THE GREATES EVER HOAX IN OUR CENTURY
29 Oktober 2010
1 Tahun Kriminalisasi Chandra Hamzah &
Bibit Samad Rianto
Segala
macam praktik untuk merancang, membuat dan mereproduksi informasi adalah sebuah
kekuasaan yang dapat menguasai, keniscayaan ini menjungkir balikan nilai apapun
yang sebelumnya nyata menjadi isapan jempol. Ataupun sebaliknya dari sekedar
isapan jempol justru menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Meski demikian ia
hanya terbantahkan oleh kebenaran itu sendiri.
Dan Gibran
Pengantar Penulis
Buku ini seharusnya sudah lama, sudah lama mengemuka di hadapan majelis
pembaca. Atau penonton setia “megasinetron” ; Ada Apa Dengan Century, atau
apapun judulnya drama tentang kriminalisasi ini, dan dengan berbagai
sekuel-sekuelnya, semisal Ketika Cicak Bersaksi, Ketika Cecunguk Berkuasa,
Ketika Century Bersandiwara, ketika...dan ketika lainnya lagi.
Berikutnya dan berikutnya bahkan sampai ada yang mengatakan “KCB” Ini
sepertinya menjadi film panjang. Bahkan, kalau dipenggalah bisa mencapai “KCB
100”. Tentu anda tidak perlu percaya informasi itu. Sebab kamipun malas
menanyakannya pada “sutradara” dan terutama sekali produser film tersebut.
Memangnya siapa juga yang mengaku menjadi sutradaranya???. Lagi-lagi bahasa
lugas seorang komentator di group Gerakan 1.000.000 facebookers Dukung Chandra
Hamzah dan Bibit Samad Riyanto (seharusnya Rianto).
Tidak terasa, waktu bergulir begitu cepat, detak semakin berdetik, searah
jarum jam roda-roda perubahan terus menggilas. Meski ada yang tak berubah-ubah.
Yakni. Bahkan sampai hari ini. Persoalan kriminalisasi Chandra Hamzah dan Bibit
Samad Rianto. Ini seolah menjadi kebiasaan! jika bukan kebiasaan melenyapkan!
Kebiasaan membungkam, kebiasaan meminggirkan. Maka pilihan lainnya adalah
Mengkriminalisasi.
Dan satu yang pantas untuk anda catat. Hampir satu tahun, peristiwa
pemenjaraan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Namun tetap saja menyisakan
persoalan bagi kita. Bahwa ternyata “drama” ini masih terus berjalan. Ia tidak
usai ketika Chandra Bibit keluar dari penjara, dan dipulihkan kembali menjadi
pimpinan KPK.
Bahkan sebagian aktivis ICW, Kontras, Petisi 28, Gerakan Indonesia Bersih,
FesBI (Forum Silaturahmi Facebookers Indonesia), KOMPAK, Sekber Masyarakat
Sipil, Masyarakat Transparansi Indonesia, dan banyak lainnya. Ataupun juga anda
yang berhimpun di group-group penekan bagi keadilan di republik facebook.
Merasa bahwa SKPP bagi keduanya, Chandra Bibit, adalah “jebakan batman”. Yang
longgar di depannya, untuk kemudian di ujung lainnya ia akan mudah memerangkap
mereka kembali. Terbukti Pengadilan Jakarta Selatan memenangkan gugatan Anggodo
SKPP Chandra Bibit yang dari awal memang dianggap lemah.
Serta-merta nuansa-nuansa ini memberikan kejelasan bagi kita bahwa
“sinetron” ini sesungguhnya. “Utak-atik” perkara.
Facebookers, sebenarnya sebuah entitas majemuk, ia berasal dari ranah realitas
dunia maya. Yang bila dikalkulasikan, ia jenis masyarakat namun jangan kecilkan
artinya jika mereka sudah berwadah dalam suata wacana tertentu. Dan
Dan sampai disini, anda mungkin akan merasa heran, buku ini sangat di
sengaja untuk menampilkan gaya “buku biasa” karena, dibuat oleh seorang
facebookers maka, gaya yang kami sajikan. Miripp-mirip bahasa celetukan,
seloroh bahasa komentar-komentar.
Sesungguhnya ia menyajikan Genuinitas. Keaslian dari karakter bahasa
sehari-hari dari para facebookers. Awalnya konsep BUKAN BUKU BIASA (B3) ini
sebenarnya diniatkan kumpulan komentar, namun karena dirasa sangat kurang
berkenan kehadiran wilayah intelektual orang-orang cerdas nan pintar. Maka kami
sajikan sedikit panjang-panjang meski. Ia juga sebenarnya susunan Gerundelan
yang sengaja diperpanjang durasinya. Oleh kami. Usman Yasin dan Dan Gibran.
Terlebih lagi bahwa tanpa beban kami tetap ingin memberikan celotehan ini
kedalam sebuah “Buku”. Bukan hanya agar terlihat sedikit pintar. Namun
sejujurnya. Agar ia lebih kelihatan “Angker” Sok kritis dan apapun celotehan
orang lainnya yang mencelotehkan, celotehan kami.
Dengan kerendahan hati, kami juga ingin menyampaikan terima kasih
sebesar-besarnya pada banyak kawan-kawan facebookers dan banyak lagi. Diantaranya pihak yang sudah kami
gadang-gadang namanya di Group kebanggaan kami, diantaranya Mas Chandra Marta
Hamzah, Pak Bibit S. Rianto, dan keluarga besarnya.
Serta Mas Sutrisno Bachir yang sudah mendukung beberapa kegiatan kami. Juga Mas Effendi Gazali, Adhie Massardi, serta
banyak lainnya yang mungkin akan sangat panjang sekali kami sebutkan satu
persatu.
Bab 1
Ketika Cicak Bersaksi
Disarikan dari berbagai Sumber Facebookers
![]() |
Mau tahu “sinetron” terbesar sepanjang sejarah reformasi yang
ditunggu jutaan pemirsa. Begitu kata Arham Kendari yang kemudian dengan
kreatifnya ia mengekpresikan bentuk “pemotretannya” kedalam sebuah poster Film.
Bahwa ekpresi semacam ini adalah juga bentuk Kegeraman
pada realitas yang tengah terjadi dalam masyarakat. Potongan gambar diatas ini
adalah ungkapan ekpresi dari seorang Aktivis Online dan juga facebooker yang sangat aktif. Ia
adalah potret dari rangkaian Kriminalisasi KPK. Sekaligus potret “jujur” yang
kemudian ia kreasikan dalam bentuk suntingan-suntingan Poster sebuah film.
Tapi yang patut kita cermati adalah. Betapa bahwa betapa
kita semua memang benar-benar sadar bahwa kita semua adalah “cicak-cicak” yang
menjadi saksi-saksi dari jalannya Cerita diatas cerita yang sesungguhnya. Bahwa
realitas cerita yang sebenarnya bisa saja melahirkan berbagai
kesaksian-kesaksian lainnya yang kemudian seolah tak henti-hentinya memberikan
luapan-luapan dan kalau boleh menyebutnya sebagai letusan-letusan amarah,
kegeraman, rasa dongkol, atau juga dukungan, ataupun juga sekedar Komentar.
Karena kita para pemirsa yang menyaksikannya.
Tapi ia bukan juga sebuah tontonan belaka melainkan juga
sebuah film kolosal yang mengikut sertakan pemirsanya menjadi bagian dari
sinetron itu sendiri. Ini tentu saja Unik. Loh Kok bisa?! Dan pada tengah
Babaknya. Dukungan para “figuran-figuran” atau yang biasa di sebut sebagai
EKSTRAS. Berhasil membebaskan Chandra dan Bibit.
Tak urung ia dimanakan “MEGA SINETRON”. Karena pastinya
akan mengundang animo yang sangat besar, sekaligus menanjaknya ratting
dari tayangan ini. Tiap episode seolah
memberi daya tarik yang tak ada habis-habisnya di pergunjingkan masyarakat
facebooker dan banyak lagi aktivitas online lainnya. Yang kesemuanya ikut ambil
bagian untuk masuk menjadi pemain. Sekalipun figuran atau ekstras tadi.
MEGA SINETRON ini juga realitas yang sebenar-benarnya.
Ini pula kegelisahan yang berkembang di masyarakat bahwa Keadilan begitu
mudahnya dipermainkan. Bahwa KEADILAN bisa seenaknya ditarik ulur. Bahkan
dengan kemampuan dan akses tertentu pada kekuasaan Segala perkara bisa ditarik
atau diulur untuk sekedar mengganti frasa “diperjualbelikan”. Sehingga dari
sana kita dapatkan pula istilah MARKUS. Makelar Kasus.
Sampai saat ini ‘megasinetron’ Ketika Cicak Bersaksi atau
Cicak vs Buaya masih tetap tayang tiap hari di hampir semua layar televisi.
Atau kita tahu bahwa sesekali ia seperti Iklan yang menghiasi. Karena ujung
pangkalnya masih tak bertepi. Tayangan ini menarik perhatian hampir semua
lapisan masyarakat. Infotainment-pun ikut-ikutan menayangkan kasus
‘perselingkuhan’ yang terjadi dalam epidose Cicak vs Buaya ini. Tidak kalah
seru dengan adegan sinetron terkenal seperti Cinta Fitri.
Ada tangisan Antasari Azhar, kelakar Kebohongan seorang
Kepala Kepolisian RI dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan DPR, ada
penjahatnya (mafia kasus/markus), ada intrik cinta dan perselingkuhan,
konspirasi, siaran live di pengadilan, dan adegan-adegan lain yang melibatkan
emosi pemirsa. Lebih seru! Lebih seru dari sinetron kebanyakan Kawan!.
Ketika Cicak Bersaksi nampaknya meraup penonton yang jauh
lebih banyak daripada megafilm Ketika Cinta Bertasbih. Data ini sederhana saja.
Indikasinya bisa dilihat dari pemirsa yang mendengarkan siaran Live. Dibukanya
rekaman penyadapan Anggodo di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Pemirsapun belum bisa meramalkan bagaimana akhir cerita
ini. Sang sutradara begitu lihai dalam mengaduk-aduk emosi pemirsa. Belum jelas
kapan episode terakhir akan ditayangkan. Belum ada yang mengetahui apakah film
‘KCB’ ini akan happy ending atau masih terus to be continued tanpa akhir yang
jelas. Atau bisa saja berhenti tayang karena disensor oleh lembaga sensor dan
screening model baru! Misalnya penyadapan harus diatur, atau sesekali ada Iklan
berjalan seperti teroris yang memang juga sama-sama patut ditertawakan lantaran
sama-sama memuakan. Apakah megasinetron ini disponsori oleh ‘Century Bank” dan akan melibatkan ‘artis’ papan atas
seperti Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani? Atau lebih atas lagi? Semua
masih samar. Prediksi-prediksi seperti ini makin menambah penasaran pemirsa di
seluruh nusantara sehingga tetap setia mengikuti alur cerita Ketika Cicak
Bersaksi ini.
Apabila kasus ini usai, mungkin akan ada rumah produksi
yang akan me-film-kan peristiwa bersejarah ini. Semoga tayangan ’sinetron’
megakolosal ini bisa menjadi titik awal
perbaikan hukum di Indonesia. Ada sedikit kekhawatiran apabila pemeran antagonis dalam ‘KCB’ ini
menjadi pahlawan ketika film ini berakhir
akan bisa memicu kemarahan rakyat yang berujung pada people power untuk
menuntut keadilan.
***
Negeri Para Bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor
menjatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang
Yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !
Adhie M. Massardi
![]() |
***
***
***
Getaran 1.000.000 Facebookers Pasca
Reformasi ‘98
Pagi itu perasaan gemes,
gregetan bercampur amarah menyelimuti hampir semua mahasiswa seluruh
Indonesia, pikiran polos, lugu dan lucu itu nampak pada raut muka seluruh
mahasiswa yang pada waktu itu diselimuti ketegangan, satu malam penuh ketegangan
terasa disaat saya dan seluruh mahasiswa Indonesia berada di dalam gedung
DPR/MPR tahun 1998 waktu itu.
Pagi hari itu perasaan yang sama masih menyelimuti hampir
seluruh area Gedung DPR/MPR harapannya hanya satu, yaitu menurunkan REZIM
Soeharto, Rezim yang begitu diktator pada saat itu, berkat kerja sama
dengan tujuan yang sama antara mahasiswa dan seluruh rakyat indonesia, harapan
itupun akhirnya terwujud ketika Soeharto melepaskan singgasananya yang begitu
kuat selama 32 tahun berkuasa, begitu banyak korban berjatuhan, mereka
merelakan dirinya kehilangan semuanya termasuk nyawa demi kejatuhan Rezim
Soeharto.
Setelah semua harapan itu, euforia pun
muncul diseluruh benak Rakyat Indonesia yaitu Reformasi ‘98, agenda demi agenda
Reformasi digulirkan oleh semua elemen Bangsa dengan harapan pasca Reformasi
‘98 kehidupan negara ini akan berjalan lebih baik termasuk tatanan demokrasi.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah kenapa kita
aktivis mahasiswa 98 terlalu gembira dengan kehadiran yang mengatas-namakan tokoh
Nasional pada waktu itu, bukankah akhirnya mereka pulalah yang menjerumuskan
kita kedalam jurang kehancuran?Akibatnya terjadilah kecelakaan sejarah dimana
tidak ada pemikiran mahasiswa yang melegenda, yang ada hanya lompatan–lompatan
membabi buta di berbagai gerbong politik, dan harapan–harapan semu yang mungkin
dijanjikan oleh yang katanya tokoh Nasional pada waktu itu.
Celakanya lagi pemikiran kebangsaan kita telah dikotori
oleh oknum-oknum aktivis gerakan mahasiswa yang daya pikirnya terkontaminasi
oleh para konspirator dan hasilnya kita semua hanyalah stuntman sejarah,
sistem pemerintahan makin kacau, demokrasi bisa dikendalikan oleh mafia2
politik yang didominasi oleh pemain2 lama termasuk tokoh2 lama yang berkedok
Reformasi, hukum di negeri ini bisa dikendalikan oleh kekuatan–kekuatan politik
binaan ORDE BARU adalah kenangan yang sangat memilukan .
Pasca ’98 Musuh
Besar Masih Korupsi
Kasus yang paling aktual menghentakan kita seluruh rakyat
Indonesia saat ini adalah terkuaknya kebobrokan penegakan hukum pasca Reformasi
98 mungkin kasus ini menjadi salah satu kejadian paling buruk dalam perjalanan
kehidupan bernegara ini, walau faktanya kejadian ini telah lama berlangsung.
Pemilu tahun 2009 menjadi pemilu paling bersejarah dimana
tidak hanya pemilihan umum secara langsung tetapi juga kemenangan Rakyat secara
keseluruhan yang menghasilkan 1 kader terbaik anak Bangsa, terlepas adanya
penyelewengan & kekacauan proses PEMILU termasuk persoalan DPT. Kasus ini
berjalan tanpa ada keputusan dan hasil apapun yang bisa memberikan jawaban
terhadap teka teki kekisruhan PEMILU 2009 yang selama ini muncul dibenak
seluruh Rakyat Indonesia, yang terjadi hanyalah pemulusan sistematis terhadap
kemenangan PEMILU 2009.
Jika Moral Force menjadi hilang dan tidak
ada sama sekali karena terlalu euforia terhadap keberhasilan PEMILU secara
langsung tidak bisa memberikan jaminan pemerintahan yang baik jika tidak ada
orang yang mau peduli untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat, jika
didalamnya terjadi penyimpangan. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa kita
tidak usah repot memikirkan Negara karena sudah terwakili melalui mekanisme
partai yaitu terpilihnya anggota DPR/MPR yang merepresentasikan kepentingan
Rakyat namun tidaklah demikian, yang ada representasi itu telah dirusak oleh
kepentingan partai melalui proses koalisi yang menciptakan tirani koalisi
berkesinambungan.
Setelah se-orang ketua DPR bisa merubah dengan
seenaknya sistem yang sudah ada dimana bila dimungkinkan pertemuan2 komisi
dengan pihak pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari sang ketua,
kepentingan penguasa akan di back up oleh yang
mendukungnya termasuk terbentuknya tirani koalisi di
parlemen. Jika yang menjadi oposisi terlalu kecil maka sudah dipastikan tirani
koalisi akan begitu mudah mengapresiasi seluruh kepentinganya termasuk
kepentingan pribadi, roda Pemerintahan akan berjalan menjadi tidak sehat.
Walau ada anggapan picik bahwa Gerakan Mahasiswa sekarang
ini sudah tidak relevan lagi tetapi buat saya sebagai mantan aktivis gerakan
mahasiswa berharap bahwa Kekuatan Mahasiswa harus dibuktikan melalui Pikiran –
pikiran kebangsaan yang sehat dengan tdk mau menerima uang atau janji apapun dr
orang-orang yang tidak jelas disaat Gerakan Mahasiswa mulai bergulir. Selama
gerakan mahasiswa sifatnya masih transaksional tidak akan pernah
melahirkan Gerakan Mahasiswa yang begitu masif, Gerakan yang ditakuti
oleh Penguasa yaitu Gerakan murni yang dilakukan oleh Mahasiswa sebagai kaum
muda yang bersih, berhati nurani dan terbebas dari prilaku transaksi terhadap
apapun dan siapapun.
Suara Murni Dari
Facebookers
Fakta yang paling menghentakan kita semua adalah peran
dunia maya melalui FACEBOOKERS, mereka datang dengan tidak ada
titipan dari siapapun mereka bebas berekspresi menyuarakan
kegundahan-kegundahan melalui Facebook, ±1.200.000 facebookers
adalah sebuah angka yang tak bisa dianggap remeh oleh penguasa,
Coba bayangkan jika 1.200.000 facebookers turun
bersama dengan kekuatan mahasiswa Jl. Jend. Soedirman – Thamrin dan memblokade
jalan selama 8 jam, Bayangkan akibatnya bagi Jakarta sebagai denyut nadi pusat
perekonomian dan pemerintahan, bayangkan pula selama itupula pengaruhnya pada
pasar Bursa. Apalagi ada “ide liar” untuk memusatkan demo di depan Bursa Efek
Jakarta (BEJ). Naga Bonar Bilang : Matilah
kau!
Saya teringat dengan obrolan ringan warung jalanan” bahwa
proses Rekruitmen yang jelek akan menghasilkan kinerja jelek.” Ini hanyalah
ungkapan biasa yang semua orang jika mendengarnya akan tersenyum kecil, namun
jika kita dalami ternyata ungkapan biasa itu telah terbukti pada hasil PEMILU
2009 belum juga genap 100 hari memimpin dan menjalankan program-programnya
musibah itu akhirnya terkuak juga. Kasus penahanan Chandra M Hamzah dan Bibit
Samad Riyanto atau kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polisi Republik
Indonesia (POLRI) / Cicak vs Buaya, menjadikan inspirasi bagi seluruh Rakyat
Indonesia melalui dunia maya yaitu Gerakan 1.000.000 Facebookers mendukung
Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Target minimalnya adalah bahwa dalam kehidupan bernegara
ini telah terjadi kesalahan yang tidak bisa kita maafkan, betapa tidak akibat
terkuaknya kasus kriminalisasi KPK oleh POLRI akhirnya bisa menyadarkan
dan membuka mata batin kita semua, terlepas siapa yang bersalah dan siapa yang
benar, starting pointnya adalah telah terjadi kebobrokan yang begitu
sistematis yang selama ini tertutupi oleh aura karismatis sang penguasa.
Proses hukum yang sekarang berjalan begitu kacau dimana
semua lembaga penegakan hukum telah terjadi penyelewengan yang tak bisa kita
tolerir, upaya–upaya penyelesaian dan mediasi melalui proses hukum sepertinya
makin hari makin tak jelas ujungnya, tak ada kontrol apapun yang bisa
menyelesaikanya seperti terhadang oleh tembok besar.
Team 8 bentukan Presiden dijadikan lokomotif utk mengakomodir
kegundahan dan kemarahan Rakyat terhadap penyelesaian kasus hukum di Negeri ini
yaitu kasus korupsi yang melibatkan PT MASARO dan yang tidak kalah hebohnya
yaitu kasus bail out PT. BANK CENTURY dimana uang negara
diselewengkan untuk mengobati penyakit Bank Century yaitu 6,7 trilyun yang di
gelontorkan tak jelas kemana rimbanya. Indikasinya dana itu terpakai untuk
pendanaan PEMILU 2009 yang dimanfaatkan oleh segelintir orang dan PARTAI.
Rekomendasi DPR pada waktu memberikan suntikan ke Bank
Century adalah 1,6 trilyun Rupiah, tapi yang terjadi pembengkakan pengucuran
uang Rakyat sebesar 6,7 trilyun rupiah. Atas dasar inilah, seharusnya kita
Rakyat Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap uang yang 6,7 trilyun
bukan hanya pada kasus penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, atau
Susno Duaji yang merekayasa kasus itu, tetapi siapa yang menginginkan rekayasa
itu dibuat?.
Apakah itu dilakukan oleh petinggi Negeri ini untuk
menghindari keterlibatannya dalam kasus Bank Century?, atau ketakutan yang luar
biasa akibat pendanaan PEMILU yang diambil dari uang haram?. Seorang petarung
atau kontestan akan melakukan berbagai macam cara untuk bisa memenangkan
pertandingan termasuk menghalalkan segala cara, dan ini selalu dilakukan oleh
pecundang yang khawatir kemenanganya akan direbut oleh orang lain.
Bahaya yang sekarang harus kita waspadai adalah
pengontrolan pemikiran dan sentimen publik yang terus menerus dilakukan melalui
opini – opini yang dibangun oleh para pakar dan pengamat yang sengaja ditempatkan
penguasa diluar sistem, termasuk didalamnya melalui partai atau media dan
kampus–kampus. Disadari atau tidak, strategi inilah yang paling jitu dilakukan
penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya.
People Power Dari
Facebookers
Kembali pada kasus yang sekarang, yaitu perseteruan Cicak
vs Buaya, KPK vs POLRI, Kejaksaan & Komisi III DPR RI, ataupun proses
penangkapan dan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, Susno Duaji
dan Anggodo, ataupun tuntutan dibebaskanya mas Bibit dan mas Chandra dan dihukumnya
Anggodo dan Susno Duaji. Ini hanyalah bagian dari pembentukan opini untuk
mengalihkan isu – isu yang lebih besar lagi, yaitu adanya indikasi mengalirnya
uang haram ke salah satu partai demi kemenangan PEMILU.
Atas dasar kasus ini saya berpikir bahwa perlu ada
mekanisme, ”PEOPLE POWER” yang mungkin lebih besar dan hebat dari
thn ‘98 tanpa adanya pertumpahan darah dan menghindari konspirasi kedua oleh
tokoh-tokoh yang mengatasnamakan kejujuran dan moralitas, People Power
harus dilakukan langsung oleh rakyat, mahasiswa dan media dalam hal ini (situs
jejaring sosial Facebook) secara simultan menuntut pertanggung
jawaban Presiden atas kekisruhan para penegak hukum yang terjadi saat ini.
Keberadaan KPK didasari pada UU bukan pada kepentingan
Penguasa dimana KPK tidak begitu saja dianggap sebagai musuh bersama
eksekutif maupun legislatif melainkan alat kontrol yang bisa dipakai demi
pemerintahan yang bersih dari KKN, karena ini adalah komnitmen yang kita bentuk
pasca Reformasi 98 yaitu terbentuknya pemerintahan yang bersih .
Upaya pelemahan KPK berjalan terus tanpa ada kontrol dari
siapapun jika pada waktu itu kasus Bibit dan chandra tidak bergulir ke publik
atau pemutaran rekaman demi rekaman korupsi di Negeri ini. Terlepas dari itu
semua Rakyat dan Mahasiswa harus melakukan langkah konkret dengan tidak
menggantungkan harapan lagi pada lembaga-lembaga perwakilan yang sudah ada
karena jika keadaan ini terus kita biarkan, Negara ini akan semakin kacau dan
masa depan bangsa ini akan ditentukan oleh para koruptor dan menjadi tdk sehat
jika korupsi berjalan terus.
Sekali lagi saya harapkan PEOPLE POWER adalah salah satu
alternatif untuk mengatasi kebuntuan persoalan Bangsa ini. Jika ini tidak
dilakukan, maka setiap ada persoalan apapun yang terjadi di negeri ini tidak
akan ada yang bisa menyelesaikannya kecuali mereka yang berada dilingkaran
kekuasaan artinya ORDE BARU jilid II akan kembali berkuasa, jika PEOPLE POWER
terjadi semua lembaga hukum harus di reformasi termasuk POLRI, POLRI harus
berada di dalam Departemen Dalam Negeri untuk menghindari pengaruh kekuasaan
PRESIDEN karena selama ini POLRI langsung dibawah PRESIDEN sehingga keberadaan
POLRI hanya menjadi alat PENGUASA.
Mari kita bangun Bangsa ini Menjadi Bangsa yang adil dan
makmur terbebas dari budaya Korupsi Kolusi & Nepotisme (KKN), agar siapapun
orangnya yang memiliki kompetensi bisa menjalankan kompetensinya dibidangnya
masing–masing dan akan menciptakan iklim investasi yang sehat, jika iklim
investasinya sehat maka para investor akan berdatangan berinvestasi di Negara
kita.
(Sopan Ibnu Sahlan
; Mantan Ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa Universitas Satyagama Jakarta angkatan 1997 - 2000 ).
***
![]() |
***
Anak...ku..
tangis pertama
mu terdengar...
saat negeri tercinta ini sedang
gundah...
saat rakyatnya menanti kearifan sang
raja...
malam itu...
kunamakan kau Bibit Chandra...
ku tau dia bukan malaikat apalagi
dewa...
dia hanya manusia biasa...
seperti kita...
punya salah dan khilaf...
hanya rakyat jelata...
yang sering tak berdaya...
di depan bapak penguasa...
Elang Gurun
komentar salah
seorang pendukung Groups Gerakan 1 Juta Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan
Bibit Samad Riyanto.
Bibit Chandra Bukan Malaikat
Bibit Chandra Memang Bukan Malaikat,
kita sama-sama tahu Bibit Chandra jelas juga bukan dewa. Tapi yang sangat jelas
dan dapat dilihat tanpa perlu kacamata pembesar apapun untuk melihatnya adalah
keduanya terlanjur ”dikriminalisasi”. Keduanya dibuatkan tuduhan yang sangat
terasa sekali aroma dibuat-buat. Sangat kental sekali muatan dan REKAYASA.
Wajah hukum begitu memilukan sekaligus
juga memalukan ketika pemimpin ini negeri ini juga justru terasa mampu di buat
plin-plan oleh aktor-aktor yang mengelilingi. Mungkin ada pembisik, mungkin
juga ada pembesuk. Mungkin ada orang dekat atau mungkin juga bagian lingkaran
dalam pat gulipat.
Maka serta merta membuat kita, yang
merasa perlu memberikan pembelaan adalah ketika dongeng tentang kebenaran
menjadi terlihat sangat begitu lugas dan polos ternyata masih pula ingin di
belok-belokan oleh segelintir manusia-manusia yang kebetulan memegang kendali
kuasa atas peradilan dan hukum di negeri ini.
Rakyat terlanjur percaya bahwa
akal-akalan untuk menjebloskan Bibit Chandra adalah upaya untuk mematikan upaya
pemberantasan korupsi. Desas-desus kanan kiri nian terbukti ketika Mahkamah
Konstitusi memperdengarkan secara terbuka rekaman. Cukong-cukong yang sejauh
ini memang sudah terlanjur ”nongol” ke permukaan.
Bahwa cukong-cukong tadi memang
teramat biasa bergaul dengan punggawa-punggawa hukum kita, penegak keadilan di
republik ini terlanjur akrab, bahkan menyisakan pertanyaan kecil ketika semakin
jelas dan terang benderang jangan-jangan cukong-cukong ini sudah terlanjur
dicinta.
Bahwa mereka melakukan upaya untuk
menyerang Bibit Chandra. Bahkan yang sangat menyayat hati kita semua dengan
teganya mereka untuk sampai hati berniat ”tak pateni” kepada Bibit Chandra.
Aktor-aktor tersebut ternyata belum
juga dapat dicarikan bukti bahwa mereka bersalah. Aktor-aktor tersebut justru
mendapatkan keleluasaan untuk hilir mudik di depan hidung mereka, seolah mereka
berkantor dan berasrama disana ditempat semestinya mereka di BAP dan bukan
diservice dan dilayani bak majika. Apa lacur kata rakyat mungkin sudah
terlanjur Cinta. Terlanjur sayang. Bukan lagi terlanjur akrab atau cuma
terlanjur dekat seperti kisah Antasari dan Rhani.
Desas-desus cinta dalam hal ini,
dengan sangat jujur saya katakan bahwa ada ”rahasia” terdalam yang dimiliki
cukong-cukong ini yang apabila mereka di BAP kan atau di perkarakan atau di
majukan, atau apalah definisinya yang jelas diperkarakan. Mereka akan
bernyanyi, dan nyanyian tersebut adalah hal ihkwal yang ”berbahaya”.
Lalu kembali ke persoalan utama,
mengapa sejauh itu rakyat terus dan terus mendukung. Bahkan tercatat kemudian angka
difacebook pun melampui satu juta suara. Bahkan lebih. Mengapa? bahkan Rakyat
Indonesia antusias membela. Bahkan anak dua belas tahunpun turut lantang
menyuarakan dukungannya dengan memberikan komentar.. dan berderet-deret
lainnya.
Dukungan ini bukanlah dukungan
main-main. Ketika rakyat merasa bahwa; pertama, ada sandiwara hukum yang
sungguh mempermalukan wajah keadilan, bahkan menistakannya. Kedua bahwa sejauh
ini Indonesia, yang akrab dengan praktik-praktik korupsi menitipkan suara dan
kegelisahan mereka pada KPK. Alih-alih mendapatkan ”kriminalisasi” spontanitas
suara-suara itu berduyun-duyun datang bak air bah. Untuk mengatakan HENTIKAN!
Ketiga, wajah Kepolisian dan Kejaksaan
Agung yang notabene mendapatkan raport minus untuk Korupsi seolah merasa tak
penting menempatkan suara rakyat dan menempuh prosedural an’sich tanpa tedeng aling-aling seolah sedang serius menjalankan
proses secara benar. Yang belakangan semakin membuat mereka kikuk sendiri. Dan
tentu saja lagi-lagi mereka alpa bahwa, rakyat masih dianggap sebagai saksi
bisu.
Dan keempat, terminologi Cicak-Buaya
memainkan peran penting membangunkan sentimen ”wong cilik” yang terus menggema
sebagai bentuk perlawan akan kriminalisasi. Bibit Chandra yang pimpinan KPK
saja bisa di penjara apalagi kita, orang biasa yang tak punya kuasa. Begitu
komentar Andreas Octaputra. Dan boleh anda catat, suara yang persis sesirama
dengan Andreas Octaputra, nampaknya ada ribuan. Mungkin juga puluhan ribu.
Dan kelima, rakyat terlanjur percaya
bahwa kriminalisasi terhadap kedua petinggi KPK itu justru adalah sebuah
pembusukan politik (polical decay)
yang sepertinya ingin ditutupi oleh petinggi-petinggi Polri dan Kejagung,
dengan semakin terendusnya aroma ”Centurygate”. Yang mengisyarakatkan sebagai main issue yang bisa jadi menautkan
kepada atasan yang lebih tinggi lagi dari sekedar petinggi Polri dan Petinggi
Kejagung.
Seorang Bapak dengan nama nick Elang
Gurun di facebook menamakan Anaknya Bibit Chandra, jelas bukan ingin mendewakan
nama mereka, Bibit Chandra jelas bukan malaikat,. Bibit Chandra seperti halnya
Prita, dan kita semua yang mewakili rakyat biasa berhadapan dengan
”beringasnya” aparat hukum kita, penegak keadilan bagi kita yang terasa kental
berkawan dengan bandit-bandit pengatur perkara.
Bibit Chandra jelas bukan Malaikat.
Tapi jelas rakyat mampu melihat dengan jelas siapa ”Setan”-nya. Facebooker
jelas bukan nama-nama apalagi karuan seperti karut sengkarutnya DPT yang
memalukan. Justru ketika rakyat sadar se-waras-warasnya mereka tidak sedang
membela malaikat. Tapi Rakyat jelas melihat dengan mata kepala mereka sendiri
masih bergentayangannya ”Setan” gundul yang belum tertangkap juga.
***
Untuk di ketahui, marak
beredar sebuah manuscrip skenario kriminalisasi. Dan bahan yang di sajikan oleh
Rina Dewright ini sungguh membangun sebuah anggapan yang makin lama, semakin
liat. Dan dari tulisan yang memang banyak beredar inilah menjadi sumber dan
sekaligus asumsi-asumsi. Meski sedikit bernuansa gossip politik. Namun, isi dan
beberapa fakta yang ada dalanm tulisan ini boleh jadi mendekati kebenaran dari
rummor yang berkembang selama ini. Dalam anggapan kami isi dan content tulisan
ini is too Good To be True...
Berikut adalah tulisan bebas
dari penulis yang keberadaannya misterius tersebut.
HOT
ISSUE
Fakta
di Balik Kriminalisasi KPK dan Keterlibatan ISTANA
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.
Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu, dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY (tentu saja tidak mungkin diam) terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan, suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI [seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknum KPPU dalam masalah Lippo-enet/Astro, dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya].
Nyatanya, tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut, justeru malah menjadi-hadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator–operator Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra Sampurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.
Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan menjerat Antasari.
Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara
Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Chandra dan Bibit
Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra?
Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan
melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang
rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap,
Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka
penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau 180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan
Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para konglomerat hitam, serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislative dan presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menangkap Anggodo! Meski belakangan terbukti yang menangkap Anggodo memang harus KPK.

***
Simbolisasi Cicak Dan Buaya Di Mata Facebookers
Dan Gibran dan
Bambang Adi
Dalam sejarah peradaban manusia, pemakaian simbol binatang menjadi perlambang ‘kehebatan’ sangatlah lazim. Negara, perusahaan, institusi, atau apalah, begitu menjadikan fauna sebagai imaji metafora. Jika tidak percaya ambil saja contoh partai besar-partai besar yang mengambil simbolisasi fauna.
Cicak adalah hewan melata yang hidup
di antara bumi dan langit, berkulit lembut dan halus, merayap dengan ke empat
kakinya yang mempunyai daya pereka sejenis senyawa keratin yang juga ada di
rambut manusia peneliti dari Universitas Calivornia Barkeley menemukan ada
sekitar 500ribu bulu halus di telapak kakinya yang berukuran antara 30 sampai
130 mikro meter kekuatan melekatnya di timbulkan oleh daya van der waals dengan
daya lekat 10 atm hasil pengukuran dari alat atomic force microscope, luar
biasa, sehingga bisa merayap dan mencari nafkah dan hidup di tembok yang licin,
permukaan kaca yang licin, mungkin juga di tiang listrik tegangan tinggi yang
juga benar-benar licin. Soal licin ini memang Cicak ahlinya.
Makanan utamanya nyamuk penghisap
darah tak pandang nyamuk penghisap darah sehat, atau nyamuk penghisap darah
yang kena virus nyamuk tetap melahap semuanya. Cicak hanya hidup di satu alam,
cicak bagi sebagian orang mungkin menggelikan tapi kebanyakan orang malah bisa
di jadikan bahan mainan anak anak. Kemanfaatanya bagi manusia mengurangi
populasi nyamuk dengan tanpa meracuni dunia dengan obat kimia.
Uniknya pada saat terancam dia rela
melepaskan bagian ekornya yang sebenarnya sebagai peyeimbang pada saat merayap
supaya bisa berlari kencang dan itu bagian yang cukup vital baginya dengan
tanpa rasa ragu di putuskanya bagian tubuh yang sangat berharga itu.
Buaya hewan bertumpu di keempat kakinya yang berkuku tajam, berkulit kasar dan keras tapi bagus tahan banting, anti sobek, banyak manfaatnya, bisa untuk dompet, tas, dll. Buaya memangsa daging atau pemakan bangkai yang liar makanya banyak sekali jadi pastilah badanya besar panjang menyeramkan, buaya hidup di semak semak dan bereproduksi di tempat gelap kotor dan pengap buaya hidup di dua alam yang sangat ekstrem bisa ditempat basah ataupun kering atau yang di hutan belantara atau tengah kota metropolitan. Merski ebrbanding tebalik dengan kemanfaatannya karena termasuk hewan langka yang harus dilindungi akan tetapi bukan kemanfaatanya.
Yang menyebalkan, buaya justru
dikonatasikan negatif. Kecuali, lidah buaya, tapi istilah buaya darat, air mata
buaya, buaya pasar, sampai pribahasa, ”lepas dari mulut harimau masuk mulut
buaya”, sekiranya berderet tipologi makna metafora negatif.
Pandangan Facebookers Tentang Cicak dan Buaya
Adalah Facebooker yang berinteraksi dalam jagat jejaring sosial yang mempunyai kesamaan tujuan perjuangan dan pemahaman tentang fenomena kehidupan social yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, karena sifatnya yang spontanitas dan tanpa punya keterikatan organisatoris itulah para anggota face book yang lebih banyak di kenal sebagai facebooker lebih bisa leluasa dan independen dalam berpendapat dan bersikap tanpa ada pengaruh arahan platform atau atauran aturan yang ada seperti yang terjadi dalam keanggotaan lembaga atau organisasi dimana kebersamaan dan kesamaan ide pandangan dan sikap merupakan sesuatu yang di paksakan. Karena system keanggotaan yang terbuka dan setiap saat dengan gratis bergabung menjadi anggota facebooker itulah pertumbuhan facebooker akan sangat cepat apa lagi dalam menyikapi hal hal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakt banyak.
Dan facebooker ini adalah sekelompok ”denyut” yang merupakan produk dari perkembangan teknologi yang terkini yang tanpa pernah di sadari akan menjadi satu fenomena social yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia salah satunya kehidupan politik di Indonesia.
Cicak Di Mata Facebookers
Facebooker ada yang individual dan ada yang berkelompok nah khusus yang bergabung di dalam group Gerakan 1.000.000 facebooker dukung Chandra Bibit, ini menempatkan diri seiring dengan apa yang tengah di perjuangan KPK yang dalam tulisan ini disebut CICAK yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia, Mengapa pemberantasan korupsi merupakan suatu agenda yang menyatukan jutaan facebooker di Indonesia bukankah banyak hal lain yang juga merupakan kegiatan penting dalam penegakan hukum di Indonesia, contoh pemberantasan pembalakan liar. Ilegal fishing, pemberantasan teroris, hal ini terjadi karena di mata face booker korupsi adalah kejahatan penghianatan dimana pengkhianatan merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat melukai dan menzolimi rakyat dengan bentuk yang langsung serta berdampak sangat luas terhadap kehidupan sosial bangsa ini.
Makanya perjuangan yang sedang di
lakukan oleh binatang yang namanya cicak ini dimana begitu menyedodot simpati
yang luar biasa yang mana karena kehidupanya yang berada diantara langit dan
bumi sudah semestinya bersih dari kotoran tanah, atau segala bentuk kotoran
yang ada dimuka bumi karena dia tidak menginjak bumi justru jika kakinya
tersentuh kotoran dia akan mudah jatuh dari dinding tempat dimana habitat cicak
bermukim karena hal yang memperekat hubungan cicak dengan para facebooker yaitu
cicak di pandang makluk yang bisa hidup jika terbebas dari kotoran. Kekuatan
akan perekat inilah dengan segala daya upayanya kelompok facebooker berusaha
keras ikut berpartisipasi untuk membersihkan kaki sang cicak dimana di duga
kaki sang cicak akan di lumuri kotoran supaya sang cicak terjatuh dan tak lagi
bisa merayap di dinding untuk memangsa nyamuk nyamuk penghisap darah rakyat
Indonesia.
Bentuk nya yang kecil mungil berkulit halus dan ber tekstur lembut ini yang konon juga lucu bagi sebagian orang ini justru yang juga membuat kedekatan terhadap rakyat bisa terjalin disamping manfaat yang benar benar bisa dirasakan oleh masyarakat apabila makin banyak nyamuk di santap oleh cicak harapan hidup makmur di Negara yang bernama Indonesia ini akan terwujud jika tidak ada lagi penghisap darah hidup di negeri ini.
Cicak apabila dalam keadaan terancam
akan melepaskan ekornya untuk mengelabuhi musuhnya sehingga dia terhindar dari
bahaya, inilah yang terjadi pada kasus bibit Chandra dengan tanpa harus banyak
melakukan perlawanan disaat polisi menetapkan mereka berdua sebagai tersangka,
dan meletakan jabatan dengan rasa iklas bukan berarti salah karena ingin
memberikan umpan kepada musuhnya yang sedang mengancam keselamatanya dengan
tidak sibuk menggelar jumpa pers yang hanya menyatakan diri bersih dan tidak
bersalah tanpa bukti apa-apa dan hanya berorasi saja sedangkan proses
pembuktian sedang berjalan. Bibit Chandra adalah bagian penting dari tubuh
cicak itu sendiri dilepas kan oleh sang cicak supaya sang predator sibuk
mengejarnya dan menangkapnya sementara sang cicak bisa berlari kencang
meninggalkanya, karena begitu percaya dirinya sang predator mengejar ekor yang
sudah tak berdaya tak punya kaki dan mulut mungkin di kira siap dilahap oleh
sang predetor ternyata sang predator lengah justru dia terjungkal ke dalam
jurang yang tak berdasar berkubang kotoran dan lumpur yang tak mungkin di
bersihkan sementara sang cicak dengan mudahnya menumbuhkan ekor baru nya dan
tetap memburu setiap nyamuk yang mengancam negeri ini.
BUAYA DI MATA FACEBOOKER
Jika facebooker tanpa pernah ada batas
waktu dan usia, maka buaya dikala sudah sampai waktunya akan di bantai untuk di
ambil kulitnya. Kukunya tajam menghujam bumi wajahnya sangar yang di tunjukan
dengan gagah dan menyeramkan berbagai lambing tanda jasa dan kepangkatan
ditempelkan pada baju seekor buaya sehingga menakutkan jika dilihat dan
menyeramkan bila di tatap dimata buaya sendiri mereka berpacu dan berlomba
menjadi yang paling sangar dan menakutkan yang menjadi simbol kesuksesan.
Bicara soal gizi untuk Buaya, binatang
ini termasuk ”High cost” Dengan biaya makan yang mencapai trilyunan rupiah
karena harus di berikan daging segar yang harganya selalu melonjak tinggi.
Apalagi musim ketika akan lebaran dan natal, maka sesuai perkembangan harga
sembako yang juga melambung tinggi itu dipastikan anda tidak bisa membeli
daging. Dan bila anda alpa memberinya makan. Jangan coba-coba main-main ke
kandangnya! Jangan-jangan anda sendiri menjadi santapannya.
Buaya hanya bisa di
pertontonkan di kandangnya, kebutulan kalo di Jakarta ada di Ragunan. Jadi
sangat wajar jika kemanfaatannya tidak berbanding lurus dengan kemanfaatanya
justru dengan kehidupan dua alamnya inilah yang membuat buaya jadi predator
yang sangat merugikan di dalam air segala bentuk kehidupanya ludes di santap
habis masih kurang juga dia pergi kedarat semua yang bernama daging entah itu
halal atau tidak disantap aja, karena kerakusanya itu makanya jangan heran
kalau buaya mudah di sogok di suapin apapun mau itu daging segar atau bangkai
pasti langsung di sikat habis.
DRAMA KOLOSAL TARIAN CICAK BUAYA
Terus terang, perlu dipikirkan
kesimpatian kepada institusi kepolisian dan kejaksaan. Sejak ‘Theatre
Cicak-Buaya’ ditayangkan, terutama kepolisian RI menjadi sasaran olok-olokan,
makian, yang pada ujungnya agar dilakukan reformasi institusi kepolisian (dan
kejaksaan), bergulir sangat kencang. Pernahkan dipikirkan, ratusan ribu anggota
kepolisian dan kejaksaan yang tidak tahu-menahu ‘Balada ‘Cicak-Buaya’ menjadi
begitu tertekan? Keluarga mereka; isteri, anak, saudara sampai tetangga. Banyak
anggota penegak hukum tersebut yang jauh, bahkan tidak tahu-menahu soal ‘Balada
‘Buaya’.
Saya bukanlah anggota kepolisian atau
kejaksaan. Tapi, jujur saja, banyak berteman dengan mereka yang dirasakan
sebagai ‘pengayom’. Teman. Sahabat. Polisi hakikatnya pemjamin rasa keamanan,
bukan sumber masalah. Bahwa ada sementara (oknum) yang nakal, hal tersebut
lazim. Tapi, keterusikan nurani publik sangat dapat dimaklumi, dan jangan
dianggap hal sederhana. Banyak kekecewaan atas harapan yang berlabuh pada
kegeraman.
Pemberantasan korupsi, yes. Pembenahan
kepolisian dan kejaksaan, sangat penting. Tentu, berbeda halnya ‘menghukum’
oknum insitusi dikomparasi institusinya. Intitusi itu milik kita, bagian dari
peyelenggaraan negara. Terlepas, membunuh tikus berbeda dengan membakar lumbung
padi, gerakan kebenaran, sesuai nurani publik, janganlah pernah tidak
dituntaskan.
Terus terang, meminjam istilah
Sarlito, ketika Bibit dan Hamzah ditahan polisi, nurani publik terusik. Rasa
keadilan dan harapan (pemberantasan korupsi) terasa menjadi begitu tercederai,
hingga penjelasan presiden tidak mampu mengerem. Pembelaan terhadap Bibit dan
Hamzah, esensinya KPK, mengalir bak galodo, air bah. Ada yang risau, kalau
terbiarkan bisa menjelma menjadi ‘people power’.
Pemerintah jangan berlama-lama
menuntaskan ‘Drama Cicak-Buaya’. Bukan karena kita memiliki Komodo yang
kesunyian di NTB, atau cicak sekarang seekor bisa berharga lebih Rp.100 juta,
tetapi energi sebaiknya difokuskan membangun negara yang masih sangat jauh dari
yang dicita-citakan.
Sindirian Australia “Indonesia
Soluton’ perihal penanganan pengungsi asing, jangan sampai merembet
kemana-mana. Publik perlu diberitahu sejelas-jelasnya asal-muasal ”Tarian
Cicak-Buaya” hingga penyelesaiannya. Lalu, kita kepalkan jari-jari kembali ke
hal paling esensial, membangun bangsa tercinta ini.
Itulah tiga jenis binatang yang
semakin populer belakangan ini. Jika dua binatang yang pertama memang ada di
dunia nyata, maka binatang yang ketiga—Godzilla, adanya hanya di film belaka.
Pihak kepolisian dengan bangga
menyebut dirinya ibarat buaya, dan sekaligus menyamakan KPK dengan cicak yang
tak mungkin bisa menang melawan buaya. Jelas saja cicak yang berukuran kecil
sampai kapanpun tidak akan menang melawan buaya yang bertubuh besar. Tapi
bukankah buaya dianggap sebagai binatang ganas yang ditakuti? Bukankah buaya
seringkali diistilahkan dengan konotasi negatif, seperti buaya darat misalnya?
Ketika institusi penegak hukum sudah
dilecehkan pimpinannya sendiri dengan istilah-istilah yang tidak elok didengar
ini, saya kembali pesimis bahwa penegakkan hukum yang sudah mulai berjalan ke
arah yang benar, akan dibelokkan lagi ke arah yang sebaliknya. Ketika
institusi-institusi utama penegak hukum ini mengeluarkan gurauan-gurauan yang
tidak lucu itu, masyarakat harusnya bisa melihat bahwa dagelan hukum mulai
terjadi. Musuh bersama, yaitu para koruptor, yang harusnya diburu jadi
terabaikan akibat perang antar binatang yang semakin seru ini. Publik tidak
menginginkan ini. Hal ini harus diselesaikan segera. Tidak bisa ditunda lagi.
Semakin berlarut perang ini, maka semakin hancurlah masa depan hukum di
Indonesia.
Semoga perang antar binatang-binatang
ini bisa segera berakhir. Dan semoga institusi-institusi hukum di Indonesia
kembali menjadi institusi sungguhan, bukannya menjadi binatan seperti saat ini.
Kita tunggu saja seperti apa jadinya hukum di Republik tercinta ini. Oh ya,
mudah-mudahan tidak muncul binatang ke-empat yang juga sangat mengerikan yaitu
“Sang Kingkong”.
***
Ong
Yuliana, Yuliani, Oh Yulianto
![]() |
Dan Gibran
Mega Super Sinetron ini sudah jauh
meninggalkan ratting tayangan lainnya yang kurang ”Up to date”. Yang sekedar
memoles artis dengan riasan tebal dan norak. Dan dengan peran kurang alami dan
terlalu dibuat-buat. Kalau MEGA SINETRON ini justru sebaliknya sangat alami,
tidak dibuat-buat dan tentu saja asli tidak dibuat-buat dan Fresh from the Oven (maksudnya
penyadapan).
Artis-artisnya pun jauh lebih menarik
karena benar-benar ”Berpengalaman” dan tentu saja jam terbang yang sudah tak
terbilang lagi tingkat kampiunnya. Yang dapat berperan sangat alami apalagi
mereka yang menjadi bintangnya. Justru sudah tak perlu lagi risau karena tak
merasa direkam aksi-aksinya dari satu scene ke scene berikutnya.
Sebut saja Ong Yuliana Gunawan. Wanita
berparas ayu ini ternyata penyedia duren kelas atas yang justru sangat anehnya
dan tidak masuk akal justru diakui ”tidak dikenal” oleh Anggodo si empunya
suara bintang percakapan (penyadapan) yang terlanjur menjadi pemeran utama itu.
Dalam sebuah wawancara pasca sidang MK yang memperdengarkan rekaman tersebut.
Loh Kok Bisa?
Ong Yuliana Gunawan pernah ditahan oleh
tim Satuan Narkoba Polwiltabes Surabaya pada tahun 2007 lalu atas sangkaan
kepemilikan narkoba jenis sabu. Bukan cuma sekali salah satunya malah sangat
kentara karena Mengikut sertakan Mantan artis papan atas Roy Martin yang kedua
kalinya menjadi pesakitan untuk kasus yang sama. Dan tertangkap sekamar dengan
Ong Yuliana ini.
Kisah Ong Yuliana ternyata pernah
ditahan dua kali di rumah tahanan kelas satu Surabaya di Rutan Medaeng, Waru,
Sidoarjo, dalam kasus narkoba. Ong Yuliana terpidana narkoba ini juga memiliki
keahlian dalam memijat.
Dari data yang dihimpun dari rutan Medaeng, Ong Yuliana sudah dua kali masuk ke rutan Medaeng untuk menjalani masa tahanan, karena menggunakan dan menyimpan shabu-shabu Informasi lain menyebutkan, jika Yuliana pertama kali masuk rutan Medaeng sekitar akhir 2005 lalu dalam kasus kepemilikan shabu-shabu.
Setelah menjalani masa tahanan sekitar empat bulan, Ong Yuliana bebas keluar rutan Medaeng. Namun pertengahan 2006, Ong Yuliana kembali masuk ke rutan Medaeng karena kasus yang sama dan menjalani masa tahanan tidak lebih dari enam bulan .
Sebagai narapidana, Ong Yuliana dikurung di sel blok W. Ong Yuliana dikenal sebagai wanita yang bergaul kepada siapapun, baik petugas rutan maupun sesama napi. Ong Yuliana dikenal pandai memijat Didalam rutan, Ong Yuliana sering mempraktekkan keahliannya dalam memijat, terhadap siapapun.
Pihak rutan Medaeng menutup diri untuk memberikan keterangan resmi mengenai kisah dan sepak terjang Ong Yuliana ini. Ong Yuliana Gunawan memang dekat dengan Anggodo, baik sebagai pemijat maupun bisnis. Bahkan kabar yang terdengar Ong Yuliana yang sempat terekam KPK, selain menyerahkan
Ong : Tadi Pak Ritonga telepon, besok dia pijet di Depok, ketawa-ketawa dia, pokoknya harus ngomong apa adanya semua, ngerti? Kalau enggak gitu kita yang mati, soalnya sekarang dapat dukungan dari SBY, ngerti ga?
Anggodo : Siapa?
Ong : Kita semua. Pak Ritonga, pokoknya didukung, jadi KPK nanti ditutup ngerti ga?
Anggodo : Iya-iya
Ong : Udah pokoknya jangan khawatir ini urusannya bisa tuntas, harus selesai. Dia ngomong begitu, Pak Ritonga. Bener Pak Ritonga itu loh, siapa polisi itu, si Susno itu. Kemarin Pak Ritonga dianu itu, Pak Ritonga ngamuk.
Anggodo : lya...hehe
Ong : Tapi lebih baik kok katanya, bagus. Harus begini, karena Antasari,
Anggodo : Iya
Ong : Nah ini loh yang ini, makanya Pak Ritonga dengan urusan sampe tuntas
Anggodo : Ya..ya
Lien atau Ong Yuliana Gunawan menjadi salah
satu nama yang aktif dalam rekaman dugaan rekayasa kriminalisasi KPK., Yuliana
disebut dekat dengan orang dalam lingkungan istana. Jika benar Ong Yuliana
Gunawan dekat dengan lingkungan istana, maka kasus ini harus segera diusut agar
tidak merusak nama baik Presiden. Tegas Ketua Tim Pencari Fakta Adnan Buyung
Nasution.

Lain Lagi Yuliana, ada lagi
Namun,
kesaksian Rani Juliani
berlangsung tertutup lantaran dinilai terlalu vulgar. Dalam persidangan yang
banyak mengungkap tentang hubungan antara pria dan wanita seperti hubungan
intim suami istri dan lain-lain secara terbuka dikatakan oleh Rani Juliani. Rani Juliani juga
mengakui sebagai istri siri Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin
Zulkarnaen, dan ternyata mereka sudah bercerai pada Februari 2009. Namun
walaupun sudah bercerai Rani mengakui Nasrudin sebagai suaminya dan masih
sering berhubungan intim.
Juniver
salah seorang Pengacara Antasari Azgar mengatakan, keterangan Rani Juliani menunjukkan
dia tidak layak menjadi saksi. Penilaian itu dilihat dari segi kesusilaan,
kepribadian, dan efek sosial.
Kesaksian
sang mantan caddy tersebut menjadi penting karena peristiwa di kamar 803 Hotel
Grand Mahakam pada Mei 2008 menjadi bagian penting dalam dakwaan jaksa penuntuk
umum (JPU) yang dipimpin Cyrus Sinaga. Dalam kamar tersebut diduga ada tindakan
asusila antara Antasari dan Rani.
Sedangkan
Nasrudin menyusul ke kamar dan marah-marah kepada Antasari dan Rani, padahal
Rani datang bersama Nasrudin. Menurut Juniver, belum diketahui apa motif di
balik peristiwa tersebut.
Menurut
Juniver, salah satu perbedaannya adalah keterangan Rani saat berada di dalam
kamar 803 Hotel Grand Mahakam bersama Antasari. Rani menuturkan, dia datang
menemui Antasari bersama suaminya, Nasrudin, naik taksi. Sebelum naik menemui
Antasari, Rani terlebih dulu minta izin ke Nasrudin.
Nama
Rhani Juliani identik dengan skandal Antasari ketimbang Skandal yang menautkan
permasalah Bibit dan Chandra. Namun Yuliana dan Yuliani boleh jadi bersaudara kembar
jika dikaitkan keduanya menjadi kunci meski demikian keduanya berpeluk erat
dengan syahwat. Plus minus dengan kekuasaan dan ditambah lagi dengan korupsi
yang memang menjadi tema masalah yang sebenarnya.
Yulianto,
salah satu saksi kunci kasus penyuapan dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad
Riyanto dan Chandra M. Hamzah, diduga berasal dari Surabaya . Dia pernah terlibat kasus dan
menjadi terdakwa. Namun, pria misterius itu belum pernah menjalani hukuman
setelah divonis bersalah. Hal tersebut diungkapkan ketua Ikatan Penasihat Hukum
Indonesia (IPHI) Jatim Henry Rusdijanto.
Cerita
ini bermuasal dari kesaksian Ari Muladi. Yang juga sama-sama sebagai saksi
kunci dan awalnya malah menjadi tersangka pertama dari kasus yang awalnya
adalah penyuapan terhadap kedua pimpinan KPK. Bahwa jelaskah identitas
Julianto? Bahkan banyk orang meragukan keberadaan Julianto. Sampai-sampai
banyak orang yang mendapat tuduhan karena bernama serupa.
Yuliana, Juliani, Yulianto deretan
nama ini jelas bukan deretan nama-nama saudara kandung. Meski mungkin saja
ada kesamaan nama dan tempat Di Indonesia ini. Yang sejenis, serupa, setipe
senasib tapi jelas tidak sepenanggungan.
Yang jelas juga bukan nama judul
cerita fiktif. Yang biasanya tayang di stasiun televisi kita sebagai sinema elektronik
yang konon katanya masih di gandrungi pecinta produk dalam negeri meski
pemerannya mulai di sesaki produk Impor. Tapi sejak nama mereka tayang di
antero televisi dan media lainya. Mereka justru mencuat bak meteor yang
melesat.
Deretan nama diatas lebih dari sekedar
deretan nama pembingungan orang-orang, atau aktor-aktor yang sudah makin
kelihatan kebohongannya. Ow..woh Begitu kira-kira asumsi masyarakat Indonesia
yang tiba-tiba saja menjadi desas-desus mulai dari warung kopi hingga tentu
saja Facebook.
Bahwa nama-nama yang sedang menjadi
perburuan publik tadi satu diantaranya bahkan mencuat beberapa kali lantaran
tersandung kasus Narkoba, yang satunya malah boleh di bilang ”hantu” yang belum
di ketahui ada atau tidaknya. Yang jelas nama-nama tersebut menjadi begitu
terkenal karena kadung kontroversial.
Cicak dan buaya sudah bukan padanan
kata yang asing lagi sebagaimana kita kenal sedari kecil dongen kancil dan
buaya. Sekarang rasanya harus sedikit
bergeser. OngYuliana dan Oh Yulianto Dimana engkau berada.
Bukan sekedar Nama deretan nama diatas
adalah penggalah episode-episode kebohongan. Kalau malam Ong Yuliana kalau
siang berubah wujud jadi Oh. Yulianto. Tapi sebelumnya nantikan kisah seru
selanjutnya bersama Juliani. Maksudnya Rhani Juliani (ANTASARI Red).

Dan
Anggodopun Menjadi “The Real Kapolri”
Satu fakta yang sepertinya
tak terbantahkan ialah. Jika Ada seorang yang mampu mengatur-atur Truno 3
(Kabareskrim) Mestinya ia adalah Atasan Kabareskrim, dan tentu saja Jika
Kapolri saja tidak sanggup menolak permintaan dari orang ini. Maka ialah
sebenarnya yang layak menyandang gelar The Real Kapolri. Manusia itu ternyata
Super Anggodo.
Kegeramanan Facebookers akan
status Anggodo yang tidak juga dijadikan tersangka oleh Mabes Polri membuat
dunia maya sebagai ajang pelampiasan. Anggodo Bisa menjadi Kapolri? Apa Bisa?
Bisa dong Kalau Negeri ini sudah menjadi Negeri jahanam. Kata seornag
Facebookers. Jawaban ini sekaligus kritik sangat menyengat bagi kita semua.
Sejahanam Itukah Bangsa ini? Meski demikian sebagai kumpulan orang-orang waras
facebookers memang ingin melawan kejahanaman itu justru dengan Kritik pada diri
bangsa itu sendiri.
Tengok saja grup facebook
bertajuk “Dukung Anggodo menjadi the Real Kapolri” ternyata juga diminati oleh
ratusan pengguna facebook. Grup yang secara jenaka menyentil lemahnya Kapolri
berhadapan dengan Anggodo ,secara tidak langsung facebooker menduga ada
kekuatan besar dibelakang Anggodo yang mengakibatkan Mabes Polri sangat ragu
menetapkan Anggodo sebagai tersangka.
Gambaran anggodo sebagai The
Real Kapolri di ilustrasikan dengan photo-photo Anggodo yang mengenakan seragam
Kapolri dengan berbagai pose.
“Kalau
menurut aku lebih tepat diangkat sebagai .... Menteri Pendaya-gunaan Aparatur Negara , karena jelas sudah terbukti kinerja nya sangat
bagus dalam mengatur para Aparat Negara .... seperti Kepolisian dan Kejaksaan
.....” tulis anggota Grup bernama Bhaktiman Triwikrama.
Dalam
diskripsi singkatnya grup ini memberi keterangan Sebuah parodi dari Republik
Facebookers. "Korupsi dipastikan hilang dari bumi Indonesia, Karena
Anggodo akan melegalkan perbuatan Korupsi."
Pengaruh
cukong mengalahkan martabat istana. Gebrakan cukong mengamputasi kekuasaan
Polri. Jabatan Polri hanyalah sebuah status yang diterhempas oleh kuatnya
kekuasaan cukong "Hukum" bernama
Anggodo Widjaja. Sampai saat ini polisi masih kebingungan mencari pasal yang
akan dikenakan kepada Anggodo, sementara rakyat secara terbuka sudah menonton
sandiwara yang dibuat oleh seorang sutradara.
Sebelumnya presiden mengancam akan mempidanakan orang
yang mencatut namanya dalam rekaman yang diperdengarkan di MK, namun setelah
mengetahui yang berbicara adalah Mr. Anggodo, saat itupula Presiden SBY diam
seribu bahasa. Ancaman melaporkan
pencatut nama SBY hanya menghiasi halaman media massa. Tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi dari
kekuasaan seorang Anggodo Widjaja untuk saat ini. Jika saja
Kapolri dan Kajagung berjalan beriringan dan bertemu dengan Anggodo Widjaya
maka keduanya akan memberikan hormat. Itulah fakta di Negeri
yang kita sebut "Negeri berdaulat atas hukum." Rakyat sudah bingung,
maka sepantasnyalah Anggodo dinobatkan sebagai "The Real
Kapolri." Saat ini Negeri ini memang pantas sudah bergelar
"Negeri Para Bedebah".
Suara
facebookers setidaknya berbicara atas nurani mereka, beragam nama grup muncul
sebagai refleksi untuk menyikapi kondisi yang berkembang saat ini atas
kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun demam facebooker
mendukung KPK begitu marak namun ada juga grup yang secara terang-terangan yang
berupaya memberikan dukungan kepada Mabes Polri dan Anggodo Cs.
Pertanyaannya
apakah grup-grup yang mendukung kelompok buaya ini mendapat tempat dihati
facebookers? Jawabannya ternyata tidak!
Lihat saja
grup bertajuk “Dukung Keadilan Anggodo” sampai dengan Kamis (19/11/09) hanya
berhasil menjaring anggota sebanyak 191 anggota. Begitu pula grup
bertajuk “1 Milyar Manusia Dukung ANGGODO Untuk...............” hanya
diminati oleh 64 anggota. Parahnya lagi grup bertajuk “Gerakan 50.000.000
Facebookers Dukung Anggodo Widjojo” hanya diikuti oleh 54 anggota.
Sebaliknya
grup bertajuk dukung penahanan anggodo dan grup bertajuk menyentil dan nyeleneh Dukung Anggodo menjadi Kapolri
lebih diminati oleh Facebookers dengan jumlah anggota dari ratusan orang hingga
puluhan ribu anggota.
Fenomena
minimnya dukungan terhadap kelompok buaya juga terlihat pada beberapa grup yang
Bertemakan dukung Instansi Polri seperti pada grup “Dukung Polri” hanya
beranggotakan 314 facebookers. Dari 121 grup yang bertajuk dukung Polri di
Facebookers hanya grup dengan nama “satu trilyun manusia dukung polri
dalam kasus penahanan Chandra Hamzah dan Bibit” cukup mendapat tempat di hati
facebookers dengan berhasil meraih simpati sebanyak 31.697 anggota. Namun grup
inipun sangat tidak realistis, dengan target 1 trilyun manusia khususnya
pengguna facebookers maka target tersebut sangat tidak masuk akal. Pasalnya
pengguna facebookers di Indonesia sampai dengan bulan November 2009 baru
sebatas 21 juta pengguna.
Fenomena facebookers
lah yang mengapresiasi kondisi kekinian
setidaknya tidak bisa disetir begitu saja oleh penguasa agar facebookers mau
mendukung grup yang mereka arahkan. Dari beberapa perbandingan grup diatas
nyatanya grup-grup bertajuk dukungan kepada gerakan buaya begitu minim
dukungan.
Nah,
seandainya penobatan Anggodo menjadi The Real Kapolri terwujud maka dipastikan
Anggodo Cs akan menggerakan segala upaya agar facebookers mendukung gerakan
mereka. “Loh apa bisa,?” bisa dong masa jajaran Mabes Polri dan Kejaksaan Agung bisa diatur…
“Setuju! Mari kita rame2 dukung Anggodo jadi KAPOLRI di
Negeri Neraka Jahanam..! “ Tulis
Nurhayati Sri di wall grup dukung Anggodo menjadi the real Kapolri.
Sumber
tulisan Arif Hidayat, facebookers
***
Bab 2
ADA APA DENGAN CIKEAS (AADC Jilid 2)
Dan Gibran
Ini bukan sekuel dari Ada Apa Dengan
Cinta-nya versi Rangga dan Cinta dari film besutan sutradara Rudi Soejarwo.
Tapi inilah Epos Mahabarata Modern. Dimulainya peperangan paling mutakhir dari
republik reptil. Yakni Cicak versus Buaya.
Drama Cicak Vs Buaya sudah memasuki
babak baru setelah bisa diprediksi bahwa akan terjadi klimaks-klimaks baru
dalam drama ini. Mau disebut apapun kisah ini entah itu sinetron, reality show,
drama, film atau apapun juga, memang harus diakui bahwa pertempuran cicak vs
buaya ini semakin menghibur untuk dilihat justru lantaran semakin membingungkan
untuk diikuti.
Bagaimana tidak menarik ketika kisah ini
semakin panas dan akan bertambah panas alur ceritanya. Dan tentunya semakin
membingungkan banyak orang ketika mengikuti berbagai fakta dan opini dari
berbagai pihak lewat berbagai media yang ada. Terutama berbagai paparan dan
saling serang opini melalui konferensi pers baik dari kepolisian, tim 8, komisi
3, maupun KPK sendiri semakin membuat kisah ini menimbulkan interpretasi yang
bermacam-macam.
EPOS MAHABARATA MODERN
Image menjadi sebuah inti
permasalahan dalam kasus ini. Kemudian ingatan melayang pada sebuah kisah Epos
Mahabharata apabila melihat perkembangan kasus Cicak Vs Buaya ini. Inti dari
cerita tersebut adalah Kebaikan Vs Kejahatan. Dimana KPK menjadi pihak Kebaikan
dan lawan-lawannya menjadi pihak kejahatan.
Tentu saja image KPK sebagai institusi yang bersih yang menjadi harapan baru bagi seluruh warga Indonesia menjadi representasi dari Pendawa, sedangkan Institusi hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian termasuk DPR dan Pemerintahan sebagai representasi Kurawa. Dalam hal ini, KPK memang akan melawan sebuah arus besar yang sangat kuat yang masih ditunggu-tunggu siapakah gerangan sutradara dibalik semua rekayasa atau peristiwa kasus ini.
Dan yang patut diacungi jempol adalah Begawan "Resi Wiyasa" modern ini atau sutradara dibalik Epos Mahabharata modern ini. Drama ini telah menjadi box office di
Beberapa perkembangan terakhir memang sangat mencengangkan pasca pengakuan saksi WW dalam persidangan Antazari Ashar. Menyimak kesaksiannya membuat otak kita menjadi berpikir semakin kuatlah rekayasa yang terjadi bagi institusi pembela kebenaran, KPK. Meskipun dalam konferensi pers sehari setelah kesaksian ww, Pak Nanan selaku "tukang ngomong" Kepolisian langsung meng-counter kesaksian WW dengan mempertontonkan adegan suasana penyidikan WW dan AA, namun opini yang berkembang di masyarakat semakin tidak terbendung. Terlebih lagi setelah menyimak hasil rekomendasi Tim 8 yang secara tegas menyatakan dugaan rekayasa terhadap KPK.
Terus mau dibawa kemana akhir Epos Mahabharata ini?Ya kita, tunggu saja perkembangannya.Yang jelas Epos ini akan semakin menarik ketika dikaitkan dengan skandal Bank Century karena dipastikan akan menguak sesuatu yang lebih besar lagi. Semakin meyakinkan akan adanya sebuah Konspirasi Besar di negeri ini yang melibatkan orang-orang besar yang notabene sudah anda pilih sendiri di pemilu kemarin. Bagi anda yang tertarik untuk melihat fakta lain dibalik Cerita sang sutradara ini mungkin anda bisa membaca tulisan Rina Dewreight yang cukup mencengangkan ini dalam Fakta di Balik Kriminalisasi KPK,dan Keterlibatan SBY atau di situs cicak.or.id atau di berbagai forum lainnya.
Terlepas dari kebenaran fakta, harus diakui bahwa posisi KPK saat ini diakui kebersihannya oleh seluruh masyarakat
ADA APA DENGAN CIKEAS
Apa? CAKAS. Ya terdengar seperti
itulah bunyinya. Kata itu terdengar agak samar-samar ditelinga. Mungkin juga
alat pendengar yang makin susah untuk mencerna dengan baik karena terlalu
banyak tertawa. Tertawa karena mungkin juga terlalu banyak mendengar
lelucon-lelucon paling menggelikan sepanjang sejarah peradaban negeri ini. Tapi
yang pasti karena makin gaduhnya suara-suara facebooker yang bersahutan
membahana di lautan facebook.
Bagaimana tidak menggelikan ini ada
pihak yang sangat jelas terbukti, dan tidak malu-malu melakukan pengakuan
menyuap bahkan dengan sangat bangga mempertontonkan dirinya sebagai. ”Donatur”
dan disatu tempat lainnya ada pihak yang belum terbukti kebenaran menerima suap
dari ”Donatur” Malah adalah pihak yang
di kejar-kejar bahkan kalau boleh di bilang ”dikerjain” karena belum
terