nusantara ini, tetapi itu tidak lebih karena belum disadarinya perbuatan yang dilakukan sebagai sebuah kesalahan dan masuk kedalam kategori korupsi, karena sudah menjadi kebiasaan dan merupakan hal yang dibiasa. baik bagi pelaku maupun orang-orang disekitarnya.
Mudah-mudahan perjuangan menegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi akan memperlihatkan hasilnya, kesadaran masyarakat serta kepedulian untuk memberantas korupsi dinegeri ini meningkat.  sehingga seorang istri yang mengetahui bahwa suaminya membawa uang yang lebih besar dari yang seharusnya secara spontan akan bertanya, ” sweetheart korupsi ya ….?” . atau seorang anak yang mendadak dibelikan sebuah mobil mewah akan bertanya kepada orang tuanya  “papa… Korupsi ya …..?”
kemajuan teknologi tentu memberi pengaruh besar bagi kehidupan. Mungkin saja nanti kita akan membaca status facebook salah seorang penjabat yang berbunyi…
“sedang menuju ke hotel X, bertemu dengan Y, mau dikasih duit 10 M… mau beliin Mama apa ya ?”
Atau pesan disalah satu account twitter yang berbunyi.
“ ditilang di jalan sudirman, petugasnya yang bernama X meminta uang 50 ribu….”
Atau,
“  oknum yang bernama X,  meminta pungli untuk perpanjangan SIM/STNK/KTP…”
Jika hal ini disadari oleh para petugas, para pejabat dan masyarakat Indonesia, kemajuan teknologi ini akan berdampak luar biasa, bagi terbukaan, bagi penegakan hukum, dan bagi kondisi yang lebih baik. Karena fasilitas  Facebook, dan Twitter atau sosial media lainnya akan memberi perubahan bagi kehidupan kita, termasuk bagi perusahaan-perusahaan dalam menjalankan bisnisnya..
Bayangkan saja, seorang nasabah Bank yang tidak mendapat pelayanan yang baik terhadap sebuah bank, lantas mengirimkan pesan melalui Facebook dan Twitter  yang berbunyi “Bank X pelayanannya tidak baik, customer servicenya yang bernama susi, judes, dan tidak sopan……”. Mungkin saja keesok harinya, si customer service akan dipindahkan atau bahkan dipecat, karena atasan langsungnya menyimak informasi yang di twit oleh nasabah yang kecewa tersebut.
Mari kita sadari kondisi ini, baik bagi facebooker, dan para twiiters, bahwa facebook dan micro blogging seperti twitter dapat dimanfaatkan bagi kepentingan yang lebih besar, dari hanya sekedar situs pertemanan, atau hanya sebagai sebuah lifestyle saja. Facebook dan microblogging merupakan sarana untuk menyampaikan informasi, ide-ide dan pencerahan bagi kemajuan bangsa ini.
Walaupun masih ada yang buat status, “ … lagi bête… sendirian dirumah…….” atau “ ….pusing.. kerjaan gak abis-abis…..” atau  “ … lagi party neh… lagi cihuy sama sidia….”
Mungkin sebaiknya kita lebih mawas diri, dan memanfaatkan kemajuan yang ada secara lebih bijak, sehingga mendapatkan manfaat yang luar biasa…
Dan untuk para koruptor, punglinger (maksudnya tukang pungli…), dan penjahat kerah putih… hati-hati dalam melakukan tindakan kejahatannya…. Karena sekarang era keterbukaan…karena tidak akan ada tempat persembunyian bagi perbuatan korup anda.
Sikap arogansi kekuasaanpun harus memperhatikan dampak kemajuan teknologi ini juga. Walaupun menjadi penguasa, anda tidak bisa berbicara asal, asal menyalahkan, asal membela diri, asal mencari kambing hitam. Kalau memang banjir terjadi karena ketidakmampuan mengantisipasi, jangan salahkan rakyat! Karena rakyat sudah bosan menderita dan tetap disalahkan.
Ditulis oleh Defrimardinsyah


***

Gerakan Sosial Digital


Sekali lagi kita menyaksikan kekuatan gerakan massa. Kali ini, gerakan massa mampu membongkar skandal hukum terbesar di Republik ini sejak reformasi dijalankan hampir 11 tahun lalu. Publik yang terus-menerus berteriak, yang lalu disalurkan dan diperkuat media massa, mampu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya terlihat salah membaca situasi akhirnya mengambil tindakan. Rekaman yang membeberkan kebobrokan sistem peradilan kita diperdengarkan ke publik, dan polisi yang semula bersikeras ada alasan untuk menahan pimpinan KPK nonaktif akhirnya membebaskan mereka dengan alasan “demi kepentingan lebih besar.”

Satu hal yang unik dalam protes publik kali ini adalah untuk pertama kalinya di Indonesia terbentuk hubungan ketergantungan antara teknologi dalam bentuk new media, media massa, dan gerakan sosial. Grup di facebook yang menyuarakan dukungan untuk KPK, yang dibuat aktivis dan dosen asal Bengkulu, Usman Yasmin, masih terus membesar dengan anggota hampir 800 ribu hingga Rabu (4/11) malam. Aktivisme di Internet ini telah berhasil menyuarakan pesan rakyat secara gamblang.

Dalam tulisan ini saya ingin menguraikan beberapa hal tentang aktivisme di Internet, yang mungkin berguna untuk mengerti fenomena aktivisme di Internet dan bagaimana prospek ke depannya.

****

Pertama mari kita lihat asal-usulnya. Di satu sisi, kita tidak heran grup facebook yang mendukung KPK tersebut menjadi besar karena KPK sudah lama menjadi primadona publik dibanding lembaga hukum lain dan masalah korupsi juga sudah menjadi perhatian umum. Tetapi, melihat status update Pak Usman pada saat-saat awal, tampak ada perasaan terkejut ketika grup tumbuh sangat pesat dalam waktu singkat. Jadi, berbeda dengan aksi protes di dunia non-Internet yang perlu pengorganisasian intensif sebelumnya, aksi di Internet dapat terjadi secara organik.


Tentunya ini bukan berarti aksi terjadi secara spontan; banyak grup di facebook yang terbentuk spontan tapi tidak menjadi besar karena mungkin tidak cukup banyak orang yang merasa isu tersebut penting. Masalah korupsi memang populer. Selain itu, latar belakang Pak Usman yang aktivis dan dosen, memang tak dapat dikesampingkan begitu saja; mungkin ia sudah terbiasa mengungkapkan opini dan perasaan ke publik sehingga tidak merasa canggung untuk memulai sebuah aksi. Poin utamanya adalah mudah bagi banyak orang untuk memulai aktivisme di Internet, tetapi besar-tidaknya gerakan yang dihasilkan bergantung pada isu yang diusung dan dinamika proses penyebaran informasi selanjutnya.

****

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana grup ini menjadi besar. Sepintas kita berpikir tak sulit membuat gerakan sosial di Internet karena orang dapat melakukannya hanya dengan mengklik sambil tiduran sekalipun. Ini memang benar, tapi justru karena begitu mudahnya memulai gerakan di Internet, orang akan dibombardir oleh ajakan untuk bergabung dengan aneka macam gerakan. Akibatnya orang akan memilah-milah grup mana yang paling cocok. Karena orang memilih secara sadar, kita bisa menganggap grup aktivisme yang besar menjadi besar bukan hanya karena mudah bagi orang untuk ikut serta, tapi juga karena memang isu yang diangkat mendapat dukungan luar biasa.


Selain itu, ada fitur facebook yang tepat untuk menjadi alat rekrutmen sebuah gerakan, yaitu wall , yang membuat kita bisa melihat saat teman kita menjadi anggota sebuah grup. Manusia adalah mahluk sosial yang selalu memperhatikan apa yang dilakukan orang lain di sekitarnya. Melihat banyak orang dalam jejaring kita sendiri bergabung dengan sebuah grup akan memberikan tekanan sosial untuk bergabung.


Mendapat invite dari teman untuk bergabung membuat kita pikir-pikir. Melihat sebuah grup beranggota besar (atau kerumunan massa besar) tidak otomatis membuat kita tertarik bergabung karena kita dapat menganggap kelompok itu berbeda. Tapi melihat teman kita sendiri berbondong-bondong bergabung, memberikan dorongan luar biasa untuk ikut. Wall di facebook memungkinkan kita melihat apa yang dilakukan teman-teman. Dan, jika banyak teman kita melakukan hal serupa, besar kemungkinan kita akan melakukan hal itu juga.


Dinamika ini konsisten dengan penelitian mengenai gerakan sosial yang menemukan bahwa, dalam banyak kasus, seseorang menjadi aktivis bukan karena kesamaan ideologi atau pandangan lalu bergabung dengan kelompok. Ia diajak temannya untuk bergabung ke kelompok dan baru menjadi aktivis ketika sudah menjadi bagian kelompok itu dan belajar mengenai isu yang diperjuangkan.

****

Jangan kita lupakan peran media massa. Dalam kasus ini, media massa terus-menerus melaporkan perkembangan gerakan di facebook. Bagi mereka yang tidak terkoneksi ke Internet, efeknya seperti mendengar ada demonstrasi besar di kota lain; mereka tidak melihat atau merasakan secara langsung tapi menjadi tahu akan keberadaan sebuah kelompok besar yang kesal akan suatu hal. Gerakan facebook adalah sinyal adanya sebuah masalah penting yang membuat banyak orang geram, yang selanjutnya diberitakan media massa.


Liputan media massa ini juga dapat menjadi umpan-balik positif untuk gerakan: orang yang sebelumnya menganggap remeh gerakan facebook berubah menjadi menganggapnya penting karena gerakan tersebut diliput oleh media massa. Reputasi gerakan menjadi naik karena mendapat liputan media massa yang tidak mudah diperoleh; reputasi naik karena ada sinyal bahwa gerakan telah berhasil melakukan sesuatu yang sulit, yaitu menarik perhatian media massa.


Khusus untuk gerakan mendukung KPK ini, sejak awal peran media di Internet relatif besar. Situs berita detik.com memberitakan grup facebook ini sejak anggotanya masih 164 orang. Jadi sangat mungkin grup tersebut menjadi besar dengan cepat karena orang membaca beritanya di detik.com dan lalu menyebar melalui jejaring pertemanan di facebook. Jadi, dalam hal ini, proses membesarnya terjadi akibat kombinasi dari pengaruh media Internet dan proses difusi di jejaring sosial.

****

Paparan di atas menggambarkan bagaimana aktivisme di Internet dapat menghasilkan sebuah kelompok pendukung dan penekan yang, dengan bantuan media massa, mampu menghasilkan perubahan nyata. Pertanyaan selanjutnya, apakah bisa lebih dari itu? Terutama bagaimana jika media massa tidak meneruskan sinyal protes dari Internet ke khalayak ramai? Jawabnya bisa.

Selain untuk membentuk kelompok penekan maya, kita juga dapat menggunakan Internet sebagai alat untuk mengorganisasi gerakan sosial nyata di lapangan. Inilah yang dilakukan Barack Obama, baik ketika kampanye maupun setelah menjadi presiden AS, saat ia melakukan mobilisasi massa untuk mendukung kebijakan-kebijakannya.

Grup di facebook, misalnya, dapat menarik orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Setelah grup menjadi besar dan anggotanya aktif berbagi pendapat, kita dapat mengkategorisasi anggota berdasarkan lokasi tempat tinggal. Selanjutnya kita membantu mereka membentuk kelompok-kelompok lokal sendiri yang bergerak dan membuat aksi di lokalitas masing-masing sehingga memobilisasi mereka yang tak terkoneksi ke Internet.

Aktivis yang melakukan aksi di berbagai tempat ini dapat menggunakan Internet untuk saling bertukar informasi sehingga mereka dapat belajar satu sama lain dan juga saling bertukar cerita melalui tulisan dan video yang membuat semangat tetap tinggi.

Tentunya menggunakan internet sebagai alat pengorganisasian perlu strategi dan tim yang lebih lengkap dibandingkan menggunakan internet sebagai ajang curah pendapat dan emosi kolektif.

Yang pasti Internet telah menjadi salah satu alat aktivisme; Internet dapat mempermudah seseorang menjadi aktivis; Internet dapat dipakai untuk mengelola dukungan untuk sebuah aktivisme. Ini semua dapat berujung pada partisipasi publik yang semakin besar dan memperkuat demokrasi di Indonesia dengan memberikan kekuatan tambahan bagi rakyat, terutama saat penguasa tidak mau mendengar rakyat. Power to the people!

Roby Muhamad menulis disertasi tentang jejaring sosial di Columbia University, New York.

Roby Muhamad



***




Parlemen Online, Jalan Pintas Demokrasi

TAK ada habis-habisnya perbincangan tentang gerakan 1.000.000 facebookers pendukung Bibit- Chandra di banyak media cetak dan elektronik.

Para anggota grup tersebut menunjukkan empatinya dengan mengirimkan banyak komentar dan dukungan agar Bibit-Chandra bebas dari tuntutan hukum. Tak jarang, mereka menggunakan kata-kata yang menyindir terhadap beberapa pihak yang dinilai tidak adil dan tidak becus dalam penegakan hukum di Indonesia. Tanpa takut dan tanpa berpikir panjang, kini masyarakat telah semakin mampu menunjukkan sikap kritis mereka agar pemerintah dapat menyelesaikan kasus tersebut secara cepat dan adil.

Ini jelas tidaklah mengherankan jika melihat sistem pemerintahan Indonesia yang berbentuk demokrasi.Memiliki prinsip trias politica,yang terdiri dari badan eksekutif,legislatif dan yudikatif,dan ketiganya bekerja secara independen atau terpisah. Dalam kasus Bibit-Chandra, lembaga hukum yang seharusnya menjadi penegak hukum,dalam hal ini polisi dan kejaksaan, malah ikut tersandung dengan masalah hukum dan seakan tidak dapat menempatkan diri sesuai dengan perannya.

Tidak salah jika presiden membuat Tim Pencari Fakta (Tim 8) yang dimaksudkan untuk menjadi penengah atau kekuatan yudikatif baru dalam penyelesaian masalah ini. Terlebih, melihat buruknya penegakan hukum ini, kepercayaan masyarakat pun semakin memudar.Masyarakat yang merupakan pemberi mandat pemerintahan,merasa harus turun tangan memberikan pendapat dan ide dalam upaya perbaikan pelaksanaan hukum RI. Namun, jika aspirasi yang secara fitrahnya disampaikan melalui wakil rakyat atau DPR tidak dapat sejalan dengan apa yang diinginkan,menyebabkan banyak masyarakat menggelar aksi demonstrasi untuk menunjukkan kekuatannya yang seakan terperangkap di DPR.

Kini, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi dan semakin kritisnya masyarakat dalam penilaian pemerintahan dan hukum, aspirasi tersebut tersalurkan secara lebih cepat melalui media internet. Hingga, terbentuklah semacam parlemen online yang dapat dikatakan sebagai jalan pintas pelaksanaan demokrasi. Dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu,facebookerspendukung Bibit- Chandra telah menembus angka 1,2 juta, melebihi jumlah yang ditargetkan yaitu 1 juta pendukung. Mereka sebagian besar tentu saja merupakan kalangan terpelajar yang aktivitas sehari-harinya tidak terlepas dari penggunaan internet.

Mahasiswa, pelajar, orang kantoran, bahkan orang pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki pendapat-pendapat yang spontan dan jujur namun tetap cerdas dan kritis dalam memberikan masukan dan keluhan. Apalagi banyak informasi yang mereka dapat tentang pemerintahan negara lain yang lebih tegas dalam penegakan hukum. Kondisi kian diuntungkan karena mengingat Indonesia berada di urutan ke-7 pengguna terbanyak Facebook sedunia.

Fenomena ini juga berkorelasi langsung dengan rakyat Indonesia yang kian melek internet dan berusaha memaksimalkan alat yang membuat dunia menjadi borderless. Internet telah dimaksimalisasi fungsinya untuk mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat. Ini jelas menunjukkan besarnya kepedulian masyarakat akan sebuah perbaikan hukum yang ada di Indonesia. Tak kalah pentingnya dengan peran media massa, parlemen online harus diperhitungkan untuk menjadi kekuatan baru dalam penegakan moral Indonesia.

Ini dapat menjadi sebuah sarana komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Diharapkan juga dapat menjadi media baru dalam penjaringan aspirasi dan alat kontrol baru bagi pelaksanaan programprogram pemerintahan yang bersih, lebih transparan, dan taat hukum.(*)

Ermy Rizkawati
Mahasiswi Administrasi Keuangan dan Perbankan Universitas Indonesia

***

Group Facebookers  Layak Masuk MURI

Dan Gibran

 

"BISA jadi Fenomena Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto pantas dicatat dalam museum rekor, telah dijadikannya media facebook sebagai sarana people power melawan penguasa hukum yang bertindak semena-mena terhadap warga negara" ujar Santi. Komentarnya dalam groups.


Dalam hitungan satu minggu saja. Sudah berhasil menembus angka 1 juta member, mereka yang kemudian bergabung di group ini. Bukan Cuma Museum record Indonesia, bahkan mungkin saja Mark Zuckerberg sendiri harus mendaftarkan 2 hal pertama bahwa facebooker adalah Situs jejaring terbesar didunia. Dan kedua adalah Groups yang mendukung Chandra Bibit sebagai groups dengan pertumbuhan tercepat. Bukan saja di dindonesia melainkan juga dunia.


Fenomenal, Dahsyat, dan Spektakuler, begitulah kiranya anggapan banyak pihak, sebab dukungan yang mencapai satu juta hanya dalam hitungan minggu itu boleh jadi demikian jarang atau kalau boleh dibilang inilah sebuah rekor dan prestasi.

Dukungan yang demikian membesar memang bukan tanpa sebab, melainkan ada sebuah pelataran isu yang memang sangat unik dan juga sama dahsyatnya. Yakni tindakan penahanan dua pimpinan KPK yang dianggap oleh masyarakat memenuhi unsur kesewenang-wenangan dan sangat mengcela serta menghardik logika. Bahkan inilah yang di sebuah sebagai “People Power” lewat sebuah jejaring social.

"Fenomena facebook sebagai sarana people power  sebenarnya lebih dulu muncul di Iran! Tapi karena munculnya terkait kampanye pemilihan presiden yang dengan mudah diklaim sebagai black campaign, panitia pemilunya mengeluarkan larangan penggunaan facebook untuk menggugat penguasa di masa kampanye!" sambut Amir. "Di Indonesia, people power lewat facebook juga terjadi di masa kampanye pemilu presiden! Tapi karena para pengguna facebook di sini lebih tajam memfokuskan tembakannya ke sebatas kasus Prita, tidak melebar misalnya menjadikan kasus Prita sebagai contoh kegagalan rezim dalam menjalankan reformasi di bidang hukum, bahkan para pengguna facebook juga tidak terpancing oleh kehadiran dua pasangan capres dalam kasus ini, people power ini pun tidak mengandung gangguan terhadap proses pemilu presiden! Tampak people power ini benar-benar murni sebagai ekspresi simpati terhadap nasib Prita dengan desakan yang amat dahsyat untuk pelaksanaan hukum yang jujur dan adil oleh aparat penegak hukum!"

"Betapa dahsyatnya pressure dari people power lewat facebook ini terlihat dari respons Jaksa Agung yang dengan amat cepat membentuk tim eksaminasi! Timnya bekerja secara amat cepat pula, hingga hasilnya bisa langsung disampaikan kepada publik--bahwa jaksa yang menangani kasus Prita tidak profesional!" tegas Umar.

"Dengan hasil eksaminasi seperti itu, yang menunjukkan adanya penyimpangan penerapan hukum alias cacat hukum dalam berkas penuntutan, seharusnya Jaksa Agung meminta pengadilan menghentikan persidangan guna mengganti jaksa dan berkas penuntutannya! Agar, hukum bisa diproses di atas rel yang benar!

"Untuk itu sebenarnya pengadilan bisa membuat putusan sela! Tapi biarlah, soal itu kita lihat apa jadinya saja!" timpal Amir. "Kembali ke facebook sebagai sarana people power, jelas mengangkat peradaban manusia menjadi lebih tinggi karena ia menggantikan people power dalam bentuk arak-arakan massa dalam jumlah amat besar yang bisa menjurus anarki! People power lewat facebook, sebuah perjuangan massa amat besar yang dilakukan tanpa kemungkinan anarki!
People Power BARU
Hingga saat ini telah menembus angka 1.420.559 dan akan terus bertambah seiring waktu, namun yang ingin saya kemukakan disini adalah ajakan turun ke jalan dan people power yang mendapat sambutan hangat di diskusi grup itu, terasa ada semacam kekecewaan dan rasa muak yang mendalam terhadap pemerintahan yang telah mereka anggap telah gagal ini dalam menekan angka korupsi di dalam tubuhnya, dan kegagalan itu semakin menemukan bentuknya dengan isu kriminalisasi terhadap KPK yang bermuara pada ditahanya 2 orang petinggi KPK Bibit samad rianto dan Chandra Hamzah.
Bahwa gerakan ini bukan hanya gerakan hangat-hangat tahi ayam, sehingga kemudian tokoh-tokoh nasional yang kemaren telah menjaminkan diri mereka untuk pengganti bagi penahanan Bibit S Rianto dan Chandra hamzah juga bersedia ikut bergabung dengan gerakan turun ke jalan, maka bisa jadi ketika sinergi antara kalangan menengah yang terdiri atas tokoh2 nasional itu, ditambah kalangan profesional muda dan mahasiswa, kemudian di sokong oleh kalangan idealis muda di tubuh militer dan keplisian yang mendukung dari belakang, dengan operasi senyap, maka ini bisa jadi akan mengulang kembali peristiwa 66 dan 98.
Andai saja anggapan itu benar adanya, maka kita tentu masih ingat betapa beberapa waktu sebelum tahun peristiwa G30 S yang menjadi momentum aksi turun ke jalan tahun 66, kekuasaan Soekarno nyaris mutlak, demikian juga ketika ‘98 terjadi, diawali dengan pemilu 97 yang menempatkan golkar di perolehan suara tertinggi sepanjang orde baru, namun kemudian pasca dilantiknya Soeharto Maret ‘98. selang beberapa bulan, tepatnya bulan Mei 1998 aksi turun jalan sanggup memaksanya lengser keprabon. Dan mungkinkah setelah pemilu 2009 yang menempatkan demokrat sebagai pemenang, dan pasangan sby berbudi sebagai pemenang dalam satu putaran ini akan mengalami nasib diturunkan dengan aksi People Power generasi baru?.
***

Kekuatan Jemari vs Ketidakadilan

”Tawar menawar harga, pas, tancap gas.”


Potongan lirik Iwan Fals ini seperti cerminan panggung hukum yang terjadi di Indonesia. Khususnya misteri yang menyelimuti trio kasus besar;  Masaro (Bibit-Chandra), kasus Antasari, dan skandal Bank Century.

Dibukanya rekaman sadapan KPK di Mahkamah Konstitusi membuktikan adanya jual beli kasus dan putusan hakim yang diperdagangkan mafioso. Rekaman itu membuat seluruh mata tercengang. Mafia peradilan yang selama ini hanya sebatas rumor ternyata bukan fiksi. Hati masyarakat tercabik-cabik.

Celakanya, Anggodo Widjojo belum juga ditetapkan sebagai tersangka dengan dalih belum adanya cukup bukti. Dalih Polri itu menambah daftar panjang luka masyarakat. Ada adagium yang sering dilontarkan penegak hukum, “Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.”

Namun, hal itu kerap diinterpretasikan sebagai dalih untuk memihak pada kekuasaan dan atau kepada uang. Penegakan hukum di Indonesia tak jarang justru menjauh dari keadilan. Tak memihak pada rasa kemanusiaan.

Di sisi lain, ada pula adagium lain yang digunakan pihak aparat, “Tersangka berusaha melarikan diri.” Akibat dari produk ini, banyak kasus penembakan yang dilakukan oknum aparat untuk membunuh –bukan melumpuhkan- seseorang. Pada saat bersamaan, kasus “salah tembak” yang menimpa warga tak berdosa masih sering terjadi.

Klaim negara hukum yang dilontarkan penguasa dan penegak hukum tidak serta merta memiliki imbas positif untuk mengedepankan keadilan. Termasuk menurunkan korupsi. Sebaliknya, praktik korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia justru meningkat. Hukum bukanlah milik penguasa. Kekuasaan tak bisa semena-mena menafsirkan keadilan untuk kepentingan elite politik, individu, atau golongan tertentu saja.

Akhir-akhir ini, wajah keadilan makin suram ketika suatu kasus sampai di lembaga pengadilan. Kasus koruptor banyak yang divonis bebas. Jika pun ada yang divonis bersalah, hukumannya masih ringan dan jauh dari efek jera. Vonis itu sering berbanding terbalik dengan kasus ringan yang menimpa warga biasa, apalagi rakyat jelata. Kasus Minah, misalnya. Gara-gara tiga buah kakao, wanita tua itu  harus berhadapan dengan polisi dan jaksa. Sungguh menyakitkan, hukum sama sekali tak berpijak pada keadilan. Menafikan rasa kemanusiaan.

Keadilan yang ditafsirkan hakim sering kali melukai hati rakyat. Hukum selalu membela yang memiiki kuasa. Akibatnya korupsi hampir terjadi di semua lini. Terjadi di hampir sebagian wilayah Indonesia. Dari kota besar hingga daerah kecil. Kondisi ini diperparah dengan maraknya mafia peradilan di lembaga penegak hukum. Jual beli kasus terjadi di sekitar kita.

Sementara kisruh cicak-buaya dan mengambangnya kasus Century masih terus menyita perhatian publik. Hati rakyat merasa disayat. Luka itu kian menganga manakala presiden yang diharapkan mampu mengatasi kekacauan hukum, justru bungkam selama hampir dua pekan. Tak ada tindakan tegas, apalagi langkah ril yang cepat, tepat. Spekulasi negatif dan kebencian rakyat terhadap penguasa kian tak terbendung.

Rakyat hanya mampu berkeluh kesah, berdoa, dan pasrah pada keadaan. Berharap ada keajaiban yang datang menyelimuti bumi Indonesia. Sebab wakil rakyat yang dijadikan harapan terakhir justru menikam rakyat. Mereka berkhianat terhadap amanah yang dipikulnya. Sikap Komisi III DPR RI terang-terangan memihak kepolisian dan kejaksaan. Beruntung, media sebagai kekuatan keempat pilar demokrasi bersatu padu menyuarakan hati rakyat.

Namun, semua itu tidaklah berjalan mulus. Dua pemimpin media nasional sempat dipanggil Mabes Polri. Lagi-lagi hati masyarakat bertambah sakit. Sakit sekali. Apa pun dalih yang digunakan, pemanggilan itu telah membuat cacat jalannya demokrasi yang kita agungkan. Bahkan pada Ahad (22/11) malam, Presiden memanggil pemimpin redaksi media massa nasional. Dalihnya: menyatukan konstruksi pemikiran dan sharing tentang kasus hukum belakangan ini.

Dengan langkah ini, tak berlebihan bila banyak orang menyamakan rezim SBY dengan rezim Orba. Sebentar-sebentar, media dipanggil. Sebentar-sebentar aktivis ditangkap. Tudingan yang digunakan bermacam-macam; salah satunya pencemaran nama baik. Sekali lagi, keadilan bukan milik penguasa. Keadilan adalah hak seluruh bangsa.

Di seluruh agama dijelaskan memberi dengan ketulusan hati sumber kebahagiaan hakiki. Seperti kisah burung putih di atas salju. Memberi tanpa menunjukkan sosoknya. Dalam Islam diajarkan, bila seseorang memberi bantuan usahakanlah tangan kiri tidak melihatnya. Ini bisa dilakukan hanya dengan ketulusan dan keihklasan yang tinggi. Termasuk memberikan bantuan berupa keadilan pada porsi yang tepat. Bukan keadilan semu yang selama ini dipertunjukkan di panggung hukum Indonesia.

Alih-alih rakyat mendapat keadilan dan bersuka cita atas prosesi hukum yang terjadi. Pembusukan hukum, kegamangan Presiden dan arogansi oknum penegak hukum justru malah menyeret luka masyarakat pada titik yang mendekati klimaksnya. Masyarakat terus menunggu kiprah Presiden: Apakah ia mampu menjadi ratu adil di tengah dahaga kebenaran atau sebaliknya malah menambah luka bangsa?

People power bukan rekayasa

Luka publik yang telah tertanam cukup lama telah membuncah. Berkat kecanggihan teknologi dan polesan kecerdasan Mark Zuckerberg –pencipta Facebook- memudahkan warga untuk mengeluarkan uneg-unegnya. Termasuk menuliskan kekecewaan mereka terhadap proses hukum dan pengkhianatan keadilan di varian situs jejaring sosial.

Setelah seluruh pihak tak lagi mampu diharapkan menjelma menjadi burung putih di salju, secara spontan dan sporadis publik membentuk kekuatannya sendiri. Dengan kekuatan jemari yang dipusatkan di keypad HP dan keyboard PC serta laptop, muncul kekuatan baru yang luar biasa dan tak pernah diduga sebelumnya. Kekuatan ini sulit dibendung manakala pembusukan hukum dan politik masih terus berlangsung.

Luka dan kecewa rakyat kian membengkak melihat elit parpol Islam yang lambat laun mulai membuka topengnya. Secara terang-terangan mereka kini memihak kekuasaan. Praktis, hamper tak ada lagi harapan yang disandingkan masyarakat. Bermodal kekecewaan massif, rakyat menjalin persatuan melalui dunia maya. Tercetuslah ide-ide untuk membangkitkan people power demi mengkritisi kebijakan yang melenceng dari nurani.

People power bukanlah suatu rekayasa. Gerakan ini lahir dari hati nurani terdalam karena melihat keadilan diusik. Fenomena Gerakan Sejuta Facebooker Dukung Bibit-Chandra dan gerakan sejenisnya bisa menjadi kekuatan kelima setelah pers. Gerakan ini berasal dari lintas agama, ras, suku, usia, geografis, strata sosial dan pendidikan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, begitu analogi yang sering dikumandangkan di negeri penjunjung demokrasi. Kini suara itu tercermin dari gerakan tersebut.

Ini bukan khayalan. Manakala luka-luka rakyat terus menganga dan tak terobati, bukan hal mustahil kekuasaan dijungkirbalikkan. Indonesia pernah mengalaminya di masa reformasi. Itu terjadi karena ketidakadilan merangsek masuk merusak ketenangan masyarakat. Semua sepakat, jangan sampai hal itu terulang lagi. Kita sudah bergerak selama 11 tahun setelah reformasi.

Siapa pun tak ingin bila kita mundur lagi ke belakang. Namun, bukan tidak mungkin bila kita memang harus melangkah mundur. Sebab, saat ini sedang terjadi ‘perang’ antara kekuatan jemari versus ketidakadilan. Duhai, penguasa dan penegak hukum jadilah kalian seperti burung putih di atas salju. Berilah rakyat keadilan. Pembela keadilan telah ditakdirkan Sang Maha sebagai pemenang melawan tirani.

Meski para pembela keadialan berasal dari kekuatan jemari, bukan hal yang sulit kekuatan itu menggulingkan kekuasaan. People power bukan hal yang direkayasa. Ia tak mampu direka-reka. Kekuatan mereka lahir bukan dari mulut provokator. Namun, ia tercipta dari hati nurani begitu sakitnya terusik.

Pertanyaan mendasar

Selama ini dua pertanyaan mendasar menghantui kita: Mengapa Presiden lamban mengambil tindakan tegas? Mengapa penegak hukum di negeri ini justru mengkhianati hukum? Banyak pihak menyesalkan tindakan lamban Presiden. Sementara publik juga bertanya-tanya seberapa besar kekuatan Anggodo yang masih saja bebas. Padahal jelas-jelas dalam rekaman sadapan KPK,

Anggodo seolah berperan sebagai sutradara. Pemberantasan mafioso harus segera ditangani serius. Sebagai langkah awal, rekomendasi Tim 8 harus mendapat porsi prioritas sesuai keinginan masyarakat. Seanjutnya, isi rekaman KPK bisa diurai lebih jauh, disidik, dijadikan pintu gerbang untuk membuktikan siapa oknum pengkhianat hukum yang selama ini bernaung di institusi penegak hukum.

Tidak menutup kemungkinan mafioso dibekingi petinggi penegak hukum itu sendiri. Bisa jadi mereka dibela salah satu para pemegang kebijakan. Karena itu pendalaman terhadap isi rekaman sadapan sangat penting. Apalagi, tiga orang yang suaranya ada dalam rekaman percakapan tersebut mengakui suaranya.

Kemudian, mau tidak mau, suka tak suka, Presiden harus bisa melaporkan pencemaran nama baiknya yang telah dicatut. Seperti kasus sebelumnya. Sayang, Presiden masih diam. Padahal kondisi hukum di Indonesia sedang gonjang-ganjing. Rakyat butuh kepastian hukum.

Apalagi, Presiden telah mencanangkan agenda 100 harinya memerangi mafia hukum. Kita berharap pihak terkait juga mampu menyelesaikan kasus Bank Century dan ketidakjelasan kasus besar lainnya. Kasus Edy Tansil, pembalakan liar, kisruh DPT, dan sebagainya. Belum lama kita juga bertanya-tanya: Mengapa kasus dana kampanye bias di SP3-kan kepolisian tanpa alasan jelas. Bahkan, Bawaslu sempat protes.

Tapi, lagi-lagi, keadilan itu ditelantarkan. Kasus Bibit-Chandra yang minim bukti justru sulit diberi SP3. Sungguh ironis. Hentikanlah ketidakadilan yang terus menelanjangi bangsa ini. Rakyat sudah koma, jangan biarkan mati dengan ketidakpastian hukum yang terjadi saat ini.

Bila Presiden tak segera mengambil tindakan, dikhawatirkan tembok kepercayaan masyarakat semakin runtuh. Sebab suka tak suka, kasus Masaro, Century, dan rangkaian kasus lainnya harus dibongkar. Ini janji yang selalu akan ditagih rakyat pada Presiden. Jangan sampai nurani itu pergi, lalu mati. Jangan oh jangan!

Sadarilah dan selami nurani, jujurlah untuk menginterpretasikan serta melaksanakan keadilan, duhai penguasa. Sebelum hal buruk terjadi di Indonesia, mari selamatkan negeri ini dengan menjunjung keadilan. Bila keadilan sirna, kekuatan jemari segera bertambah kuat hingga berkamuflase menjadi people power yang bisa menaklukkan kekuasaan; dengan mudah. Dengan izin Sang Maha. Jangan sampai itu menjadi mimpi buruk bangsa ini.
Sumber tulisan R. Rudi Agung Prabowo (Rap Al Ghifari)


***




Tunduk Tertindas Atau Bangkit Melawan!

Kekuatan situs-situs jejaring sosial dan internet melawan korupsi tidak bisa lagi dibendung. Melihat ramainya forum diskusi, mailing list bahkan status pribadi di facebook terlihat jelas bahwa warga Indonesia yang punya akses internet, yang nuraninya masih ingin menegakkan keadilan, secara maksimal mempergunakan internet untuk mengeluarkan pendapat.   
Facebook, sebuah jejaring sosial yang bermisi, “giving people the power to share in order to make the world more open and connected place” (terjemahan bebas: memberi kekuasaan bagi individu untuk berbagi untuk menjadikan dunia lebih terbuka dan tersambung), menjadi alat mobilisasi yang strategis. Situs jejaring sosial lain, seperti Twitter, juga berperan yang sama. Tidak heran karena pengguna Twitter di Indonesia termasuk lima pengguna terbesar diseluruh dunia, bersama dengan Inggris, Brazil, Spanyol dan Amerika Serikat (BlogTempo).
Facebook telah berkembang menjadi ruang mimbar bebas demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Kekuatan dukungan sosial melalui Facebook ini sebelumnya sudah terbukti ampuh menghantarkan kesuksesan Presiden Barack Husein Obama dalam menghimpun jutaan pemilih pemula dalam pemilu presiden Amerika Serikat November 2008 lalu.
Di Indonesia, terlihat terutama setelah menguatnya akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja institusi penegak hukum (non KPK), dan DPR. Akumulasi kekecewaan publik diperparah dengan terbongkarnya rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan, yang memunculkan dugaan kuat adanya rekayasa dan mafia peradilan.
Pada saat hampir bersamaan harapan agar DPR (Komisi III) melakukan kontrol terhadap kuatnya mafia hukum di kepolisian dan kejaksaan justru hanya mengamini keterangan Kapolri dalam kasus dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Partisipasi facebooker dalam mendukung Bibit-Chandra ini dapat dianggap sebagai sebuah pilihan rasional. Artinya, para facebooker hanya mengeluarkan sedikit 'biaya' untuk bergabung dengan kelompok pendukung Bibit-Chandra, tapi mempunyai tujuan besar, yakni menyelamatkan KPK. Apalagi setelah Tim Delapan atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Perkara Hukum Bibit Chandra bentukan Presiden SBY sudah mengeluarkan kesimpulan, lemahnya bukti-bukti yang bisa dijadikan alasan menjerat Bibit-Chandra sebagai tersangka.
Pada umumnya gerakan sosial menjadi alternatif untuk membangun partisipasi dan dukungan publik yang efektif dan efisien untuk merespons dan menyikapi persoalan serta kasus yang dipandang merugikan kepentingan publik, merusak kehidupan masyarakat luas, atau mengancam kedaulatan negara-bangsa.
Rakyat Indonesia kini sangat rindu dengan kondisi negara Indonesia tanpa korupsi. Rakyat sudah muak dengan polah koruptor yang menggerogoti uang negara, rakyat merindukan kesejahteraan. Rakyat ingin adanya perubahan yang nyata yaitu pemberantasan korupsi secara komprehensif. Aparat pemberantas korupsi juga jangan menjadi koruptor. Inilah cita-cita yang bisa menjadi ”driving force” bagi people power.
Fenomena masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini adalah tahap membangun kesadaran bersama bahwa gerakan pemberantasan korupsi sebagai starting point kebangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan, telah dihalang-halangi. Bahwa kebenaran dan keadilan telah ditindas.
Peran dunia maya tidak bisa dianggap remeh dalam komunikasi gerakan massa terutama dalam tahap mobilisasi massa. Presiden Filipina Erick Estrada jatuh juga karena besarnya massa yang berhasil dimobilisasi dengan internet dan telepon genggam.
Perseteruan antar lembaga negeri ini rupanya telah memasuki babak baru. Dijebloskannya dua pimpinan KPK Bibit dan Candra kedalam sel sekaligus ditetapkan sebagai Tersangka, dituntut dengan pasal ‘seenak perut’ (karena digonta ganti ketika tuntutan lainnya tidak terbukti) direspon oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Beberapa Tokoh penting juga akhirnya turun gunung berusaha menengahi ataupun mendesak Presiden untuk bertindak. Tak sedikit pula yang tampil dibarisan depan menjaminkan diri mereka dan menuntut pembebasan kedua petinggi KPK tersebut.
Dukungan moral rupanya tak hanya disuarakan dalam bentuk nyata. Dalam ranah mayapun dukungan terus mengalir demi sebuah keinginan menegakkan keadilan dinegeri ini. Facebook salah satunya.GERAKAN SEJUTA FACEBOOKER MENDUKUNG CHANDRA DAN BIBIT yang di gagas oleh USMAN YASIN dalam hitungan hari telah meraup dukungan setengah dari target yang diharapkan. Hingga 3 November pagi pk. 8.50 tercatat sudah mencapai angka 505.095 Facebooker yang ikut memberikan dukungan. Lebih dari setengah juta facebookers!
Gerakan di dunia maya ini telah membuka mata siapa saja bahwa ada kekuatan “jalan baru” yang secara independent berjalan dalam pusaran konflik. Kekuatan “jalan baru” itu dari hari ke hari kian menguat, yang menunjukkan kecerdasan politik kelompok ini mulai bangkit. Kekuatan itu, tidak lain adalah kekuatan rakyat. Kekuatan ini nyata, bukan rekayasa dan dapat diwujudkan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Ini terbukti, beberapa aksi yang dikonsolidasi dan digerakkan dari dunia maya, termasuk aksi grup pendukung pemberantasan korupsi di negeri ini.
Keberhasilan facebooker mengumpulkan dukungan hingga lebih dari 1 juta, sesungguhnya juga disebabkan faktor lain, Media terus memantau perkembangan dukungan facebooker dalam berbagai beritanya. Membuat pengguna facebook lainnya mencari dan mengundang teman-temannya untuk bergabung mendukung grup tersebut. Tapi yang perlu dicatat, dengan teknologi informasi terkini, rakyat mampu membuat keputusan dan kekuatannya tersendiri. Kekuatan itu membesar berdasarkan akal sehat dan hati nurani manusia.
Ketika kekecewaan dan ketidakpercayaan kian membesar, dimana pun rakyat berkumpul semakin luas pula kekecewaan itu menyebar. Tak terkecuali di dunia maya seperti facebook . Berbagai aspirasi politik terus bergejolak dalam dunia yang masih dianggap remeh itu. Fakta ini, menunjukkan juga rakyat kian tak percaya lagi pada saluran aspirasi rakyat idealnya, baik DPR, parpol atau organimasi massa. Rakyat lebih memilih memberikan dukungan langsung secara sadar dan langsung tanpa ada “embel-embel” lainnya kepada grup yang terbentuk secara alami di media interaktif.
Meledaknya kasus Bibit-Chandra dan skandal Bank Century menjadi ujian terberat 100 hari pemerintahan SBY periode kedua. Pertama, SBY memenangkan dukungan kuat pasca-Pemilu 2004 dengan janji pemberantasan korupsi, dengan andalan instrumen KPK. Kini situasi berbalik, KPK dikorbankan. Kedua, kasus Century menyerang jantung sistem neoliberalisme yang lebih memilih menggelontorkan 6,7 triliun rupiah untuk menyelamatkan bank sekelas Century ketimbang untuk kesejahteraan rakyat. Boediono dan Sri Mulyani, dua sosok teknokrat neolib yang menyangga pemerintahan SBY, diduga keras berada di balik pengucuran bail-out Century.
Menurut Rizal Ramli dalam wawancara di Metro TV, Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia menyetujui penyelamatan Bank Century karena diiming-imingi posisi wakil presiden. Sedangkan Sri Mulyani, demi menyelamatkan posisinya di kabinet. Dana talangan Bank Century juga diduga mengalir ke sejumlah inner circle SBY dalam pemenangan Partai Demokrat dan SBY-Boediono dalam Pemilu 2009 lalu. Dua pengusaha Budi Sampoerna dan Hartati Murdaya yang menjadi penyumbang dana kampanye SBY disebut-sebut sebagai deposan besar di Bank Century.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sampoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebesar US $ 18 juta atau 180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operandi pembobolan duit negara melalui Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselesaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengendus rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). tim yang dibentuk SBY pun awalnya dianggap sebelah mata, baru setelah heboh pemutaran rekaman yang menelanjangi kebobrokan Polisi dan Kejaksaan, timbul protes besar yang mampu menimbulkan snow ball gelundungan bola salju power people kekuatan rakyat yang akan menggilas bahkan berpotensi menghancurkan sistem, snow ball yang dapat berlembang lebih dahsyat dari gerakan anti pemerintah pada tahun 1966 maupun tahun 1998.
Padahal, semua yang mendengar pembicaraan Anggodo yang dibuka di Mahkamah Konstitusi tahu bahwa dialah inisiator penting dari perkara Bibit-Chandra yang kini mengguncang kredibilitas serta kehormatan bangsa dan negara kita.
Dan kenapa SBY tidak marah seperti biasa saat namanya dicatut Anggoro dan Ong Yuliana? Apakah mungkin SBY berubah sikap dari semula geram dan marah karena nama  SBY (RI-1) telah salah digunakan dan secara tidak langsung telah mencemar nama baik SBY mendukung dugaan kriminalisasi KPK berubaha menjadi sang pemaaf setelah Adik buronan KPK Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo, meminta maaf kepada Presiden SBY?
Kekuatan dunia maya dalam upaya memberikan pengaruh pada politik di Indonesia tengah diuji. Apakah masing-masing nantinya akan mampu membuktikan harapannya ? kita tunggu saja.
Ditulis oleh :  RAHMI ABADI
Bab 4
50 Juta orang Dukung Anggodo: Percayakah Anda?

Dan Gibran

 



















Boleh jadi inilah sisi entertaining yang sebenar-benarnya dari kekisruhan Cicak versus Buaya. Dikatakan dalam Lead Berita ; Bonaran: Bibit & Chandra Didukung 1 Juta di Facebook, Anggodo Bisa 50 Juta. Anda, saya dan siapapun yang membacanya di jamin terpingkal.

Sengaja saya tampilkan berita yang membuat saya dan kawan-kawan saya terpingkal-pingkal. Bahkan mungkin juga anda akan terpingkal-pingkal dengan link berita di bawah ini.http://www.detiknews.com/read/2009/11/11/134918/1239735/10/bonaran-bibit-chandra-didukung-1-juta-di-facebook-anggodo-bisa-50-juta dan kemungkin juga Presiden kita Soesilo Bambang Yudhoyono juga sama terkekehnya dengan anda jika ia sempat melihat berita seperti ini.

Bagaimana tidak, ini sama dengan quote and quote bahwa suara para facebooker yang mendukung Chandra dan Bibit adalah suara rekaan. Hasil rekayasa kelompok tertentu. Atau hasil penyiasatan dan dibuat-buat. Yang pada intinya sama sekali meniadakan logika bahwa suara 1 juta facebooker murni mewakili suara kegundahan yang berkembang dimasyarakat.


Meski demikian saya kira suara seorang Bonaran yang berpihak pada si kliennya adalah suara keberpihakan, yang merasa bahwa kliennya sangat di pojokan oleh pihak tertentu dan dalam kontruksi berpikir tertentu Bonaran pengacara nya perlu juga untuk memberikan asumsi bahwa Kliennya bisa lebih banyak pendukungnya. Meski sedikit beraroma ”gak melek facebook” atau jangan-jangan ”ga melek teknologi”

Sehingga menurut asumsi dan logika berpikir seperti ini rekayasa adalah biasa, dan di balik dari rekayasa-rekayasa miliknya bisa dikalahkan oleh rekayasa lainnya. Yang lebih canggih, mungkin kali ini ia kalah mensiasati dan bila kali ini ia kalah merekayasa mungkin di kali lainnya ia akan berhasil merekasaya. Kalau kali ini kalah pasti lain kali menang.

Gambaran Diatas sejatinya menggambarkan bahwa Teknologi dalam bayangan Situmeang adalah sesuatu yang bisa di rekayasa. Apa sih susahnya mengirim SMS pada banyak orang, bahkan bisa pada jutaan nomer dengan sekali pencet. Dengan persepsi push atau pull sms tadi betapa dapat di gambarkan bahwa dengan Uang apapun bisa di beli. Kecil apalagi ini cuma facebook (baca : fesbuk).

Ini sama persis dengan guyonan ala democrazy. Ketika Dewan Parodinya mengatakan ”Siapa bilang saya ga punya email, dulu saya punya, tapi sudah saya jual” sekiranya menurut parodi ini email dan account facebook adalah barang dagangan, atau properti yang murah sekali. Sehingga dengan modal beberapa rupiah saja maka satu juta facebook tercapai.

Setepat dan sejadinya itu pulalah kontruksi berpikir bahwa facebook adalah barang dan properti atau aksesori tertentu yang dibuat oleh pengrajin. Dan pengrajin itu sehari bisa dihitung ia bisa membuat berapa email atau account tentunya.

Kalau satu juta bisa dibuat-buat, dibikin-bikin, maka apa susahnya sih bikin fesbuk sampai 50 juta, begitu kira-kira alur berpikirnya. Kalau satu juta sih kecil maka angka 50 juta pun semudah itu terlontar, dengan segenap pengetahuan tentang fesbuknya. Maka jadilah ini sebuah lelucon yang sumir dan menyebalkan namun juga teramat mengasyikan untuk meleatkannya dengan tidak tertawa termehek-mehek.

Anda bayangkan kalau untuk membuat rekayasa satu email saja 5 menit. Maka 50 juta Fesbuk artinya 250 juta menit. Itu sama artinya 4,2 juta jam, atau juga sama dengan 180.611 hari, dan ini sejumlah dengan 500 tahunan. Wah ada ya manusia yang bikin email dan account facebook sampai segitu lamanya. Ada-ada saja Situmeang ini. Menurut seorang karib saya.




Pengakuan Terselubung : Saya Gaptek!

Kalau meminjam istilah dari Kahlil Gibran, ”Jangan dengar yang dikatakannya tapi dengarlah apa yang tidak di katakannya”. Maka inilah sebuah pernyataan paling jujur dan polos. Sebuah pengakuan terselubung namun jelas kelihatan naif dan tanpa rekayasa sedikitpun berbalik menelanjangi dirinya.

Sejadinya cara dan alur berpikir ini sedikit banyak memberikan bocoran pada kita mengenai sikap prilaku dan behavior orang-perorangan. Dengan lontaran seperti itu seorang yang berprofesi sebagai pengacara sepertinya melakukan pengakuan terhadap publik bahwa. APA SIH YANG GAK BISA DI BELI DENGAN UANG?

Jangankan cuma perkara fesbuk gitu loh, perkara Kapolri, Jaksa Agung, bahkan yang lebih tinggi dari pada itupun bisa di atur-atur di buat-buat dan apalagi disumpal dengan Uang. Mau menyumpalnya dengan paket, mau menyumpalnya dengan biaya tertentu.

Anda percaya Anggodo didukung 50 juta facebooker? Kalau saya sih percaya? Percaya bahwa orang sekelas Bonaran memang tidak dan kurang melek facebook (baca : fesbuk) dan percaya bahwa tentu saja lebih dari pada itu. Negara saja bisa diatur-atur bagaimana sekedar fesbuk? Ah pekerjaan sepele tentunya.

Ssst itupun mungkin saja accountnya bernama bonaran1, bonaran2 dst sampai 50 juta. Coba anda bayangkan kalau saja selama 475 tahun Pak Bonaran ini di kasih waktu untuk hidup masa kerjanya setiap menit bikin facebook? Anda percaya kan sekarang!

***

Gemuruh Ketikan Facebookers
Menyapu Bersih Tembok Kezaliman:
Opini Publik Mereka, Kian Tak Terbantahkan!
 
Sing: Lemon nipis taguling-guling.. Taguling sampai ke lobang cacing.. Raja muda pusing keliling..
Cari pintu dimana masuk, yo masuk yo masuk yo maaaaaassuuuk....!  
~~~Masuk dan keluar lancaaar  dijalan yang benar!~~~
(Status FB, milik  Anggrek Hitam, remaja putri SMU 1 dari Nabire, Papua,19 Nov. 2009, pk. 15.24)
 
I
Awalnya, ketika ketikan halus di-keypad, yang tadinya cuma sekedar untuk membangun hubungan pertemanan dan membangkit ”nostalgila” masa muda saja. Kini  elusan gerakannya telah mampu menjadi kumpulan gelegar petir, gemuruh sebilyun topan badai, menjadi kekuatan raksasa Godzila facebookers berwujud tiwakrama selaksa-muka membentuk opini publik atau pendapat umum. Itulah  gerakan yang turun mengawal dan ikut  mengundang majelis hakim Makhamah Konstitusi (MK) dan  state-chief eksekutif melakukan gelar perkara dan membentuk tim pencari fakta!.
 
Atas dukungan emphati dan simpati facebookers-lah mereka yang teraniya dan terzalimi memiliki pendamping dan tidak sendirian menoreh duka. Mereka bergerak membebaskan Prita dan Bibit-Chandra dari penjara, membantu Ramlan pulang kampung dan memiliki kaki palsu, pascamenggergaji sendiri kakinya untuk keluar dari himpitan puing reruntuhan gempa di ranah Minang, hingga pulang dan dirawat di tempat asalnya di Purwakarta.
 
Wahai saudara-saudariku sekalian, disanalah para facebookers ikut terpanggil serta membawa keadaan menjadi kian terang-benderang terhadap suatu silang sengketa. Facebookers kian hadir dalam persahabatan yang mengalir hangat tanpa sekat suku, agama, pintar-kurang pintar, kaya-belum kaya, dan jarak yang menganga! Mereka membawa jiwa ”perubahan cepat” ala Prancis. Semangat egalite (persamaan), liberte (kebebasan) dan fraternite (persaudaraan). Hadirnya FB dan situs jejaring sejenis, telah membuka babak baru, bahwa publik bukanlah silent-majority, orang banyak yang diam. Mereka kini mampu berkata-kata lewat jari-jari netbooks dan hand phone-nya.
 
Dukungan facebookers kian tak henti. Tidak ada matinya! Bergulung seperti tringgiling, bola salju, bola bowling, bola bekel dan klereng! Perlahan, kian cepat, makin cepat dan akhirnya sangat cepat dan pasti! Opini publik yang mereka gulirkan sebagai gerakan persaudaraan, keadilan dan kesejahteraan publik, kian tak terbantahkan menyumbang harapan, mimpi menjadi kenyataan! Walaupun begitu ada kelemahan dalam diri facebookers. Mereka cenderung kurang tidur, lupa jam kerja, waktu makan dan ibadah, serta menggelontorkan uang saku menghabiskan pulsa. Ada saja pasangan, suami- istri, kekasih dan sahabat-serta musuh menggunakan FB untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan. Zaman begini mestinya 5000 teman terlalu sedikit, seorang musuh sudah terlalu banyak.
 
Sejak kini, orang biasa, orang kecil, orang pandai dan bodoh,  sekarang tidak bisa lagi diapa-apakan semau-maunya. Sekarang ini tsunami dukungan akan datang jika ada pihak yang teraniaya. Gejala kekuatan kata-kata dari kelompok menengah kian tak terbantahkan dampaknya, ketika dunia maya menjadi pendamping dunia nyata. FB, yang dunia maya itu telah menjadi cara baru untuk mengembalikan masa lalu, mempertemukan sahabat yang puluhan tahun tak berjumpa. FB kita kini bisa berbuat lebih jauh lagi, ia bisa pula mempengaruhi keadaan, cara baru untuk mengungkapkan perasaan, cara baru untuk berbagi beban dan mencari jawaban. Cara baru untuk tidak sendirian ketika sepi teman dalam keramaian.
 
Dalam literatur dasar-dasar ilmu politik, hal ini disebutkan sebagai fenomena keberdayaan politik atau political efficacy. Suatu kondisi kecil atau sedang yang kita lakukan bisa berdampak besar untuk memperbaiki keadaan. Keberdayaan politik ini mampu membalik kondisi buruk menjadi membaik dan tergeletak kokoh ditempat semestinya. Gemuruh facebookers sejak Prita teraniaya, hingga bibit-Chandra masuk mulut buaya, menunjukkan ini zaman baru dengan media baru.  
 
Ia dan medianya berkemampuan membungkam dan menyapu bersih aktor dan produk-produk sandiwara kezaliman. Pembusukan atau tindakan despotic akan mendapat aksi dan reaksi sehingga tidak mudah mengangkangi rakyat biasa dan pejuang perbaikan. Dunia jejaring telah mempertemukan dengan hangat dan bersahabat professor dan mahasiswanya, artis dan penggemarnya, pejabat, birokrat, politisi dan para pendemonya, orang terkenal dan orang biasa-biasa saja. FB adalah dunia setara, dunia suara tanpa kata-kata, yang kemudian menggerakan hati dan suasana.
 
III
 
Isi tengahnya, bagian analisa. Ini dia zaman baru telah tiba...!. Opini publik kini kian menjadi faktor penentu yang cukup berpengaruh bagi pejabat  dan tokoh publik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.  Ketika sensor SIUPP, katebeletje, surat sakti, budaya telepon redaksi mencegat pemred menaikkan berita sensitif pihak berada, cenderung  tidak lagi berdaya, apalagi bergaya.  Suatu zaman yang gemuruh, bukan jalanan yang sepi bagi kezaliman untuk melenggang kangkung! Kaum zalim tak lagi seenak ‘pelecing kangkung Lombok ’ ala NTB, untuk berbuat “semau nafsu ku menghitamkelamkan kebenaran”.
 
Sekarang ini, orang biasa pun bisa. Penentu pendapat atau opinion leader, tidak lagi selalu orang besar, orang kaya raya, seorang yang punya akses di media TV, Koran atau Radio Ga-ga. Gagah-gagahan berkata-kata  bukan lagi monopoli anchor pembawa berita, MC- aktor-artis sinetron atau bintang iklan. Begini hari, semua orang bisa me-narsis kan diri di FB, jualan ide, memberi inspirasi dan pencerahan, dan yang paling penting mendobrak kezaliman, yang dirasakan relatif banyak orang, untuk menjadi lebih adil, lurus dan pada tempatnya.
 
IV
 
Akhirnya, tiba di bagian penutup. Ketikan para facebookers di-keypad netbooks atau alat  komunikasi seperi blackbarry-strawberry itu, kian berarti sebagai sarana political-efficacy. Media jumpa bagi para pembayar pajak, pemilih dengan kalangan pengemban amanah dan pelaksana lapangan. Mereka mampu mengetuk pintu dan menggemuruhkan istana negara dan rumah rakyat sekalipun. Mereka berdaya membuat rumah keadilan menempuh jalan lurus, jalan keadilan sedemikan rupa, sehingga memenuhi kecukupan nurani  pencinta kesungguhan.
 
Jika diamati bunyinya, ketikan keypad facebookers, seolah kepak-kepak sayap kecil kupu-kupu saja, nan ringan gemulai tak berarti. Namun tunggu dulu! Ini medan baru. Mereka kian menguat dan bermakna di tengah orang banyak.  Sekarang dan nanti, facebookers sedang membentuk badai opini, inovasi, solusi dan pelaksana lapangan. Publik dan istanapun bisa bergemuruh karenanya, jika abai dan memandang sebelah mata. Mafia yang sangar, tak tersentuh hukum selama ini pun akan bisa dibuat ”menangis bombay”. Mereka kini kian dikawal untuk menjadi orang baik, pembuka jalan kebenaran dan mengakhiri sendiri kezaliman yang mereka rancang. Istana pasir di tepi laut yang selama ini aman mereka bangun, akan digerus jika mereka tidak ber-hijrah ke tengah.
 
Akhir kata,  facebookers kini bukanlah mereka yang dulu diam terbungkam menerima nasib, menutup mata penderitaan dan lumpuh layu tak berdaya dihantam penindasan. Mata telinga, kaki dan tangan facebookers ada dimana-mana untuk menolak dan cepat bertindak terhadap kezaliman. Namun sangat ramah terhadap persaudaraan lintas batas, keindahan persahabatan antar-usia, kelembutan jiwa dan kasarnya kerja menandakan zaman baru, media baru, pengaruh baru. Akhir kata, facebookers tidak perlu menjadi lupa diri atau keras hati. Tetaplah menjadi sejati untuk menembus segala tembok kezaliman. Senantiasa beribadah untuk Zat yang maha perkasa dan maha melindungi. Tuhan Pengatur alam raya, beserta kita dalam doa dan kerja! Dalam ketikan kata-kata di atas papan huruf dan angka itu ada semangat kebaikan. Teruslah mengetik, menggelitik, mengeritik dan berbuat baik! !(srs)

Ditulis oleh: Syafuan Rozi Soebhan
 

***
 


























Aha! Ada Facebook

Dan Gibran

Di Australia Seorang perampok berhasil di identifikasi lewat jejaring sosial dunia maya. Facebook. Perampok tersebut berhasil diindentifikasi oleh para saksi yang kemudian mengenali si bromocorah tersebut dengan deretan foto-foto yang disearch melalui media jejaring sosial ini. Di belahan dunia yang lain, seorang anak bertemu ayah kandungnya setelah belasan tahun terpisah satu sama lainnya. Sampai akhirnya keduanya dapat mengenali satu sama lainnya. Dan itu berasal dari Facebook. Kedua kasus tadi ternyata contoh dari geliat facebook.

Bahkan cerita tentang teman-teman SMA terpisah sekian belas tahun tak pernah bereununian. Tiba-tiba saja berkomplot menjadi sebuah groups. Lalu yang terjadi temu kangen yang mungkin saja hampir muskil itu terjadi karena sulitnya menemukan teman-teman mereka satu persatu karena sebagian justru telah terpisah beda benua.

Berderet cerita lainnya tentang kemanfaatan facebook ini juga menyisakan sederet cerita minor. Kepala Agensi rahasia Ingris misalnya menjadi tidak rahasia lagi ketika sang istri mengupload foto-foto liburan keluarga mereka, atau seorang maniak seks berhasil menghamili beberapa gadis yang dikenalnya dari jejaring sosial facebook.

Facebook bahkan dituding menjadi pembuka perselingkuhan, bahkan hampir-hampir Facebook difatwa Haram. ini kemudian membuat orang percaya bahwa jejaring sosial ini berdampak buruk bagi masyarakat. Meski demikian saya kira harus diakui bahwa kehadiran facebook dan jejaring sosial lainnya ke tengah-tengah kita memberikan arti bahwa ruang sosial kita tidak saja di depan rumah, belakang dan samping kiri kanan. Tapi juga atas bawah dan lintas sekat menjadi arena baru yang merupakan keniscayaan.

Facebook menghimpun banyak sekali kekuatan masyarakat yang tercecer. Bahkan kini kita malah mendapatkan bukti bahwa gaung pembelaan publikpun bisa dilakukan di arena perbincangan-perbincangan yang dapat menular karena sifatnya jaringan. Contagion of goodnesses. Begitu juga ia bisa menjadi contagion of the devil. Tinggal bagaimana si manusianya itu sendiri. Meski demikian diperlukan kedewasaan untuk menelaah mana yang tentunya berguna dan mana yang semestinya harus dibuang. Kembali ke manusianya.

Hebat ya ada facebook! Sekarang tiba-tiba nama itu menjadi buah bibir dan cibiran orang seantero bukan saja Indonesia tentu saja bahkan menjadi sensasi perbincangan dunia. Sebagaimana kita tahu Facebook adalah situs jejaring sosial yang mendunia bahkan bisa jadi Facebook  adalah dunia itu sendiri.

Berisi hampir 350 juta manusia menjadi penghuninya. Yang diklaim bahwa sudah 200  juta account yang aktif didalamnya. Apa yang menyebabkannya menjadi sedemikian “meledak” Perkembangannya. Di jagad facebook yang terus menerus berkembang hasrat pemenuhan diri menjadi kata kunci dari prestasi spektakuler jejaring sosial dunia maya ini.

Bertemu dengan teman-teman lama, berkawan dengan yang kawan-kawan baru baru, berbincang dengan tokoh, atau mencari jodoh tentu saja. Tidak ketinggalan bagi mereka yang memerlukan pekerjaan. Beberapa forum atau groups menyajikan kebutuhan ini. Sepertinya dapat di jawab oleh facebook. Apapun ada disini. Seolah ingin mengatakan bahwa inilah ruang hidup manusia baru and you you can’t live without.

Tapi tentu saja bagi kita sebagai user dari facebook ada 2 hal penting yang membuat berjuta orang dan saya juga termasuk diantaranya keranjingan. Yakni kebebasan berekpresi. Facebook adalah tempat dimana kita dapat menyalurkan hasrat berekpresi itu sebebasnya. Bagi sebagian kalangan yang narsis tentu saja facebook adalah tempat untuk mementaskan diri.

Anda siapa? dari mana anda? dan apa aktivitas anda menjadi tidak penting yang terpenting adalah bagaimana menjadikan diri anda penting dilingkungan sekitar pertemanan anda. Bahkan kalau boleh berseloroh

Tentu saja anda akan segera menjadi orang penting bahkan mungkin teramat penting dilingkungan pertemanan anda jika anda mampu membuat orang lain terpancing memberikan komentar-komentarnya sehingga jika anda batuk sekalipun boleh jadi kejadian penting minggu ini. Lucu bukan? Tidak berhenti sampai disana. 

Secara sosiologis facebook ini semacam pertemuan ruang pribadi dan privasi dengan ruang lalu lintas umum. Dimana anda bukan milik anda secara pribadi saja melainkan anda adalah public spokesman.

Anda harus bersiap mendapatkan sederet peristiwa maha penting lainnya yang kalau di ukur dari nilai urgensinya mungkin saja teramat sangat tidak penting bahkan terlalu remeh dan temeh. Meski tentu saja maha penting untuk ukuran diri anda sendiri.

Ekpresikan Dirimu

Eksistensi dan keberhasilan anda mengangkat diri anda di dunia facebook adalah, anda atau siapapun anda, siapun diri anda yang sebenarnya anda dapat mengekpresikan segala macam hal. Keberadaan anda dan eksistensi anda di tentukan dari bagaimana anda membuat diri anda semenarik mungkin.

Setuju tidaknya anda pada dukung mendukung atau hujat menghujat pada isu baik itu Poligami, Korupsi, Polisi atau Masalah aktual yang dihadapi masyakarat atau masalah yang anda hadapi boleh jadi ketika anda menampilkannya dan mendiskusikannya. Anda sedang menjalin sebuah transkomunikasi anda menampilkan maslah tersebut kehadapan publik facebook setidaknya pada jaringan yang anda miliki.

Anda Adalah Pentas Anda

Munculkanlah sebuah status dalam facebook anda. Entah itu mengenai kegiatan anda, entah itu mengenai siapa anda atau anda sedang Borrriiiing. Seketika itu juga teman anda  atau orang yang sudah menjalin pertemanan dengan anda di facebook akan menyahut anda.

Hebatnya anda sedang mementaskan diri anda sendiri dalam pentas yang anda dapat atur sedemikian rupa sehingga pentas-pentas itu setiap waktunya adalah penggalan kisah yang akan terus membuat anda mengaktualisasikan diri anda dimana bintang utama nya adalah anda sendiri.

Meski sedikit narsis, semakin anda menampilkan status yang paling menarik anda akan semakin mendapatkan perhatian. Bukan itu saja identitas anda yang sebenarnya sangat pribadi pun boleh jadi mendapatkan perhatian yang tidak sedikit jika tentu saja buat khalayak atau lingkungan teman sekitar anda menggangap “celotehan” anda menarik buat mereka tanggapi.

Kamu, Kamu dan kamu Adalah Bintangnya Facebook

Siapa lagi kalau bukan anda bintangnya. Kalau anda bisa mengekpresikan apapun kalau anda bisa mengaktualisasi diri anda dan anda mementaskan diri anda maka tentu saja andalah bintangnya. Hasrat menjadi ada—eksis. Bahkan lompat jauh dari ke-adaan- ada. Anda malah menjadi bintangnya meski ruang lingkupnya bagi teman anda bagi ajringan anda sendiri. Seutuhnya di suguhkan oleh facebook untuk anda.

Ini artinya kamu, kamu dan kamu sekalian yang menjadi bintangnya. Jadi jangan main-main dengan tampilan anda di facebook. Saking dahsyatnya efek seketika facebook menjadikan anda bintang dalam waktu singkat. Efek interaktifnya menjadikan anda sangat eksis diantara ruang pergaulan jaringan anda. Bahkan anda adalah pusat perhatiannya.

Anda boleh jadi petani atau tukang jahit anda boleh jadi guru TK atau guru besar sekalipun hampir tak memiliki batas ketika anda mampu membut ruang pergaulan dengan britney sprears misalnya, atau seorang artis sangat terkenal boleh jadi memberikan komentarnya di ruang dinding anda. Bagaimana anda mengelak kalau kawan anda di jaringan langsung berkomentar. ”Cie yang temennya artis”.

Jangan Main-main dengan tampilan status anda karena bukan tidak mungkin keberuntungan atau kesialan jsutru menghampiri anda dalam sekejap saja. Maka Ucapkanlah selalu seperti lagu The Rock. ”kamu-kamu adalah penghuni surga” maka facebook akan mengatakan pada anda ; kamu-kamu adalah penghuni facebook. Ucapkanlah salam pada seluruh penghuninya maka seluruh penghuni facebook menebar salam pada anda.

Aha! Ada Facebook

Untung ada Facebook setidaknya jejaring sosial ini memiliki keberdayaan membangun relasi yang menghubungkan satu dengan lainnya, dan facebook memiliki kekuatan tersendiri.

Jari jemari yang dulunya hanya berkekuatan di layar monitor, kini bahkan sudah berfungsi melintasi dimensi fungsi tadi ia justru menjadi instrument penggerak bagi isu-isu apapun. Apalagi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Atau isu publik lainnya yang masyarakat terlibat didalamnya dalam menciptakan opini menyeluruh.

Aha! ada Facebook. Kita tidak sendirian ketika menghadapi masalah. Itu juga yang terjadi dengan Prita, dengan Nenek Minah, dengan Bibit dan Chandra yang sangat fenomenal itu. Loh Kok bisa? Kan kita ikut FB mah! Dengan nada persis iklan layanan masyarakat tentang keluarga berencana.

***
 






















Selamat Datang Di Dunia Facebook
Usman Yasin dan Dan Gibran
Segala macam praktik untuk merancang, membuat dan mereproduksi informasi adalah sebuah kekuasaan yang dapat menguasai, keniscayaan ini menjungkir balikan nilai apapun yang sebelumnya nyata menjadi isapan jempol. Ataupun sebaliknya dari sekedar isapan jempol justru menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Meski demikian ia hanya terbantahkan oleh kebenaran itu sendiri.
Selamat datang Jejaring sosial paling menglobal sejagat yakni Facebook. Facebook adalah nama salah satu web tempat kita berada ketika mengarungi dunia informasi global interaktif yang bernama internet, secara fisik internet tak lain adalah sekumpulan komputer yang dihubungkan satu sama melalui jaringan telekomunikasi satelit global dan kabel telephone lokal. Sejatinya Internet adalah kekuatan baru dalam Jagat raya maya. Atau biasa disebut juga dengan istilah mayantara.

Facebook bukan hanya mempertemukan saya dengan teman yang sudah 10 tahun tidak berkomunikasi. Facebook juga menjadi alat ekspresi dan pernyataan sikap. Bahkan lebih dari pada itu. Ia adalah ruang berinteraksi sekaligus beraksi. Dan tanpa disadari kenyataan yang tak boleh di bantah oleh siapapun adalah. Terbentuknya Team 8. Banyak Kalangan mengakui bahkan salah seorang anggota team 8 Sendiri Todung Mulya Lubis yang menegaskan karena adanya tekanan facebooker yang menyebabkan Istana sedikit bergetar.

Situs jejaring social yang dimikili oleh sorang anak muda kreatif Mark Zuckerberg inipun meroket menjadi situs jejaring social paling besar di dunia. Bahkan konon dari beberapa informasi saat ini telah mencapai hampir setengah milyar manusia dijagat raya ini. Sungguh luar biasa.

Suka ataupun tidak ini adalah keniscayaan saat ini ketika informasi dan perangkat teknologi informasi makin tak terbendung, makin tak terbantahkan bahkan terkecuali ia hanya menyisakan sedikit sekali ruang atau sekat-sekat, sehingga makin tak relevan ketika kita masih ada pihak-pihak yang berani menyebarkan kebohongan. Selamat datang didunia informasi, Selamat dating di dunia facebook.
Siapa Menguasai Informasi Ia Menguasai Dunia
Pepatah tadi saat ini rupanya sudah bukan isapan jempol belaka. Dunia informasi dan kebutuhan akan berita merupakan suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan. Siapapun yang mengetahui informasi terlebih dahulu akan dapat memperoleh hasil yang lebih baik daripada orang lain. Bahkan Sun Tzu pun jauh-jauh hari sudah mengingatkannya akan hal ini, dalam strategi peperangan yang ditulis dalam bukunya The Art of War, dia mengatakan, apabila engkau ingin menang dalam peperangan maka ketahuilah terlebih dahulu musuhmu, karena dengan mengetahui musuh maka 50% dari kemenangan sudah berada ditangan kita. Didunia nyata hal ini diterapkan dalam bursa efek, perbedaan informasi yang diterima dalam hitungan menit atau detik dapat berakibat keuntungan atau bahkan kerugian besar.
Pada jaman Bahari orang Inggris dengan bangganya mengatakan Siapa yang menguasai samudra, ia akan menguasai dunia, sehingga bangsa-bangsa pada saat itu berlomba-lomba untuk memperkuat armada lautnya. Duniapun terus berputar memasuki abad pertengahan, timbul pepatah baru Siapa yang menguasai logam mulia, maka ia akan menguasai dunia. Maka mulailah terjadi booming emas dimana-mana. Perbudakanpun dilegalkan dalam rangka mencari emas, daratan Amerika yang menjadi tanah leluhurnya suku Indian pun di rebut dan dikuasai oleh bangsa barat, beratus-ratus mil rel kereta api di bangun hanya dalam rangka melancarkan sirkulasi hasil tambang, beribu-ribu imigran datang ke daratan Amerika untuk mencari kehidupan baru. Masa the wild wild west pun menjadi kenangan sampai saat ini.
Waktu bergulir tanpa bisa dicegah, usai era rempah-rempah, berlalunya masa kejayaan batu mulia, maka kolonialisme baru muncul dalam bentuk emas hitam, atau lebih tepatnya di sebut dengan minyak bumi. Era dunia industri, dimana kehidupan sosial ekonomi manusia digerakkan oleh mesin dalam rangka menjalankan roda perekonomian berdampak pada penguasaan sumber-sumber minyak. Duniapun mengatakan Siapa yang menguasai minyak bumi, ia akan menguasai dunia.
Waktupun terus bergulir tanpa bisa dihentikan, datanglah era globalisasi, yang menjadikan dunia sepertinya tidak mempunyai batas yang nyata, arus informasi dapat datang dan pergi tanpa bisa dicegah sehingga menjadikan batas wilayah suatu negara seperti maya adanya. Kebutuhan akan informasi menjadi sesuatu yang sangat mutlak dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan keseharian. Sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia tidak bisa hidup tanpa media massa sebagai alat penyedia kebutuhan informasi. Manusia modern sangat ketergantungan akan media elektronik, khususnya media massa, khususnya lagi kebutuhan akan berita. Hidup akan terasa hampa bagi sebagian orang apabila tidak mengetahui informasi yang sedang berkembang. Maka mulailah kebenaran akan doktrin Siapa yang menguasai informasi, ia akan menguasai dunia, menjadi kenyataan.
Issu dapat dibangun ketika menguasai informasi dan mungkin saja terjadi di dunia sekarang yang serba komputerisasi, yaitu penguasaan dunia dalam bentuk lain : pembentukan opini. Sekali opini terbentuk maka sangat sukar untuk merubah ataupun menghilangkannya, tinggal si empunya maksud melanjutkan kepada sasaran akhirnya saja.
Siapa Menguasai Internet Ia Menggetarkan Dunia
Teknologi informasi merupakan produk jaman modern yang selalu dengan mudah diupgrade kemampuannya dari waktu ke waktu, bahkan hitungannya detik, dan dapat dikatakan kemajuan tehnologi informasi tidak berbanding lurus dengan kemajuan dibidang lain. Kemajuan dibidang teknologi informasi lompatannya sangat signifikan, bahkan bisa dikatakan memimpin atau paling tidak menjadi acuan bagi bidang yang lain.
Dampak dari kemajuan teknologi informasi adalah informasinya itu sendiri sebagai suatu BERITA atau NEWS yang menjadi suatu kebutuhan bagi setiap orang, berita dengan cepatnya menyebar dan menimbulkan pro dan kontra, dan bahkan dampak yang ditimbulkannya bisa menimbulkan spirit untuk orang mengadakan sebuah aksi, termasuk juga bisa menimbulkan aksi anarkhis, bahkan juga berdampak pada hubungan diplomatik antara dua negara karena adanya muatan-muatan tertentu dari berita yang dilansir.
Dirilisnya film Fitna yang dibuat Geert Wilders, Jauh-jauh hari sebelum peluncuran Film Fitna di media internet, yang bersangkutan telah meminta izin kepada pemerintah Belanda untuk melansir film hasil besutannya tersebut melalui bioskop, namun pemerintah Belanda mengambil sikap melarang secara resmi dengan berkaca pada kasus Salman Rusdy dan kasus kartun Nabi Muhammad SAW yang dimuat di surat kabar harian Denmark telah menuai kecaman keras dimana-mana.
Namun pemerintah Belanda tidak bisa menghentikan sepak terjang, Geert Wilders yang meluncurkannya melalui media internet dengan alasan kebebasan berekspresi. Dan ternyata benar, begitu Film tersebut dilansir melalui internet, maka kecaman dari segala penjuru mulai muncul, khususnya dari berbagai negara Islam, terlebih-lebih Indonesia sebagai negara berpenduduk umat muslim terbesar di dunia.
Kekuatan informasi dalam hal ini yang diwakili oleh Film Fitna telah menunjukkan jati diri media informasi sebagai salah satu alat untuk menguasai dunia. Ia relevan dengan apa yang terjadi dengan perkembangan saat ini. Bahwa dunia tak sedikitpun bahkan mengandung ketikamungkinan untuk tak bersinggungan dengan dunia informasi. Dan terutama sekali Internet.
Informasi yang direlease mempunyai dua sasaran utama sebagai bentuk pencapaian grand strategy penguasaan (dunia). Sasaran pertama, adalah terbentuknya opini, harus di ingat pembentukan opini adalah suatu kegiatan yang sistematis, tersusun sedemikian rupa, terorganisir kadang terselubung dan tanpa disadari oleh sasaran yang dimaksud. Pembentukan opini ditujukan kepada sasaran pasif, yaitu orang-orang tertentu atau kelompok tertentu sebagai si penyimak berita. Berita di buat dan diolah sedemikian rupa untuk menarik dan menjadi perhatian. Berita yang disajikan bisa saja berita yang aktual,
Karena memang berita yang semacam ini yang diburu dan dicari, apalagi kalau penyampaiannya melalui media elektronik yang mempunyai kemampuan menyebar seperti serbuk bunga di tiup angin di padang ilalang luas. Berita akan dicari, kemudian di analisa dan kemudian didiskusikan dan biasanya menimbulkan sikap pro dan kontra. Sekali sikap pro dan kontra terjadi maka sasaran pertama terbentuklah sudah.
Sasaran kedua, adalah tindakan nyata sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan terhadap ketidakberdayaan, biasanya tindakan yang diharapkan adalah tindakan perlawanan, dan membentuk opini untuk menekan sebuah kekuatan kekuasaan. Kawula muda atau kelas menegah perkotaan adalah orang-orang yang melabelkan dirinya sebagai kaum idealis tinggi, apapun berita yang berbau mendeskriditkan dan diskriminatif terhadap ketidak berdayaan anak bangsa entah itu benar atau tidak akan disambut dengan semangat perlawanan tinggi yang seringkali diwujudkan dalam bentuk aksi protes, demo jalanan yang biasanya berakhir dengan tindakan anarkhisme apabila aspirasi yang di usung tidak mendapat tanggapan seperti yang mereka harapkan.
Sasaran kedua inipun sudah dapat terwujud, dengan cara membutuhkan satu peristiwa sebagai trigger, sehingga persoalan inti akan semakin kabur, namun radikalisme dan anarkhismelah yang nantinya paling menonjol.
Informasi Milik Siapa?
Segala macam praktik, seperti seni penggambaran, komunikasi dan representasi, yang mempunyai otonomi relatif dari bidang-bidang ekonomi, sosial, dan politik dan yang sering muncul dalam bentuk-bentuk estetis. Film, Televisi, Drama, dan Novel menjadi semacam media yang mengembangkan perannya sebagai industrialisasi citra.

Dan juga karya-karya informatif dan juga imaginatif yang mampu merangsang, membangkitkan dan sekaligus menggerakan masyarakat. Dapat dikatakan memiliki otoritas untuk melakukan perubahan secara revolusioner. Ditambah lagi otoritas itu semakin tak terbendung dengan hadirnya globalisasi.
Ya betul di era globalisasi ini ada pertanyaan menarik, milik siapakah sebenarnya informasi itu. Berkaca kondisi saat ini, maka kita katakan bahwa informasi adalah kebutuhan mutlak bagi setiap orang, apalagi dikaitkan dengan makin sulitnya arus informasi dibendung dan semakin mudahnya seseorang mendapatkan informasi dari berbagai sumber, baik yang legal maupun illegal. Apalagi kalau sudah dihubungkan dengan kebebasan berekspresi sebagai produk dari demokrasi, maka akan semakin kuatlah keyakinan orang bahwa informasi adalah bagian dari hak asasi.
Jika saja hadirnya facebook lebih dini mungkin kita akan mengetahui bahwa rezim-rezim yang berkontribusi untuk menyelewengkan informasi untuk mendekonstruksi dan membuat realitas menjadi demikian terbalik kini justru harus berpikir ulang bahwa kenyataannya tidak ada yang mampu membiarkan informasi berkembang tanpa mendapatkan pelurusan secara terang benderang.
Dan contoh paling tak terbantahkan adalah fenomena pembelaan terhadap Bibit Chandra yang terjadi di Indonesia ini. Inilah sebuah kenyataan yang tak terbantahan bahwa informasi tak lagi sanggup untuk di bendung. Ia boleh saja di belokan tapi sangat sulit untuk di bendung.
Kebutuhan akan informasi sudah meningkat statusnya dari need to know menjadi right to know. Dengan demikian maka informasi merupakan milik pribadi dan sekaligus milik publik. Karena dikatakan informasi menjadi milik dan kebutuhan publik, maka informasi perlu disebar luaskan agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengetahui sesuatu. Yang menjadi permasalahan apabila penyebaran infomasi atau penahanan beredarnya suatu informasi mempunyai “ maksud-maksud tertentu “, entah itu politik, ekonomi, hankam, dsb. Maka info akan dikemas sedemikian rupa agar maksud dan tujuannya tercapai. Siapa atau apa yang disasar, tentu saja dua sasaran seperti yang telah dijelaskan diatas.
Mengacu pada penjelasan informasi milik siapa maka makin jelaslah peranan informasi di era global ini bukan saja menjadi kebutuhan tetapi bisa menjadi senjata yang amat ampuh dalam rangka penguasaan sesuatu entah itu awalnya pembentukan ataupun penguasaan opini, pembelaan terhadap sebuah tindakan diskrimintaif atau kriminalisasi terhadap sesuatu yang sedang berjalan dalam koridor pembelaan public atau apapun namanya, sampai akhirnya tujuan informasi mencapai tujuan yang sebenarnya
Jadi kesimpulan  kita tidak boleh ketinggalan dengan informasi, karena informasi adalah senjata, tinggal bagaimana kita menggunakannya. Apabila kita dapat mempergunakannya secara tepat maka keuntungan dan manfaatlah yang diterima, namun sekali salah mempergunakannya kerugian yang pasti akan diterima.
***

Generasi Baru Anti Korupsi 2.0.0.9

Usman Yasin

Dukungan terhadap Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah di jejaring social Facebook  terus mengalir deras.  Terutama setelah sidang Mahkamah Konstitusi Selasa (3/11) memperdengarkan rekaman penyadapan KPK atas Anggodo Widjojo.

Bahkan Kamis (5/11/09) enam hari sejak diluncurkan, jumlah anggota grup Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto mencapai angka 892 ribu pada pukul 19.45 WIB. “Ini fenomenal.  Surprise sekali,”

Sebagai penggagas saya memang terkesan dengan situs jejaring sosial milik Mark Zuckerberg itu. Facebook bukan hanya mempertemukan saya dengan teman yang sudah 10 tahun tidak berkomunikasi. Facebook juga menjadi alat ekspresi dan pernyataan sikap.  Padahal saat awalnya, saya yang sedang studi S-3 bidang lingkungan di Institut Pertanian Bogor itu hanya menargetkan 500 teman yang dikenal untuk berdiskusi soal penahan Bibit dan Chandra.

Untuk mempromosikan dan melibatkan lebih banyak orang yang terlibat saya mencoba memasukkan link grup dukungan itu ke grup-grup lain di Facebook.  Saya meilih yang kelompok besar, yang anggotanya sudah di atas 1.000 orang. Jadi informasi ini cepat tersebar.

Dengan menggunakan Facebook, semua dukungan itu juga sangat transparan. Setiap orang juga bisa melihat bahwa dukungan ini tidak direkayasa.  Nama dan foto setiap orang yang bergabung terdokumentasikan sebagai bagian dari gerakan.  Pertambahan pendukung makin cepat diakibatkan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam kasus tersebut. Jika kebijakan yang diambil pihak penguasa salah, maka orang akan semakin terdorong untuk bergabung.

Jumlah anggota grup yang meningkat pesat ini, bisa dijadikan alat untuk mendeteksi ketidaksetujuan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan aparatur negara.  Respons masyarakat yang luar biasa karena mereka mengalami hal-hal yang juga saya alami. Semua ini muncul dari alam bawah sadar, yang sudah lama menumpuk sebagai rasa tidak simpati dan tidak senang bahkan kebencian kepada aparat yang pernah mereka mengalami, atau keluarga mereka mengalami, atau orang-orang dekat mereka mengalami ketika berhubungan dengan aparat penegak hokum, baik itu dijalan atau bahkan di kantor-kantor resmi aparat penegah hukum. Orang-orang mungkin juga sudah mengalami seperti saya, atau pak Bibit dan mas Chandra alami.

Jumlah telah melampau angka psikologi dari derakan ini memang di luar perkiran bahkan sangat fenomenal untuk ukuran di Indonesia atau didunia sekalipun, karena pertumbuhannya yang hanya membutuhkan 9 hari untuk mencapai angka 1 juta dukungan. 

Aktivitas Anti Korupsi

Saya memang belum lama berkenalan dengan Facebook, umur akun saya belum genap setahun. Namun saya bukan orang yang baru berkenalan dengan isu korupsi.  Saya kerap melakukan advokasi pada sejumlah kasus korupsi di Bengkulu. Dari pengalaman itu, saya melihat jelas ada mafia peradilan yang kerap memengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia. Saya banyak bertemu kejaksaan, kepolisian, dan hakim di pengadilan. Dari situ saya tahu ada tangan-tangan yang mempengaruhi proses penegakan hukum.  Saya juga belajar bahwa untuk menghasilkan keputusan yang adil membutuhkan perjuangan yang luar biasa, bahkan cenderung bertele-tele, menghabis waktu, sumberdaya bahkan sumber dana.

Ketika melihat kasus yang menimpa Bibit dan Chandra, saya tergerak untuk mempelajari latar belakang kehidupan dan rekam jejak karier mereka berdua. Saya merasa, apa yang mereka alami hampir sama dengan yang pernah dialami diri saya sendiri dulu, karena melakukan advokasi kasus korupsi bukan saja bisa berbalik kepada kita, tetapi bisa kehidupan kita diteror bahkan diancam.  Saya melihat ada masalah dalam penegakan hukum Indonesia, baik dari level terendah hingga ke level tertinggi. KPK adalah sebuah harapan untuk reformasi penegakan hukum di Indonesia, untuk itulah saya mulai dari kamar kos saya yang sederhana, dan berjarak hanya sekitar 500-an meter dari Kampus IPB Dramaga Bogor, untuk melakukan advokasi dengan menggunakan teknologi informasi melalui jejaring sosial dunia maya facebook.


 















Jangan Main-Main Ada Facebook

Dan Gibran

Gelombang dukungan yang begitu besar terhadap perseteruan antara Cicak melawan Buaya, terutama bagi dan terhadap mereka yang mendukung para mantan pimpinan KPK yang di nonaktifkan karena menyandang status tersangka. Menjadi sebuah pelajaran sekaligus fenomena sangat berharga bagi demokrasi indonesia.

Sebagai warga negara biasa kita selalu menghadapi persoalan sendirian, apalagi ketika persoalan tersebut menyudutkan kita, dan ketika itu juga kita berhadapan sendirian vis a vis dengan penguasa. Yang kita asumsikan adalah seperangkat apparatus sekumpulan instrument yang tentu saja makin membuat kita merasa bahwa kita adalah “No Body” Inferior complek bisa lantas menyergap relung mental kita lantas. Kita akan Diam tak berdaya. Dalam keadaan terpojok pula.

Tapi itu dulu, itu ketika suara anda adalah suara rakyat tak berharga yang hanya mengisi ruang legitimasi kekuasaan setiap 5 tahunan sekali, ketika suara andapun dapat ditukar dengan selembar uang recehan, yang anda kemudian menitipkan suara anda pada orang-orang “terpercaya” yang sejatinya mewakili anda meski kerap kali mereka justru mengkhianati amanah dengan menjadi budak kekuasaan semata.

Hal ini juga bukan hanya mempengaruhi sikap kita sebagai rakyat jelata ketika ruang masalah kita terangkat ke public, tapi juga sikap mereka yang berada di ranah public, pejabatkah, pemegang kekuasaan kah, atau selebriti dan artis yang biasa bersliweran berada di tabung kaca.

Bahwa siapapun tidak boleh tidak berhati-hati menggunakan keleluasaannya. Kemampuannya untuk tampil menjadi pemuka publik. Kesempatannnya berada diranah public tadi bukan tidak beresiko. Karena mereka disaksikan oleh berjuta mata- berjuta telinga dan berjuta facebooker tentunya.

Facebook sudah membuktikan itu bahkan lebih jauh dan bertenaga jejaring social lintas generasi dan lintas batas Negara dan ras ini. Obama adalah prestasi cukup penting bagi facebook. Bahwa para facebooker di Amerika pernah antusias mendorong perubahan yang di dengang-dengungkan, sebagai anti klimaks dari regulasi sebelumnya yang dinilai eror dan terbukti public Amerika haus akan Change.

Pembelaan Publik

Ketika seorang ibu rumah tangga dengan anak yang masih kecil-kecil yang dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui penyebaran email. Empaty public serta merta ikut melakukan pembelaan. Atas nama nurani yang terusi. Atas nama orang-orang kecil, orang-orang biasa yang terpinggirkan. Mereka seketika itu juga terpanggil memberikan reaksinya.

Ketika polisi menahan Bibit dan Chandra, public dengan segala macam efek seketikanya memberikan respon, bagaimana upaya pemberantasan Korupsi benar-benar berjalan sementara mereka adalah bagian dari KPK dan KPK sejauh ini memberikan bangunan harapan bahwa pemberantasan Korupsi memang berjalan

Main-mainlah Akibatnya Bukan Main

Sekalipun anda adalah idola publik yang kerap kali menjadikan anda sensasi, dengan bergelimang perhatian publik, dengan lontaran dan atau sekali celotehan yang memperburuk citra anda maka seketika itu juga facebooker akan memberikan peringatan pada anda. Bahkan mungkin juga penghinaan dan caki-maki yang tiada hentinya dari warga negara paling bebas di seantero jagad mayantara ini. Facebookers.

Demikian juga untuk anda para pejabat. Main-mainlah anda dan tak perlu pikirkan akibat lanjutannya mereka yang bermain-main dan kelihatan tidak melek media, namun jsutru hidup diranah public terbiasa dengan sensasi yang membiarkan kebodohannya menjadi arena tontonan tapi kini tidak lagi demikian. Bahwa orang perorangan kini bisa memberikan “balasannya”. Memberikan langsung punish ataupun reward nya pada anda.

Lihatlah bagaimana ketika komisi III DPR mempertontonkan dirinya “mencari muka” ketika rapat dengar pendapat dengan Kepolisian, pada tengah malam itu juga berlaku tuntutan dan kecaman terhadap ketiak puasan rakyat. Dalam sekejap angka 50 ribuan pendukung groups facebooker kecam komisi III pun tak terelakan. Sehingga memaksa anggota DPR berganti wajah pada RDP berikutnya yang kelihatan sedemikian seriusnya.

Dihadapan publik yang bersuara anda tentu tidak bisa membiasakan diri untuk tetap menganggap anda tidak disaksikan oleh public. Agresifitas public yang mencengkeram leher anda dibuktikan dengan deretan komentar-komentar yang tidak sedikit membuat anda merasa tercekat. Sehingga tentu saja anda haru sehaluan dengan perasaan dan keinginan public yang semakin melihat anda tanpa sekat.

Inilah ritus pengawalan sekaligus pengawasan juga pendampingan yang mampu membuat demokrasi menjadi niscaya hadir ke tengah-tengah public. Partisipasi bukan lagi sekedar transaksi konvensional yang bisa dilepas begitu saja dalam kurun waktu tertentu melainkan detik perdetiknya bisa berubah. Yang tadinya cinta bisa berubah menjadi benci demikian juga yang tadinya benci bisa membesar menggulingkan anda. Maka berhati hatilah!. Main-mainlah jangan kaget akibatnya bukan main. rruuuaarr biasa.

***

Bukan Sekedar Dunia Maya :

Usman Yasin

Memulai sesuatu yang bermakna dalam hidup kadang kita tidak menduga sejauh mana hal tersebut berpengaruh pada diri kita, lingkungan kita, atau daerah kita apalagi sampai ke tingkat nasional, bahkam Internasional.   Seseorang mungkin tidak menduga apa yang akan terjadi dengan apa yang ia lakukan.  Niat, keseriusan, kesungguhan tanpa kenal lelah memungkinkan apa yang dilakukan suatu saat akan menghasilkan hal yang tidak kita duga sebelumnya. 

Columbus contohnya, dengan sebuah hipotesisnya dia berasumsi jika dia bergerak menggunakan perahu layar dan berlayar dari Britania Raya, kemudian bergerak kearah timur maka suatu saat dia akan ketemu dengan  daratan Tiongkok, siapa nyana dengan hipotesis tersebut justru dia mendarat ke sebuah daratan baru yang kemudian dinamai dengan Benua Amerika.  Columbus tidak menyangka bahwa dengan melakukan sesuatu dengan berbasis pengetahuannya bahwa bumi itu bulat, akhirnya dia membuat sebuah sejarah yang besar, yaitu  menemukan Benua Amerika.  

Kemudian seorang ilmuan besar Archimides misalnya, secara tidak sengaja dia menemukan bagaimana cara untuk mengukur volume sebuah mahkota yang tidak beraturan. Dia ditantang oleh seorang raja untuk mengetahui bagaiman cara untuk mengukur apakah mahkota raja ini terbuat dari emas murni atau tidak.   Saat itu, dia berpikir keras bagaimana cara untuk mengetahui apakah mahkota ini terbuat dari emas murni, maka paling tidak dia membutuhkan, pengetahuan tentang berat jenis emas murni, maka dia memerlukan data berat mahkota tersebut, hal ini bisa dilakukan,  berat jenisnya diketahui, persoalannya lagi adalah bagaimana menghitung volume mahkota yang bentuknya tidak beraturan tersebut.   Kalau balok dengan mudah dihitung volume = p x l x t = panjang x lebar x tinggi.  

Karena Archimides sebagai seorang ilmuan ditantang untuk melakukan untuk mengetahui emas itu asli atau tidak, maka dia berupaya keras melakukan penghitungan dengan berbagai cara, kalau tidak ditemukan maka dia harus menerima hukum gantung dari raja.  Dengan tekanan luar biasa, justru kondisi ini membuat Archimides sakit deman panas, dalam kondisi mengigau diluar kontrol alam sadarnya sampai-sampai dia menceburkan diri ke dalam kolam yang penuh terisi air. 

Tanpa dia sadari justru kejadian tersebut menjadi inspirasi beliau untuk menentukan bagaimana mengukur volume sebuah benda yang tidak beraturan.  Hal ini dia temukan, dengan analogi bahwa kolam yang berbentuk persegi panjang yang terisi dengan volume air yang bisa dihitung, pada saat dirinya mencebur ke dalam kolam maka airnya akan bertambah volumenya sebesar volume tubuhnya.  Dari kenaikan tinggi muka air kolam atau volume kolam itulah maka dapat ditentukan volume benda yang tidak beraturan atau dalam hal ini adalah volume tubuhnya sendiri.

Dengan asumsi tersebut, akhirnya dia berteriakan eupika, eupika, eupika = saya tau, saya menemukan jawabannya.  Artinya dia mendapatkan jawaban bagaimana mengukur volume mahkota yang tidak beraturan tersebut, dengan sendirinya dia mendapatkan jawaban apakah mahkota tersebut murni terbuat dari emas asli atau tidak.

Ada sebuah catatan yang dapat kita tarik dari cerita di atas, bahwa suatu persoalan akan kita temukan jawabannya dan kita akan mampu keluar dari tekanan seberat apapun, asal saja kita mau bersabar, berdoa dan istioqmah terhadap pemikiran dan perbuatan  kita.

The Wisdom of Facebook

Ada cerita tentang Nenek Minah yang ditahan karena mengambil 3 Buah Biji Kakao, Atau ada cerita tentang Prita yang mengharukan ketika kuasa imperialisme ekonomipun menjajah tak kenal ampun memotong urat nadi hubungan Seorang Ibu Rumah Tangga dengan Keluarga dan Anak-anaknya lantaran harus di tahan di balik jeruji besi. Atau yang mungkin anda bisa saksikan sedkit fenomenal adalah, pembelaan terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Kesemua hal itu adalah sedikit cerita dari bagaimana fenomena dukungan public yang demikian meluas atas aras keadilan yang menjadi Soal besar di republik Bedebah menurut Adhie Massardi. Persoalan besarnya adalah keadilan yang tak kunjung dating, justru ketika hukum positif terus berjalan, ironisnya Hukum tadi juteru menggerus rasa keadilan. Seolah-olah Aparat hukum adalah anasir yang dapat menentukan, mendefinisikan dan bertindak atas nama “Keadilan”.

Mereka lupa bahwa keadilan bukan sekedar pelaksaan hokum positif secara procedural. Ketika sebuah kasus ditetapkan lalu ada tersangka sebagai pesakitan yang dikorbankan untuk menerima muara kesalahan, bukankah hal semacam itu hanyalah sebuah praktek “Sandiwara Hukum”. Dalam bahasa sederhananya hokum ditegakan. Keadilan dipinggirkan.

Dan ketika masyarakat melihat dengan mata dan pengamatan mereka yang terang benderang. Lewat kaca mata common sense, perlahan namun pasti mereka tergerak untuk menggali lebih lanjut informasi, dan pada suatu titik tertentu ketika masyarakat melihat pola ketidakserasian antara logika mereka yang sederhana dengan “Kerumitan” keadilan yang di reka-reka sedemikian rupa dalam bahasa hukum.

Maka dari sanalah tiba-tiba bergemuruh suara-suara yang begitu “gundah” kegundahan itu kemudian makin tak terbendung. Dan ia terus mengalir mencapat suatu titik kulminasi kegelisahan. Dan kemudian mengkristal menjadi sikap. Dan mereka berkumpul dalam sebuah ruang pertemanan dunia maya bernama Facebook.

Dari sebuah lingkaran kecil pertemanan kemudian masuk pada group-group dukung mendukung atau sebaliknya, mereka menyatakan sikap. Memberikan komentar, mengalir dengan sendirinya undang-mengundang sesame kawan dilingkaran mereka sendiri atau diluar ingkaran mereka. Lalu yang terjadi ia seperti juga laksana gurita yang menjulur ke berbagai kisi-kisi dan sudut-sudut ruang manapun dan TAK TERBENDUNG.

Jika sebelumnya facebook mampu menemukan perkawanan lama yang telah lama hilang dan kemudian dapat mengorganisir diri untuk melakukan reuni komunitas tertentu. Atau sekedar mencari lowongan pekerjaan. Atau memberikan suka atau tidak suka pada status-satus kita.

Facebook malah menjadi sebuah arena yang kemampuannya lebih dahsyat dari itu. Bahkan Ia dapat membebaskan Chandra Hamzah atau menguritakan dukungan terhadap gerakan koin untuk Prita. Atau membuat aparat waspada memenjarakan Nenek Minah dan Lanjar.

Membayangkan revolusi social berkumpulnya manusia dalam jejaring social, seolah memberikan ruang baru, kanal penyelamat kehidupan, bahkan ruang oportunitas untuk tujuan apapun juga. Maka facebook memang telah nyata memberikan konstribusi bagi perbaikan social. Tidak hanya itu facebook mendorong perubahan masyarakat kedalam masyarakat yang kritis. Tidak bisa seenaknya siapapun membungkam informasi. Bahkan sekecil apapun atau bahkan sebesar apapun pertahanan untuk mempengaruhinya.

Inilah ruang kedaulatan baru. Tempat dimana ekpresi-ekpresi masyarakat dapat di sejajarkan dengan para panelis yang sering hadir mengisi ruang media konvensional. Karena Anda adalah pemiliknya. Facebook menghadirkan anda sebagai rakyat sekaligus pemilik kesejatian akan kekuasaan menentukan sikap. Inilah ‘wisdom” yang kita dapat dari facebook.

***

Tuhan Bertanya : Kamu Punya Facebook

Dan Gibran

Lalu Tuhanpun bertanya. Kamu Punya Facebook? Apa jadinya kalau ternyata anda mesti menjawab. Belum bikin. Apalagi kalau sampai Gak punya. Sebab ternyata facebook mampu membasmi korupsi, sebab sebagaimana kita tahu inilah dosa akar dosa sesungguhnya. Karena ia mencuri keadilan dari segala makhluk lainnya di dunia.

Korupsi adalah mencuri kebahagiaan mereka yang berhak mendapatkannya. Seorang anak dicuri kebahagiaannya lantaran ayahnya mengalami kecelakaan, disebuah jalan yang dibangun dengan kualitas yang sangat buruk. Sehingga sementara kebahagiaannya terampas karena sang ayah meninggal dunia. Korupsi memisahkan keluarga dari Sang Ibu yang seharusnya berada di lingkungan mereka karena tidak mendapatkan pengobatan semestinya karena ongkos obat tersebut telah dicuri yang seharusnya di bayarkan.

Karena begitu kejamnya efek Korupsi bahkan ia mempu membuat manusia yang seharusnya menjadi melaikat-malaikat keadilan di muka bumi ini malah justru menjadi Iblis-iblis kecil yang berkolusi dengan mereka yang membayar ”argo”. Sebab kita sama-sama tahu kalau korupsi merubah malaikat penjaga pintu keadilan menjadi Buaya-buaya yang rakus menghisap

Dulu manusia dimuka bumi ini meneriakan keadilan dengan turun ke jalan-jalan atau sebagian kaum hipokrit masuk ke dalam jaring kekuasaan untuk berdalih. ”Mau merubah dari dalam!”. Tapi apapun itu, justru nyatanya terjebak pada keindahan kekuasaan yang begitu membutakan mata batin dan hati nurani. Inilah relevansinya anda ikut facebook. Ini sama sekali bukan ”joke” atau saran iklan layanan masyarakat sekelas KB. Ini malah jauh lebih penting dari sekedar KB ini FB bung!

Sehingga jangan terheran kalau sampai Tuhan Bertanya pada anda. Kamu Punya Facebook? Ini tentu saja membuat anda malu. Bikin dong! Masih untung kalau dapat anda tidak punya facebook. Lalu menjawab dengan jujur. Sebagian lainnya pejabat-pejabat kita di negeri rezim Buaya mungkin ditanya; Kamu Punya Facebook lalu dijawab. Punya, Tapi sudah saya jual.

Dulu kala sekali setiap kali kebobrokan muncul kepermukaan. Lalu si pejabat menyarankan kotak pos sebagai salurannya. Persoalan bahwa dilanjuti atau tidak dilanjuti. Di benahi atau justru didiamkan bukan lagi persoalan yang penting rakyat sudah mengirimi mereka dengan gundukan surat menyurat dan korespondensi. Bahkan dengan narsisnya mereka bisa mengatakan. Surat yang dikirim adalah indikator tanda cinta dari rakyat.

Menjadi berabe tentunya manakala ekspektasi masyarakat yang demikian besar justru harus habis dan terlantar lalu, sedikit demi sedikit dicuekin dicicil-cicil lama-lama berkas dan kasus yang mertinya didorong dan kemudian sampai menjadi sebuah proses peradilan, justru menjadi seongkot kertas kiloan yang tentunya dikembalikan pada pemulung jalanan yang pasti dijamin tidak lagi dibaca. Padahal boleh jadi itu bukti otentik sebuah korupsi besar.

Lalu Tuhanpun bersabda Jadilah maka Jadilah. Alam semesta ini berikut dengan segala isinya, Bentangan bermilyar galaksi disana dan bintang-bintang yang bertebaran di penjuru semesta ini. Dilengkapi dengan dengan segala planetnya yang berputar pada orbitnya dan tak luput pula dengan berbagai zat dan unsur-unsur dan segala kemaha rupa serta bentuk didalamnya salah satunya adalah. Facebook.

Big Bang. Mungkin kata inilah yang setepatnya mengandaikan fenomena yang terjadi di jagad dunia internet ketika lalu lintas manusia dan manusia lainnya saat ini terhubung tanpa sekat dan hampir tak memiliki batasan apapun baik negara maupun ras dan kebangsaan.

Judul diatas sama sekali tidak menyinggung bahkan mengolok-olok rasa religiusitas kita, melainkan sekedar memberikan penekanan bahwa Facebook sedemikian seriusnya dapat memberikan pengaruh besar pada kehidupan anda. Mulai dari jaringan dan jalinan pertemanan. Jaringan ekonomi dan jaringan lainnya. Bahkan religiusitas anda mungkin.

Yah sulit untuk tidak diakui Bahwa Facebook adalah fenomenal. Bahkan kalau boleh mengandaikan secara guyon bahwa kehadiran facebook (baca : fesbuk) adalah big bang (ledakan besar) bagi dunia digital saat ini. Bagaimana tidak, facebook mampu memamah biak anggota-anggotanya dengan sangat spektakuler dalam hitungan beberapa tahun saja sejak berdiri telah menembus angka 100 juta member bahkan mungkin lebih menurut ComScore yang memprediksi mencapai 130 juta members aktif. Bahkan data terbaru yang dirilis dari situs wall fans pemiliknya Mark Zuckerberg bahkan telah tembus 200 juta account aktif.

Begitu menyebar dan menggurita dengan cepatnya sehingga Facebooker boleh dikatakan sebagai jejaring sosial sudah bahkan telah merepresentasikan gaya hidup kekinian dan masa kini. Sehingga jangan-jangan Tuhan memang sengaja mengagendakan bahwa Facebook adalah drama dunia digital hasil kreasi dan ciptaan Tuhan melalui tangan dingin Mark Zuckerberg tentunya.

Mengapa Facebook melejit? Pakar teknologi informasi, Dr Linda M Gallant, Asisten Profesor dari Emerson College, Boston, memberi penjelasan, ”Situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Sekarang ini para penjelajah ingin berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.”

Umat Facebook-iah

Demam Facebook yang tak terbantahkan tersebut melahirkan sebuah syndrome keranjingan. Bagaimana tidak, saat ini mulai dari bangun tidur bahkan sampai akan beranjak tidur, dari mulai kerja dikantor sampai mau tutup kantor, mulai dari makan siang sampai makan-makan, terus menerus keranjingan facebook.

Mulai dari keluar rumah hingga kembali ke dalam rumah, begitulah fenomena facebook seolah kita akan sangat merugi bila tidak mengupdate facebook atau setidaknya untuk membukanya. Karena jangan-jangan ada isu penting yang pastinya anda perlu komentari sekalipun itu sekedar batuknya teman anda.

Pengikut setia facebook ini mungkin merasa bahwa facebook sudah menjadi bagian dari kehidupan dirinya, bahkan untuk sekedar mengganti semua relasi sosialnya dimuka dunia, kata facebook sudah menjadi kebutuhannya. Tidak hanya urusan asmara, atau sekedar rutinitas kehidupannya, tapi arena sosial yang jauh lebih luas pun menjadi kebutuhan dirinya melalui facebook

Mungkin kalau boleh menyindir bahwa makhluk ciptaan Tuhan yang keranjingan ataupun boleh disebut dengan istilah facebokiah umat pengikut facebook, pengidam facebook, pengelola account facebook, pemilik account facebook mereka adalah yang mempraktekan jejaring ini menjadi ritus disamping sembahyang, shalat, kebaktian sebagai bagian paling penting yang menjadi kompas kebijaksaan. Harian! Atau lebih daripada itu setiap jamnya!

***

Situs jejaring sosial adalah mirip seperti jaring laba-laba yang sebenarnya dan dalam konteks interaksi sosial. Dunia yang menghubung lalu lintas manusia antar benua terhubung dalam sebuah layar mini dan saling terhubung satu-sama lain tanpa sekat dan sehelai benangpun yang bisa membatasi ruang pergaulan dan pertemuan-pertemuan lintas ruang yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

Internet menjadi sebuah alat selancar yang sangat dinamis, kapal layar yang bisa menjadi kapal ulang alik pada saat bersamaan, Ia bisa menjadi alat kesenangan tak terbatas atau juga alat penghasut dan pemfitnah tak terkendali, melalui internet juga kita dapat menempuh perjalanan antar benua tanpa sejengkal pun beranjak dari tempat duduk kita.

Dan Internet sendiri tentu saja sebuah sarana, jembatan lalu lintas data yang salah satunya menghadirkan facebook. Mungkin inilah keajaiban facebook. Ia laksana arena sosial yang nampaknya sederhana, konservatif, tak bisa diubah-ubah namun ia justru menjadi nama lain dari internet yang hanya sekedar ruang lalu lintas data.

Istilah Facebookers

Harus dicatat secara cermat dan juga seksama bahwa istilah facebookers sendiri bukanlah bikinan atau made in buatan facebook melainkan ia adalah kreativitas turunan. Yang secara sengaja di lembagakan oleh Usman Yasin sebagai penggagas gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibi Samad Riyanto.

Namun ia juga harus diakui sebagai istilah yang secara sengaja ditemukan. Hasil adopsi dari para penggiat facebook yang kemudian secara bersamaan di amini oleh banyak orang sebagai facebookers. Dan satu hal istilah ini bertendensi muatan lokal. Satu-satunya yang dengan bangga boleh dikatakan Made In Indonesia-nya.

“Wahai pemegang wewenang Anda Sewenang-wenang Facebooker Menghadang” komentar saudari Santiana Angelia seorang dokter cantik yang ternyata facebooker sejati. Facebookers adalah kumpulan yang tidak memiliki tautan orang perorang secara langsung alias impersonal, tidak saling mengenal satu sama lainnya. Persekongkolan facebook merupakan persekongkolan paling murni dan tanpa kontaminasi yang perlu di curigai. Karena sejatinya inilah menggambarkan suara mayoritas.

Istilah dapat diartikan pengrajin facebook. Meski Ia bukan berarti orang yang mendesain atau mengelola atau pendiri facebooker. Tapi istilah ini lebih berarti sebagai para penghuni facebook yang beraktivitas dan berinteraksi, ataupun juga sedikitnya mengelola content-content facebook yang pada gilirannya ia seolah bekerja dan beraktivitas. Karena pada dasarnya istilah facebookers itu sendiri menjadi ragam diksi baru yang dilahirkan dari gerakan paling fenomenal. Yakni group dukungan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Dan harus diakui bahwa inilah gerakan paling fenomenal yang pada gilirannya melahirkan gerakan-gerakan ”turunan” untuk tidak sekedar dikatakan sebagai gerakan latah yang memakai idiom, sejuta atau 1.000.000 facebookers. Dan ini tak bisa kita bantah.

Facebooker adalah umat manusia yang melakukan aktivitasnya di dunia facebook untuk itulah istilah ini lebih mendefinisikan orang-perorangan atau sekumpulan orang yang melakukan aktivitas sosialnya di jejaring facebook. Facebooker adalah identitas aktivitas sekaligus agresivitas.

Jika facebook mampu mendorong civil society bergerak untuk mengkritisi kebijakan yang salah atau penguasa yang zalim maka tentu saja facebook berpeluang mengatasi gap komunikasi antar isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat sehingga pada gilirannya facebook menjadi alat transformasi politik ekonomi sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.

Atau setidaknya diharapkan masyarakat membentuk dirinya sendiri untuk memulai otokritik dan oto kreasi menuju masyarakat yang mandiri. Bahkan ia mampu mendekonstruksikan kebenaran, lalulintas ekonomi dan dalam skala sosial yang lebih besar yakni budaya yang bergerak demikian revolusioner dalam interaksi sosial baru yang intensitasnya terasa makin Pas bagi masyarakat yang makin terbuka.

Impersonalitas Yang Bertenaga

Solidaritas kaum Ibu dan masyarakat kecil dalam membantu seorang Ibu rumah tangga yang berjuang mempertahankan haknya sebagai pasien dan menjadi korban arogansi pengusaha kaya dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menangani perkara rakyat kecil yang senantiasa termarjinalkan hak-haknya dan selalu "dikalahkan "oleh kekuatan uang dan kekuasaan .

Padahal dukungan Kaum Ibu merupakan salah satu kunci kemenangan SBY baik di Pilpres 2004 maupun 2009, kekuatan dan solidaritas kaum Ibu Indonesia sekali lagi ditunjukkan pada saat penggalangan dana bagi Prita Mulyasari. Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah gerakan ini bukan merupakan sindiran dari kaum Ibu Indonesia yang melihat presiden yang dipilihnya ternyata tidak berbuat apapun untuk menolong salah seorang Ibu yang berjuang untuk mencari keadilan bagi dirinya. Apakah para elite politik, anggota DPR dan para aparat penegak hukum tidak dapat berbuat sesuatu yang nyata untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini di masa yang akan datang.

Bayangkan oleh anda jika suara dukungan untuk Chandra dan Bibit bisa mencapai kurang lebih 2 juta suara (dikumpulkan beberapa groups yang sama nafasnya) melawan mereka yang mendukung Polri, Kejagung, Anggodo dan atau yang netral dengan kata-kata Gerakan Dukungan Pemberantasan Korupsi Tidak Pandang Bulu yang tidak sampai mencapai ratusan bahkan beberapa malah berisi 16 pendukung dan itupun bukan dukungan tapi gerundelan, artinya tentu saja, suara anonim-anonim ini pantas dibaca sebagai suara hati nurani masyarakat yang mulai bergerak.

Meski suara parlemen online ini sekilas nampak Abstrak namun suara ini justru mencerminkan suara kejujuran yang tidak terbantahkan. Siapa yang berani bilang bahwa suara facebooker ini ditunggangi. Siapa yang bisa mengumpulkan jumlah tersebut di dalam sebuah realitas yang sangat impersonal.

Salah satu kunci keberhasilan facebook besutan mark Zuckerberg ini adalah terletak pada member-member yang hamper sama sekali bukan anonim, meski memang orang bebas-bebas saja masuk dengan tanpa wajah atau kloningan dari account miliknya sendiri, meski demikian facebook sudah cukup kredibel, sehingga sekalipun ada juga yang memiliki satu atau dua account di facebook. Facebook telah memperlihatkan dirinya sebagai jaringan realitas bukan Anonim. Sebagaimana mereka juga tetap mempertahankan eksistensinya dalam perkerabatan itu. Dan terbukti para membernya pun tidak sedikit yang mendapatkan nilai profetis. Usman Yasin sendiri dapat bertemu dengan kawan lama yang sudah sekian tahun tak pernah berkomunikasi. Hubungan kekerabatan, jaringan orang-perorangan dari Facebook jelas sangatlah. Ia eksis dan real.

Tudingan yang dialamatkan kepada facebook, tentulah memberikan sinyal bahwa orang terebut memang belum sama sekali melek teknologi. Setidaknya mungkin belum punya facebook, atau jangan-jangan facebooknya sudah dijual saking tidak melek internetnya menjawab dengan alasan sekenanya.

Jejaring “Bukan” Maya

Facebooker ternyata adalah jejaring social perkawanan dunia maya yang boleh jadi bukan lagi maya. Mengingat peran serta facebooker yang justru menjadi pilar baru demokrasi. Ia mampu menjadi kendara baru bagi pejuang-pejuang demokrasi yang sejatinya terakumulasi dalam sebuah jejaring sosial.

Dan ndilalah. Bahwa Facebook mampu menjembatani suara-suara kegelisahan itu menjadi kekuatan baru yang tak dapat di bantahkan kecuali oleh kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain bahwa tak layak lagi untuk diragukan tentang bagaimana facebook menjadi alat kritikan sosial dan penyeimbang sosial.

Kita bukan lagi perseorangan, kita tidak sendirian, itu pula yang tejadi ketika ratusan kemudian ribuan bahkan kemudian jauh lebih membesar dari angka itu melakukan pembelaan terhadap Prita. Dan saat Prita diganjar Vonis untuk membayar denda atas putusan pengadilan yang memihak pada penguasa. Seketika itu juga diganjar dengan aksi keprihatinan dengan mengumpulkan koin bagi Prita. Dan facebook telah menjadi saran penting untuk mengejawantahkan jejaring gerakan yang dikatakan maya. Justru menjadi gerakan ”bukan” maya.

Baiklah anda adalah Umat beragama ataupun anda adalah umat yang bukan beragama. Tapi yang jelas anda adalah Umat facebook. Setidaknya anda adalah facebooker istilah ini sedikit banyak memberikan notasi bahwa anda adalah pelaku dan sekaligus anda adalah penghuni jejearing sosial ini.


Ruang interaksi yang demikian ”seketika” boleh jadi demikian dahsyatnya. Ketika anda menampilkan diri anda, siapa anda, darimana anda, anda sudah berhubungan dengan orang yang saat itu juga tengah ”menjadi mata” telinga dan lidah anda. Facebook menggambarkan Transformasi Media Komunikasi Lintas Pelaku

Beragam komentar-komentar dan keusilan-keusilan yang membuat anda tampil ke permukaan. Seketika itu juga akan disambar dengan berbagai interaksi. Dahsyat. Demikian interaktifnya. Ketika anda berdoa dan mendoakan orang lain misalnya. Pada saat itu juga anda sudah mendapatkan ”jawaban” langsung dan seketika. Mungkin juga bukan dari Tuhan tapi setidaknya oleh ”perantara” Nya lah. Para facebooker lainnya.

***

Gegap gempitanya begitu menggurita mulai dari Kakek-kakek dan nenek-nenek sampai cucu mereka hadir dan tak luput absen nongol di facebook. Setidaknya berbagai alasan yang beralas romansa atau romantika masa lalu segera diganjar. Beberapa cerita tentang facebook ini malah seketika itupula dengan mempertemukan mereka dalam jaringan tertentu yang tentu saja secara spesifik mereka sengaja hadirkan. Tidak berapa lama berkumpul. Ambil contoh Sebuah reuni SMA atau mungkin juga Sekolah Dasar. Tak dinyana dapat segera terkumpul.

Bahwa facebook hampir menyerupai ruang kehidupan manusia modern, yang bertetangga, berteman atau juga bergunjing dan bergosip seperti televisi dimana anda juga menjadi agen sumber gosip itu sendiri, Jadi rasanya belum lengkap kalau anda hidup didunia ini kalau belum punya facebook jadi AWAS jangan sampai Tuhan bertanya pada anda, Kamu punya facebook?

Bab 5
Facebookers Menggetarkan ISTANA

Dan Gibran

Selamat Atas kembalinya kedaulatan ke tangan pemegang hak konstitusi paling primordial siapa lagi kalau bukan rakyat. Dulu ia disandang oleh para punggawa-punggawa negeri ini untuk sekedar menjadi pendorong memuluskan laju hasrat menuju kursi kekuasaan. Setelah itu. Rakyat seolah “boleh dibiarkan” untuk sekedar mengganti resapan bahasa ditelantarkan. Atau Maaf! Ditinggalkan.

Rakyat adalah alamat paling komunal. Ia bisa saja di pakai oleh Ketua RT. 04 atau ketua RW 012. untuk sekedar merepresentasikan dirinya berfungsi dalam konteks keterwakilan. Dan tentu saja apalagi mereka yang berada di lembaga yang mengatas namakan rakyat di Bangku legislatif terhormat bernama Dewan Perwakilan Rakyat.

Lucunya sering kali Untuk Siapa mewakili, apalagi ditengah aras keterwakilan proporsional yang melulu membuat partai menempatkan kader-kader setianya pada kursi paling depan dan tentu saja paling “empuk”. Baru pada Pemilu 2009 inilah wajah dan profil publik anggota dewan saling berlomba memperkenalkan paling ganteng dan paling cantiknya sebagian tentu saja paling berpeci dan paling berkumisnya. Sedikitnya rakyat tahu ada ingatan yang sedikit terekam dalam memori pendek mereka ditengah hingar-bingar banyaknya pilihan.

Aha! Ada Facebook.

Laksana jejaring social lainnya di dunia Maya sederet nama situs cukup akrab di benak masyarakat Indonesia, mulai dari  Friendster, hi5, Twitter. Facebook adalah salah satunya. Meski harus cukup di akui Facebook menjadi salah-satu situs yang paling banyak penggemarnya di Indonesia. Dan tentu saja ini sensasional, beranjak dengan itu kemelekan.

Saat ini dari 30 Juta Pengguna Internet di Indonesia 2/3 nya adalah pengguna facebook, sedemikian dahsyatnya. Mulai dari tukang Jahit di dusun Lingkis Ogan Komering Ilir sampai presiden juga katanya memiliki facebook, mulai dari anak tukang nasi uduk sampai anak Jenderal polisi katanya. Mungkin Pengguna Facebook yang lintas batas tadi di karenakan feature-feature facebook lebih dinamis dan interaktif. Salah satunya fungsi groups. Yang baru-baru ini menjadi buah bibir dan wacana public yang monumental.

Diantaranya yang cukup menggelitik dan tentu saja fenomenal, sensasional dan Duahsyaat dan Mantab adalah groups yang dimiliki seorang dosen di Universitas Bengkulu. Bernama Usman Yasin. Fenomenal?! karena ternyata facebook terbukti ampuh dan memiliki kekuatan kemampuan untuk menyuarakan suara-suara masyarakat yang tercecer satu demi satu suara tersebut terpungut dan berhasil mengepung para pengambil kebijakan. Seiring dengan sensionalnya kasus yang di hadapai oleh Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Dalam tempo relative singkat angka satu jutapun hamper tembus kurang dari satu minggu. Gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dibuat oleh Usman Yasin sebagai bentuk keprihatinan atas ”tragedi” menurutnya yang menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Lepas dari realitas kebenaran yang sesungguhnya, namun masyarakat yang memang melihat ada kecompang-campingan aksi prosedural ditambah gonta-gantinya urusan penuntutan seolah membangunkan ”kebodohan” masyarakat yang diam tidur, nyenyak dan tak bersuara itu, justru berbalik menjadi hingar-bingar suara yang tak terkendali bahkan tak terbendung.

Hati-Hati Ada Facebook!

Keberpihakan masyarakat pada anti penzaliman, rasa perlawanan atas perlakuan tak adil dan hasrat mengorek kebenaran lebih jauh, justru meruntuhkan kesombongan Aparat Penyidik yang bertengger dengan alasan produral dan kewenangan dan profesionalitas seketika itu juga dijawab dengan ribuan bahkan jutaan caci maki dan sumpah serapah dan berbalik menjadi kekuatan dukungan yang sungguh amat berarti untuk mengetuk pintu nurani pemegang kekuataan administratif tertinggi untuk bertindak dan berpihak kembali pada Rakyat.

Dampaknya realitas maya yang di hadirkan facebook jusru menjadi realitas tersendiri yang seolah menjembatani dirinya dengan realitas dunia nyata, realitas yang sesungguhnya. Seolah mengepung tanpa perlu pertimbangan rumit karena logika dasar mereka yang begitu terhina untuk tak rela menyaksikan drama tak layak tayang.

Fenomena Facebook juga memberikan arti bahwa kekuasaan atau legitimasi tidak bersifat absolut. Ia dapat di ambil kapan saja, dimana saja tanpa terkecuali apabila jika mereka kurang berhati hati menghadapi publik yang masih di kiranya gampang ”diyakinkan” dengan kata-kata profesional dipaksakan untuk menelan tayangan ”tidak panik” dengan aroma yang terasa mengental luar biasa paniknya.

Kasus Prita misalnya tiba-tiba publik memberikan dorongan lalu berkumpul dalam wadah bersama lalu ketika wacana tersebut merembes, sebuah kekuatan tersendiri yang dahsyat dan dalam waktu singkat dukungan mengalir bak air bah. Dan sangat tidak tertutup kemungkinan bahwa kita juga bisa saja  memainkan isu-isu lain yang jauh bersifat personal atau bahkan privasi.

Fenomena ini memberikan arti bahwa apapun persoalan yang terjadi di masyarakat kita bisa berupaya untuk melakukan pengepungan-pengepungan dengan inisiasi wacana yang memadai maka akan mampu mendorong pihak terkait untuk mampu menyelesaikan masalah yang harus di perbaiki.

Jika jejaring social dunia maya mampu menggetarkan Istana maka persoalan-persoalan  lain yang mungkin sama halnya berkaitan dengan wacana publik. Sepatutnya Kepentingan publik akan teradvokasi juga dengan baik. Tanpa memandang tinggi rendahnya permasalahan isu atau bahkan seberapa personalnya pun Jejaring sosial ini tetap memiliki fungsi yang tak tebilang jumlah kemanfaatannya, karena sifatnya yang impersonal dan bahkan isu-isu remeh-remehpun, orang bisa lantas meresponnya.

Istana Saja bisa bergetar. Apalagi Kampung kita. Ayo Kita Bisa Indonesia!!!

***






Pendiri Gerakan Dukung Chandra - Bibit di Facebook
Usman Yasin: Dari Genggaman Kugetarkan Istana
Facebook memunculkan fenomena baru dari aksi bersama, yang mampu 'menggetarkan' istana.


Dua pekan sejak akhir Oktober 2009, Facebook lebih 'meriah' dari biasanya. Tak hanya menjadi ajang curhat bagi para pengunjungnya, jejaring sosial terpopuler di di dunia itu telah menjadi jalur alternatif untuk menyampaikan aspirasi politik bagi para Facebooker tanah air.

Momentum itu dipicu oleh babak baru perseteruan antara 'cicak' (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan 'buaya' (Polri), akibat penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, pada Kamis 29 Oktober 2009 sore. "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto" mencuat menjadi grup yang menjadi pusat perhatian banyak orang.

Entah karena titelnya yang bombastis atau memang karena penahanan polisi mengoyak rasa keadilan banyak orang, yang jelas kini jumlah anggota grup ini sudah melampaui dari harapan awalnya untuk menghimpun dukungan dari sejuta facebookers.

Pada beberapa kesempatan berbeda, VIVAnews sempat berbincang dengan Usman Yasin penggagas grup ini. Seorang dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang juga salah seorang Facebooker aktif.

Kepada VIVAnews ayah tiga orang anak ini bercerita tentang proses pembentukan grup ini di awal, dan ke arah mana grup ini akan dibawa, setelah target sejuta terlampaui. Berikut petikannya.  

Sebenarnya bagaimana proses terjadinya grup ini?
Grup ini saya buat murni dari rasa spontanitas karena tergerak dengan pengorbanan dan perjuangan Pak Bibit dan Pak Chandra. Saat itu saya mendapat informasi penahanan Pak Bibit dan Chandra melalui berita di VIVAnews, detik.com, serta radio Elshinta. Lalu saya langsung berkata bahwa ini momen yang tepat. Ini mungkin juga karena saya sering berbenturan dengan kasus hukum. Jadi, saya melihat bahwa saya harus melakukan pembelaan bahkan dalam bentuk yang paling sederhana, yakni membuat sebuah grup di Facebook.

Apa Anda sebelumnya mengenal Bibit dan Chandra?
Saya tidak mengenal keduanya secara pribadi. Saya mempelajari latar belakang keduanya dari Internet. Saya pelajari profil keduanya. Dari situ saya mendapati bahwa mereka itu orangnya sederhana. Bibit adalaah Bekas Kapolda Kalimantan Timur, daerah yang memiliki banyak hasil kayunya. tidak mungkin dia tak bisa punya uang, kalau mau. Artinya dia memang orang yang sederhana. Bukanberarti ia tidak pernah punya kesempatan untuk menjadi orang kaya. Tapi walau saya mengenalnya hanya sebatas dari informasi yang tercatat di internet. Tapi saya memiliki keyakinan, apa yang mereka perjuangkan itu benar. Bila seseorang berjuang berdasarkan kebenaran, maka dia akan berani untuk menghadapi siapapun.


Sebelumnya pernah melakukan kegiatan-kegiatan penggalangan dukungan semacam ini?

Saya mengenal internet sejak sekitar 1994. Tapi pada saat itu saya menggunakan internet lebih pada tataran untuk mencari informasi. Kemudian pada 1999, saya pindah dari Universitas Muhammadiyah Malang ke Universitas Muhammadiyah Bengkulu.

Saat itu saya baru melakukan campaign melalui email ke mailing list-mailing list, karena saat itu belum ada itu yang namanya Facebook. Sebenarnya saya ingin mendirikan sebuah situs yang konsepnya seperti VIVAnews juga, tapi untuk sementara saya lakukan melalui blog, yakni sejak tahun 2005. Sejak itulah kegiatan-kegiatan saya yang bersifat advokasi saya masukkan ke blog.

Saya mendokumentasikan langkah-langkah per item sesuai urutan kronologisnya. Misalnya, hari ini saya bertemu dengan siapa, jam sekian, latar belakangnya. Dokumen-dokumen juga saya simpan disana. Dengan begitu maka banyak orang yang tertarik. Artinya apa yang kita lakukan mendapat respon.

Nah segala permasalahan yang ada saya dokumentasikan di internet. Sejak 2005,  pengguna internet sudah semakin banyak. Orang tidak lagi hanya mencari literatur fisik di perpustakaan. Banyak yang kemudian menemukan dokumen-dokumen tentang advokasi saya di internet. 

Akhirnya mereka datang ke rumah saya melakukan penelitian, baik itu skripsi S1 maupun thesis S2. Mereka datang dari berbagai universitas dari mulai ITB, Universitas Padjajaran, Undip, ITS, UGM, dan lain-lain. Ternyata selama ini, saya telah mengkumulasi data-data yang bisa menjadi acuan bagi tulisan bagi mereka. Sejak itu saya berpikir bahwa internet dapat digunakan untuk sebagai sarana pendidikan, sarana mengumpulkan informasi, dan sarana advokasi.


Saat itu sudah melakukannya melalui jejaring sosial Facebook?
Belum, ini saya lakukan masih dalam bentuk blog, sehingga beberapa interaksi yang saya lakukan masih terbatas. Sebatas mereka meninggalkan pesan di kolom komentar, atau kemudian mereka mengontak saya melalui Yahoo Messenger. Tapi kemudian ini berkembang terus.

Waktu tahun 2008, saat itu sedang hangat-hangatnya bagaimana Presiden Barack Obama juga memanfaatkan internet dan jejaring sosial untuk kampanyenya. Saya kemudian berpikir, kenapa saya tidak menggunakan Facebook? Sebab teknologi Facebook memiliki antarmuka yang sangat mudah. Cukup tulis di kotak (status), tekan enter, lalu langsung jadi. Semuanya langsung terdokumentasi.

Tapi, kalau kita pakai blog, butuh tahapan yang lebih panjang. Butuh keterampilan lebih untuk melakukannya. Harus ke dashboard dulu, bahasa scriptnya juga masih ada, dan lain-lain sebagainya. Karena kemudahan mengupload di Facebook ini, itulah keuntungannya Facebook.

Maka sejak September 2008 saya mulai menggunakan Facebook. Sampai sekarang saya malah lebih sering mengupdate Facebook daripada blog saya. Blog saya belum diupdate-update. Saya telah mencoba memunculkan beberapa permasalahan lewat Facebook ini.

Selain itu Facebook juga memudahkan, karena terutama kawan-kawan di media juga selalu memantau aktivitas di Facebook. Misalnya saat kita hendak melakukan demonstrasi, atau advokasi tentang suatu isu, saya cukup tulis di Facebook dan mereka langsung mengontak kita.

Jadi ini menunjukkan bahwa ada kemudahan berkomunikasi lewat media ini. Facebook juga mampu mendokumentasikan segala sesuatunya dengan baik. Ada jejak-jejak yang bisa disimpan dengan baik di Facebook, misalnya pada fitur message. Ini tidak bisa kita peroleh misalnya melalui teknologi pesan SMS.

Agaknya hidup Anda tidak bisa lepas dari dunia advokasi atau LSM?
Setelah saya pindah ke Bengkulu saya berpikir, harus ada sesuatu yang saya lakukan. Pada 27 Agustus 1999 saya kemudian mendirikan sebuah lembaga berbadan hukum, yaitu Yayasan Lembak Bengkulu yang melakukan advokasi terhadap permasalahan lokal.

Saya sempat melakukan advokasi untuk kawasan konservasi di Bengkulu, yakni kawasan cagar alam Danau Dusun Besar Bengkulu, yang mengalami kerusakan akibat adanya jalan yang membelah kawasan itu. Akhirnya kasus itu dapat diselesaikan dengan baik, walikota ditindaklanjuti oleh gubernur, mentutup jalan tersebut.

Selain itu saya juga sempat memfasilitasi petani dan balai benih untuk melakukan penyuluhan, agar mereka mendapatkan penyuluhan tentang benih. Akhirnya setelah itu beberapa kelompok tani malah mampu mensertifikasi benih mereka sendiri dan oleh dinas pertanian benihnya dibeli. Dari situ mereka mendapat keuntungan, daripada mereka menjual dalam bentuk gabah, benih itu nilainya jauh lebih besar.

Selain itu pada 2006-2007, saya juga melakukan advokasi kasus gubernur Bengkulu (kasus Dispenda Gate). Untuk diketahui, beliau menjadi tersangka September 2008, sekarang sudah November 2009, sudah setahun lebih.

Saya sudah Saya sudah sempat ke KPK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, hingga memindahkan sidangnya dari Bengkulu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Kemudian P21-nya Mei 2004, tapi hingga kini kasusnya belum diselesaikan.
Apa yang membuat grup Anda bisa menggaet banyak pendukung?
Ada beberapa hal. Pertama, ini soal pemilihan media yang tepat. Pemilihan teknologi sangat menentukan kenapa dukungan  ini begitu besar. Kemudahan-kemudahan kelengkapan fitur dari Facebook inilah yang menguntungkan. Menurut saya orang lebih banyak mengerti Facebook daripada media lain misalnya Twitter atau Yahoo Messenger.

Mungkin saya tidak akan mampu menghimpun dukungan secepat ini bila saya menggunakan Twitter atau media lain. Sebab, Facebook memiliki fitur yang lebih banyak, dan lebih menarik. Mulai dari kaki lima, tukang becak, tukang ojek, kalau kita llihat, mereka juga sudah terbiasa dengan Facebook. Kenapa? Karena sekarang perangkat ponsel yang mendukung Facebook juga sudah semakin banyak, bahkan ada yang paketnya cuma Rp 199 ribu.

Selain itu, tak bisa diabaikan adalah bantuan dari media, termasuk VIVAnews yang mepublikasikan sejak awal-awal grup ini berdiri. Sekitar Jumat pagi beberapa media juga sudah memberitakan grup kami, sejak itulah jumlah anggotanya mulai mengalami kenaikan yang cepat. Artinya ada sebuah kebersamaan dalam media, yang membuat dukungan bisa naik luar biasa.

Yang kedua, momentumnya juga tepat. Saat itu saya mendapat informasi penahanan pertama kali, saya langsung berkata bahwa ini momennya. Saya langsung membuat grup ini. Yang ketiga, soal pemilihan judul. Dalam bahasa komunikasi media, judul itu harus provokatif, mudah diingat, dan dibuat sedikit agak bombastis sedikit. Saya buat: Gerakan 1.000.000 Facebookers... Padahal saat itu saya juga tidak tahu, sampai kapan angka satu juta itu bisa tercapai? Sebab, dalam benak saya, saya hanya punya jaringan teman sebanyak 500 orang.

Bagaimana Anda merawat grup ini sehingga bisa semakin besar?
Jadi merawat grup seperti itu harus memerlukan kemampuan komunikasi. Seorang moderator harus paham situasi. Sebelum mencapai satu juta, banyak yang sangsi dan berkata: ah paling grup ini cuma hangat-hangat tahi ayam. Tapi, saya bilang kepada mereka, ini tugas kita untuk sama-sama menjaga dan merawat grup ini.

Saya harus sabar melayani banyak ajakan untuk chatting. Dalam satu waktu, saya harus melayani 20 ajakan chatting yang antri, satu per satu. Sekarang saya harus menyediakan lebih banyak waktu untuk menjaga grup ini. Pada akhir pekan saya bisa meluangkan waktu sekitar 7-8 jam dalam sehari.

Saya bilang, apapun bisa kita lakukan asal kita jaga.Saya tidak pernah merespon komentar-komentar yang tidak baik dengan jawaban yang bermusuhan. Saya juga selalu meminta tolong kepada mereka untuk memperkenalkan kelompok ini kepada tetangga-tetangga dan  kerabat mereka.

Kenapa tidak mencoba untuk mencari moderator lain untuk membantu?
Saya pernah meminta bantuan orang lain, tapi setiap orang kan kadang memiliki visi dan pandangan yang berbeda. Perlu menyamakan persepsi dulu dan bertemu tatap muka sebelum bekerja bersama-sama. Karena belum sempat melakukannya, jadi untuk sementara saya pikir saya sendiri masih bisa melakukannya, ke depan mungkin bisa saja.

Dari mana saja biasanya Anda mengakses FB untuk melakukan moderasi?
Kebanyakan saya melakukannya di depan komputer. Tapi kadang juga moderasi pakai ponsel karena sudah banyak program-program kecil seperti opera mini yang memungkinkan kita tetap terhubung dengan Facebook.

Apa saja tantangan yang dihadapi saat memoderasi grup ini?
Kadang memang ada saja hambatan yang dijumpai. Untuk mencapai tujuan bersama, kadang ada juga tujuan-tujuan yang hendak mengurangi kredibilitas kelompok ini. Misalnya saja ada yang mengirimkan gambar porno, atau mengirimkan iklan. Oleh karenanya kolom gambar beberapa kali sempat saya tutup.

Pernah mendapat ancaman dari orang yang tak suka dengan grup ini?
Belum pernah. Hanya saja kadang ada pihak-pihak yang tidak memberikan identitas yang jelas, seolah-olah mengait-ngaitkan grup ini sebagai salah satu upaya menggembosi parpolnya. Padahal, saya pikir tidak benar. Ini murni ekspresi dari orang-orang sebagai saluran alternatif baru yang muncul. Bahkan, saya jamin, tidak ada satupun saluran dari partai manapun bisa berhasil tanpa dibantu dengan teknologi semacam ini.

Saya pernah ditelpon oleh keluarga Pak Bibit dan Chandra, dan diingatkan agar saya hati-hati, karena mungkin berhadapan dengan orang-orang yang sedang memegang kekuasaan. Tapi saya beranggapan bahwa kita tidak menyerang personal orang, tapi kita memperjuangkan pada proses penegakkan hukum pada agar berada pada track yang benar.

Ada teman lain yang menyarankan agar saya tidak terlalu transparan dengan menampilkan data-data pribadinya saya, keluarga saya, anak-anak saya, alamat saya nomor telepon, dan sebagainya, tapi saya justru ingin mengajarkan agar kita tidak lempar batu sembunyi tangan. Semula memang saya tutup. Tapi begitu semakin banyak anggota grup ini, justru saya buka habis-habisan.

Kalau seandainya ternyata di tengah jalan saya yang ditangkap oleh polisi ya kita harus pasrahkan. Orang khilaf kan bisa terjadi. Tapi, itu pun saya punya keyakinan, feeling saya bahwa apa yang kita perjuangkan selama ini betul.

Apa yang Anda rasakan setelah perjuangan Anda bisa dibilang berhasil?
Saya katakan, bahwa inilah Facebook yang dulu sempat mengundang kontroversi, dipermasalahkan halal-haramnya. Saya katakan, apapun itu, ketika kita manfaatkan dengan niat yang bagus, dia akan menjadi sangat bermanfaat.

Bahkan sesuatu yang halal, kalau terlalu berlebihan dia akan jatuh menjadi haram. Misalnya makanan yang halal, kalau dia kita makan terlalu banyak sampai muntah-muntah, dia bisa menjadi haram hukumnya.


Saya juga sering memanfaatkan Facebook untuk keperluan perkuliahan. Bahan-bahan kuliah kadang saya kirimkan lewat Facebook selain melalui blog saya. Tak hanya itu, melalui Facebook saya juga bisa menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang sudah terpisah sejak puluhan tahun. Ini kan menjadi hal yang sangat berfaedah.

Di Facebook saya bisa bertemu dengan teman-teman saya yang sekarang tinggal di Australia, Hongkong, Jerman, Polandia, ada juga yang di Jepang. Walaupun tak ketemu fisik. tapi kita tahu keadaan mereka sekarang dengan biaya yang murah.

Selain itu, melalui Facebook juga, kita bisa menyalurkan aspirasi politik kita. Ini merupakan kemunculan fenomena baru dari aksi bersama, collective action, yang bisa menciptakan gelombang kekuatan yang bahkan bisa menggetarkan istana. Kasarnya, saya bisa katakan bahwa dengan Facebook, kita bisa menggetarkan istana melalui perangkat di genggaman tangan.

Sekarang, walaupun saya yang tampil di radio, TV, namun, ada kebanggaan bahwa saya hanyalah bagian dari satu juta gerakan ini. Saya cuma menjadi representasi dari sejuta pengguna Facebook yang tergabung dalam grup ini. Ini adalah kasus saya yang paling fenomenal.

Setelah ini, grup FB ini mau dibawa ke mana?
Grup Facebook ini adalah sasaran antara. Kami sudah berdiskusi bahwa ke depan gerakan ini harus dikongkritkan ke dalam sebuah gerakan real, gerakan bersama untuk memantau dan memberantas kasus-kasus korupsi lainnya.

Sebab, sebenarnya dana yang beredar di pusat itu hanya 40 persen dari seluruh anggaran. Yang 60 persennya ada di daerah. Sudah ada beberapa anggota grup ini yang kemudian melaporkan kasus-kasus lain yang sebenarnya juga perlu ditindaklanjuti.

Untuk langkah awal, kita juga akan menyoroti kasus yang sudah ada di depan mata kita, yakni kasus Bank Century. Kita ingin tahu bagaimana uang Rp 6,7 miliar itu digunakan. Apakah uang itu sudah dimanfaatkan dengan benar. Rencananya Selasa depan (hari ini, 10 November 2009) saya juga akan berkoordinasi dengan Pak Teten Masduki dan teman-teman lainnya untuk bersinergi agar kelompok ini bisa memberikan manfaat yang lebih berarti.

***

People Power Dunia Maya Untuk Bibit - Chandra

Dan Gibran
Sudah tidak percaya dengan keadaan saat ini, Parlemen Online menjadi media untuk menumpahkan segala macam keluh kesah !!
Ketika wadah-wadah konvensional terasa begitu lambat dan tidak memiliki pengaruh apapun dalam benak masyarakat, yang sudah ingin menumpahkan kegelisahan mereka. Maka teriakan itu bermuara pada “jalur alternatif” teriakan itu kemudian terdengar lantang di arena-arena luar yang tadinya hanyalah tempat berkumpul biasa. Antar kita, antar manusia lainnya yang kebetulan saling terhubung.

Dan terjadilah kegelisahan yang memuncak itu, ketika masyarakat melihat ”ketidakberesan” yang menggejala disana-sini. Ketika  akhirnya dirasakan semakin tak perlu untuk diberikan toleransi. Lalu masyarakat pun memakai caranya sendiri untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bahkan lebih dari itu masyarakat mempertanyakan keadilan.

Ketika Prita di tuntut oleh perusahaan multinasional yang berstandar internasional, lalu ketika orang biasa yang ’ngecarge” handphone miliknya. Dan kemudian yang paling memuakan adalah pemenjaraan Bibit dan Chandra. Masyarakat sesadarnya memaknai. Orang yang tidak terbukti melakukan kesalahan, saja bisa di penjara, tapi ada orang yang jelas-jelas membuktikan dirinya. Atau terbukti secara kongkrit. Kok bebas berkeliaran?

Dukungan terhadap KPK tersebut secara nyata menggambarkan rasa kepedulian masyarakat terhadap carut marutnya sistem hukum dinegeri ini yang dipertontonkan secara gamblang diberbagai media akhir-akhir ini. Keadilan telah mati, negara tanpa hukum, demikian kata Bimbim Slank di Metro TV.

Gerakan menentang para ‘tuan-tuan keadilan’ ini telah bergaung kencang. Di depan mata perselingkuhan antara pemberi upeti dan penerima upeti ditelanjangi secata gamblang, menjadi tontonan utama penduduk negeri ini. 100 hari pertama pemerintahan SBY – Boediono akhirnya dihadiahi pertarungan dahsyat akhir tahun bertitel ‘ Cicak Vs Buaya’.

Aksi solidaritas masyarakat mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus digalang. Hampir diseluruh penjuru negeri ini, masyarakat bergerak dan terus bergerak memberikan dukungan. “Saya Cicak”, menjadi simbol kalimat perlawanan terhadap ketidakadilan yang sedang dirasakan.

Apa sih yang sedang terjadi? Mengapa yang telah memiliki gaji bulanan dengan segala macam fasilitas yang diberikan negara masih saja rakus menerima jatah? Tak malukah kau ketika uang hasil tilep, hasil korupsi, hasil kongkalikong diberikan pada seluruh keluarga untuk membiayai keseharian hidupnya? Aneh sekali, mereka telah memiliki gaji tetap bulanan dari negara tapi tetap saja rakus untuk mencuri. Kadang-kadang satu kue hasil jarahan dibagi-bagi tanpa malu.. Hati-hati, oknum-oknum seperti ini masih berada disekitar kita..!! Aneh tapi inilah Indonesia. Presiden telah berbuat banyak, tapi masih saja terus di hadang oleh oknum-oknum yang merasa terancam nasibnya.

Gerakan mendukung Bibit – Chandra bahkan merambah dunia maya. Lewat group Facebook bernama Gerakan Sejuta Facebookers Mendukung Bibit – Chandra untuk sementara anggotanya telah mencapai lebih dari 1,5 juta orang. Bahkan lebih. Gerakan massa didunia maya tersebut merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga parlemen sebenarnya. Di Group ini segala unek-unek ditumpahkan, segala yang tersumbat dilepaskan. Maka tak salah jika salah satu televisi terkemuka di Indonesia pun mendukung gerakan massa di group facebook ini dengan mengatakan gerakan ini sebagai People Power Dunia Maya untuk Bibit – Chandra.

Apa bukti Otentik : Suara Anda Menggetarkan Istana? Pertanyaan itu pernah terlontar dari seorang facebooker. Bukti yang paling tak terbantahkan adalah dibentuknya Team 8. yang jelas menginsyaratkan bahwa suara facebookers ah tekanan dari para facebookerlah yang akhirnya membuat Susilo Bambang Yudhoyono Suka tidak suka menerima usulan dibentuknya Team 8. Selanjutnya tak dapat dipungkiri bahwa inilah sejarah baru bahwa telah hadir kekuatan yang sangat ampuh. Terutama dalam perjuangan untuk melawan kesewenang-wenangan dan penyelewengan penguasa. Setuju?


***





Siapa Takut Politik, Siapa Takut Kebahagiaan?
           
Ketika 1,4 juta Facebookers dan ribuan Twitterist menyatakan dukungan terhadap Chandra M.Hamzah dan Bibit S.Rianto, benak nakal mulai bertanya akankah terjadi perubahan politik seperti jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998? Karena problem utamanya sama yaitu: kejahatan korupsi, rezim Soeharto-Orde Baru sangat masif kejahatan korupsinya bersamaan dengan kejahatan HAM, sedangkan kasus pimpinan KPK dipacu upaya pembongkaran korupsi di lembaga negara seperti legislatif (sekitar 132 orang untuk anggota DPR masa bakti 2004-2009 dan sebagian terpilih lagi untuk masa bakti 2009-2014), eksekutif dan yudikatif, juga kepolisian.

Umumnya perubahan politik dipicu oleh kemuakan publik terlibat perilaku rakus petinggi negara, dalam daftar StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat pemimpin politik yang digulingkan publik karena mempraktikan korupsi terhadap uang publik. Sepuluh besar yang dicatat StaR Initiative PBB 2007 adalah : (1) Soeharto (Indonesia, 1967-98) : US$15-35 billion; (2) Ferdinand E. Marcos (Filipina,1972-86): US$5-10 billion; (3) Mobutu Sese Seko (Kongo,1965-97): US$5 billion; (4) Sani Abacha (Nigeria,1993-98): US$2-5 billion; (5) Slobodan Milosevic (Serbia, 1989-2000): US$1 billion; (6) Jean-Claude Duvalier (Haiti,1971-86): US$300-800 million; (7) Alberto Fujimori (Peru,1990-2000): US$600 million; (8) Pavlo Lazarenko (Ukraina, 1996-97): US$114-200 million; (9) Arnoldo Aleman (Nikaragua, 1997-2002): US$100 million; (10) Josep Estrada (Filipina,1998-2001): US$78-80 million.

Kemuakan terhadap korupsi

Fenomena jutaan Facebookers dan Twitterist terlebih dahulu harus kita catat titik puncaknya yaitu pembebasan Bibit S.Rianto dan Chandra Hamzah – setelah sempat ditahan Kepolisian selama 5 (lima) hari - merupakan prestasi puncak perlawanan popular melalui jejaring sosial dan multiplikasi media massa, sebuah model perlawanan politik moderen yang akan berkembang di tahun-tahun mendatang dalam ranah gerakan sosial dan gerakan politik di Indonesia. Prestasi ini kemudian berlanjut dengan dibukanya rekaman pembicaraan rekayasa kriminalisasi KPK dan pimpinan KPK oleh lembaga hukum lain melalui sosok kriminal Anggoro dan Anggodo bersaudara – celakanya hingga hari ini pata pelaku rekayasa kriminalisasi ini beserta pendukungnya tak juga ditahan, seolah-olah tak terjangkau hukum. Kemudian berlanjut dengan dikembalikannya Bibit S. Rianto serta Chandra Hamzah sebagai pimpinan KPK. Bagi kedua pimpinan KPK ini, tentu pembebasan mereka serta dipulihkannya jabatan mereka bukanlah harus dibayar secara cuma-cuma. Publik tentu menuntut mereka untuk memberantas korupsi dengan lebih fokus dan trengginas karena lenbaga hukum lainnya justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi bahkan berniat melumpuhkan KPK, secara khusus tentu membongkar megaskandal Bank Century.

Publik yakin, tentu termasuk Facebookers dan Twitterist, bahwa 11 tahun terakhir perbaikan lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menjadi lembaga formal terdepan memberantas korupsi belum juga tercapai. KPK tetaplah berada di garis depan, dan mampu memperbaiki peringkat pemberantasan korupsi dalam skala global, walaupun perubahannya belum terlalu signifikan. Parahkah korupsi di Indonesia? Tranparansi Internasional menempatkan Indonesia pada 2009 masih berada di level 111 dari 180 negara, dengan Indeks Persepsi Korupsi 2,8 (sebelumnya 2,6 pada tahun 2008), kenaikan yang tidak signifikan dan masih dalam kategori negara korup. Masih jauh dibawah Selandia Baru (peringkat 1), Denmark, Swedia, Singapura. Bahkan masih di bawah negara-negara ASEAN seperti Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand. Menurut hemat saya, prestasi KPK sepanjang tahunlah yang menyelamatkan Indonesia dari kemungkinan terpuruk menjadi negara paling korup di dunia, bukan prestasi lembaga hukum pemerintah seperti kepolisian dan kejaksaan. Seberapa parahkah korupsi sekarang ini? Bibit S. Rianto, Wakil Pimpinan KPK dalam bukunya, Koruptor Go To Hell!: Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia (Hikmah, Jakarta, Desember 2009, hal. 9) menyebutkan dari catatan pelaporan ke KPK 2004-2008 tercatat lebih dari 31.000 laporan. Pada 2008 saja tercatat lebih dari 8.000 laporan. Berarti dalam sebulan tidak kurang 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan, atau sehari 37 laporan korupsi ke KPK.




Simpati kelas menengah pada korban

Kemuakan para Facebookers dan Twitterist berujung pada kembalinya Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah sebagai pimpinan KPK dan dirayakan oleh para pegiat Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) dengan tumpengan di hari pertama kembalinya mereka memimpin KPK agar semakin trengginas memberantas korupsi dan membongkar setuntasnya megaskandal Bank Century. Apakah para Facebookers dan Twitterist lalu mati-matian mau mengejar para pelaku kriminalisasi Chandra M.Hamzah dan Bibit S.Rianto? Atau mencoba membongkar Bank Century, kasus utama yang mempopulerkan istilah Cicak versus Buaya, ketika Susno Duadji tersadap disaat KPK mulai mengendus skandal Bank Century ketika Susno Duadji berhubungan dengan Boedi Sampoerna yang uangnya tersangkut US$183 juta di Bank Century? Atau membentuk jutaan dukungan kepada Pansus Angket Century seperti dukungan kepada Bibit dan Chandra.

Kenapa 1,4 juta Facebookers dan puluhan ribu Twitterist tidak bertransformasi secara linier untuk mengejar pelaku kriminalisasi seperti Anggodo Widjojo atau pelaku rekayasa lainnya, atau mendukung pembongkaran Bank Century? Penulis memakai alat analisa kecenderungan menghadapi risiko yang biasanya dipakai dalam ilmu manajemen keuangan, bahwa pelaku keuangan atau konsumen umumnya terbagi dalam tiga kecenderungan preferensi (psikologis) yaitu: pengambil risiko (risk taker), netral risiko (risk neutral) dan penolak risiko (risk avoider). Umumnya masyarakat memiliki kecenderungan netral risiko (risk neutral), misalnya lebih memilih meletakkan uangnya pada tabungan walaupun keuntungannya tak besar. Para pengambil risiko akan meletakkan uangnya di pasar modal atau pasar uang, sedangkan penolak risiko akan menyimpan uangnya di bawah bantal.

Ketika media massa secara massal memultiplikasi sosok Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai korban rekayasa oknum-oknum penegak hukum (bahkan setelah Mahkamah Konstitusi mempertunjukkan pelakunya Anggodo Widjojo, serta para oknum kepolisian termasuk nama Bareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung M.Ritonga) maka meledaklah dukungan tersebut. Kategori korban menimbulkan simpati publik (terutama dalam masyarakat melodramatis) disamping risiko untuk mendukung korban pun dalam kasus Bibit dan Chandra sangat kecil, terutama informasi itu mereka lihat dari dukungan penuh media massa (cetak dan elektronik). Hal serupa kita lihat pada kasus Koin untuk Prita, Prita adalah korban dan simpati publik juga serta kecilnya risiko juga dimultiplikasi media massa secara massal.

Namun ketika arah advokasi ditujukan pada pengejaran pelaku kriminalisasi Bibit dan Chandra apalagi ketika menajam pada pembongkaran megaskandal Bank Century Rp.6,7 triliun yang membuat media massa terbelah posisi kepentingannya. Maka publik kelas menengah ini mencium bertambahnya risiko, maka jangankan satu juta pendukung untuk membongkar Bank Century, menembus angka 100 ribu sulitnya tak terkirakan. Itulah sebabnya mimpi berlebih sejumlah aktivis radikal bahwa gerakan Facebookers dan Twitterist ini akan berujung pada perubahan politik radikal dan besar-besaran tidak terbukti. Bahkan upaya menurunkan mereka dalam gerakan demonstrasi mendukung Bibit dan Chandra pun tak lebih dari 2.000-3.000 orang saja yang bersedia memunculkan diri dan wajahnya di jalanan. Tetapi ketidakbersediaan mengambil risiko berlebih ini tidaklah mematikan semangat mereka untuk menjadi orang baik dan berpikiran sehat, membebaskan Indonesia dari korupsi.

Gerakan politik kelas menengah

Sebelas tahun reformasi dengan pendidikan demokrasi hanya satu derajat di atas nol, menyebabkan demokrasi prosedural dianggap cukup, walaupun demokrasi substantif disepelekan. Tak sukar menemukan pelanggaran atas demokrasi substantif yang mengarusutamakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warganegara: hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya.

Rasa simpati atau solidaritas kepada korban adalah modal sosial utama dalam demokrasi, dan hendaknya selalu dirawat untuk kemajuan demokrasi. Berpihak kepada korban, kepada Bibit dan Chandra, kepada Nenek Minah, kepada Prita Mulyasari, bahkan kepada Luna Maya, itulah nyawa demokrasi. Namun melalui pendidikan politik yang terencana, cerdas, kreatif, dan inovatif, maka rasa simpati kepada korban dapat menjadi kekuatan perubahan demokrasi yang berbuah pada kebijakan, regulasi dan institusi yang melindungi setiap warganegara dari kemungkinan menjadi korban berikutnya. Semestinya upaya mengejar pelaku kriminalisasi Bibit dan Chandra menjadi langkah kunci untuk mencegah kriminalisasi berikutnya, seharusnya dibuat regulasi baru UU atau Perpu Pembuktian Terbalik, seharusnya ada penolakan atas RPP Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) yang membunuh KPK dan dibuat Menkominfo Tifatul Sembiring.

Seharusnya ada revisi UU ITE yang mengorbankan Prita dan Luna Maya, seharusnya megaskandal Bank Century dibongkar melalui KPK dan Pansus Angket lalu pembuat kebijakan keliru dan cacat hukum ditendang sebagai pejabat publik dan pelaku perampokan uang rakyat itu ditangkap dan diadili. Idealnya tidak ada risiko untuk mengubah rasa simpati menjadi kekuatan politik perubahan. Namun fitnah, ancaman dan intimidasi terus mewarnai langit politik kita terutama puncaknya pada Gerakan 9 Desember pada Hari Anti Korupsi Sedunia dimana KOMPAK menjadi inisiatornya dan menyerukan aksi serupa di 33 propinsi dan 400an kabupaten/kota. Semuanya berlangsung damai, tanpa kerusuhan dan tanpa makar yang dituduhkan Presiden SBY, karena KOMPAK adalah gerakan pakar bukan gerakan makar. KOMPAK mendasarkan gerakan anti korupsi berdasarkan tiga prinsip dasar: antikekerasan, pluralisme dan nonsektarian. Seharusnya SBY meminta maaf, tapi tak pernah dilakukannya, buat apa merasa risih kalau bersih, bukan? Politik Machiavelianistik masih menguasai langit politik Indonesia, warisan buruk dari rezim totaliter Soeharto-Orde Baru. Kondisi itulah yang membuat gerakan politik menjadi momok yang menakutkan bagi mayoritas kelas menengah, termasuk para Facebookers dan Twitterist.

Namun gerakan politik kelas menengah ini sudah menunjukkan efektivitasnya, menggerogoti basis legitimasi politik dan moral penguasa dan mendesakkan tuntutannya di dunia maya. Bila modal sosial ini terawat baik dan dipoles pendidikan politik yang cerdas, kreatif dan inovatif, penulis yakin suatu hari nanti akan menjadi kekuatan politik baru yang mempercayai politik sebagai jalan damai dan jalan cerdas untuk melindungi dan menerapkan hak-hak dasar jantungnya demokrasi (hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya). Sehingga menyatakan sikap politik menjadi kewajiban moral setiap warganegara tanpa harus mendapatkan risiko berlebih, difitnah, diancam, diintimidasi apalagi dipenjarakan hingga dihilangkan seperti di masa rezim totaliter Soeharto-Orde Baru. 

Akhirnya, mengutip Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, bahwa, “Politics is the science of the good for man, to be happines.” Ya, politik itu adalah untuk kebahagiaan manusia. Jadi siapa lagi yang takut terhadap politik? Siapa yang takut terhadap kebahagiaan?
            Sumber tulisan : M.Fadjroel Rachman

***

A new politics of non-party in Indonesia

Di Indonesia, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono khawatir atas facebook, merebaknya ratusan ribu facebookers yang memprotes penahanan pimpinan Komisi Anti Korupsi. Dia mengundang tokoh-tokoh, menyatakan kekhawatiran dirinya digulingkan lalu membentuk sebuah Tim Independen untuk memeriksa apakah penahanan itu menyalahi due process of law. Dalam hitungan hari, penahanan itu ditangguhkan.

Inilah fenomena menarik di Indonesia. Realitas virtual yang terwakili dalam “gerakan sejuta facebookers dukung pimpinan KPK’ ini mampu mempengaruhi interaksi dalam kehidupan negara. Facebookers yang hidup dalam dunia maya ini bertemu dengan interaksi sosial dalam dunia real para pegiat anti korupsi. Ini juga diperkuat oleh media massa yang terus menyajikan wacana dominan publik. Selain dalam kasus di atas, para facebookers pernah memberikan solidaritas terhadap seorang ibu rumah tangga Prita Mulyasari yang diadili secara pidana hanya karena telah mengeluh di dunia maya atas pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit. Bahkan ada kasus terbaru ‘Evan Brimob’ di mana kritik para facebookers terhadap seorang pengguna facebook yang kebetulan berprofesi sebagai polisi paramiliter yang langsung meminta maaf dan meralat pernyataan yang sebelumnya yang menyatakan polisi tak butuh masyarakat, masyarakat yang butuh polisi.

Meski tak selalu bisa diukur, ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil semakin aktif dalam interaksi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Mereka mewakili individu dan kelompok masyarakat dari pelbagai spektrum sosial, mulai dari organisasi non pemerintah di bidang lingkungan, anti korupsi, hak asasi manusia, perdamaian dan keagamaan, pekerja seni terkenal, cendekiawan, kalangan profesional hingga warga biasa, ibu rumah tangga dan komunitas lokal di perkotaan. Mereka bersatu dalam jumlah yang mencapai satu juta dari total pengguna facebook sekitar sembilan jutaan, dan dalam jumlah ribuan mulai turun ke jalan-jalan, lalu memprotes kekuasaan politik dalam pemberantasan korupsi pada penegak hukum. Tuntutan kolektif yang mengemuka adalah anti korupsi.

Sejak lepas dari rejim otoriter pimpinan Jenderal Soeharto, masyarakat sipil memiliki ruang publik yang begitu besar. Namun demikian, perannya masih dilihat sebagai kontrol sosial yang terbatas. Keterputusan hubungan antara basis-basis kelompok sosial dengan partai membuat masyarakat sipil tak menjadi pihak penentu dalam perumusan legislasi dan kebijakan publik. Secara politik marjinal dan mengambang secara sosial (Demos: 2005). Logika politik demokrasi ditentukan oleh kekuatan partai. Sayangnya, pengaruh kekuatan modal dan under representasi partai membuat partai politik lemah dalam mengartikulasikan kepentingan publik. Politik menjadi transaksional, karena dominannya pengaruh politik uang, patronase elite dan modal. Kebijakan negara yang melemahkan kepentingan rakyat berlanjut tanpa kontrol kuat dari partai politik. Kini, kekuatan facebookers masyarakat sipil menggantikan kontrol demokratis yang dalam dunia real merupakan peran partai politik di parlemen. Ia mendapat julukan ‘parlemen online’.
Inilah mungkin yang disebut masyarakat sipil sebagai “the new politics”. Dalam sejarah kediktatoran militer di Amerika Latin atau rejim totalitarian komunis di Eropa Timur, pemahaman masyarakat sipil memang diartikan sebagai “the new politics”. Yaitu suatu ide dari sebuah keyakinan individu-individu dan sebuah kelompok, di luar partai-partai politik, yang ingin men-demokrasi-kan negara dan meredistribusi kekuasaan, tanpa mau merebut kekuasaan negara itu sendiri.
Gerakan “the new politics” ini diidentikan sebagai gerakan sosial baru yang muncul setelah 1968 dengan perhatian pada isu-isu perdamaian, lingkungan, perempuan, hak asasi manusia dan lain-lain. Hal ini mencakup upaya untuk membentuk sebuah ruang publik di mana individu-individu dapat bertindak dan berkomunikasi secara bebas, independen dari negara dan kapital. (Kaldor: 2003)
Sepertinya ini juga tak terlepas dari tradisi kelahiran ‘civil society’ dalam pengalaman di Amerika pada 1970an dan 1980an. Apa yang disebut sebagai ‘civil society’ diharapkan mampu mengkoreksi produk kesalahan dari kegagalan pasar dan krisis ekonomi seperti di Asia akibat dari kegagalan dari ‘good governance’, khususnya korupsi.
Indonesia sekarang adalah Indonesia di mana masyarakat sipil paling didengar, baik oleh negara maupun oleh privat, dan menariknya adalah bukan karena gagasan ideologis. Sebagai contoh nyata dua puluh tahun terakhir adalah menguatnya seluruh desakan keterbukaan dan tatakelola pemerintahan yang bersih. Atau pada arena privat, munculnya praktik tanggungjawab sosial bagi perusahaan. Padahal sebelumnya, negara hanya mengutamakan pemungutan pajak, daripada bisnis yang beretika. Negara tak berbuat apa-apa selama pajak itu dibayarkan, meski praktik operasinya mengancam sistem ekologi.

Kini kehadiran masyarakat sipil begitu terasa dalam percaturan politik Indonesia. Seorang Presiden SBY yang dipilih langsung serta memperoleh dukungan partai mayoritas, termasuk dari partai non pemenang pemilu, tak bisa mengabaikan kekuatan sosial di masyarakat. 

Ini adalah a new hope towards stronger civil society. A new hope for democracy. Mengapa? Ia menjawab salah satu ciri penting dalam kebertahanan demokrasi yaitu kritik. Kritik mengandaikan adanya autonomi. Fenomena FB adalah fenomena civil society yang aktif dan kritis yang mengupayakan otonomi. Mereka mampu memilah operasi kekuasaan negara dengan kelembagaan-kelembagaan yang memang dari semula diperuntukan bagi sebuah civil society. Mereka memandang dirinya sama dengan lembaga anti korupsi. Ini semacam integrasi atau engagement baru dengan institusionalisme demokrasi.

Dalam institusionalisme demokrasi hari ini, partai politik di Indonesia tak memainkan kritik dan otonomi. Partai terperangkap dalam formalisme dan logika transaksi. Partai tak lagi bisa otonom sepenuhnya. Dia ikut dalam koalisi pemenang pemilu dan dalam bagi-bagi kue kekuasaan. Nah, facebooker adalah gerakan yang berupaya mempertahankan otonomi dan kritik partai yang melemah.

Meskipun saya menyebutnya sebagai politik baru non kepartaian, ini tetap produk dari demokrasi lama. Ini kesinambungan, yang menimbulkan harapan baru. Di balik semua keadaan yang orang mengira semua akan mengintegrasi ke dalam insitusionalisme politik formal, ternyata ada suara lain. Suara dari the silent majority.

Ditulis oleh Usman Hamid : Aktivis HAM


***








 

























Penghargaan Ini juga untuk dan bagi facebookers di seluruh Indonesia yang telah mengkontribusikan ruang, waktu dan celotehannya.

1 komentar: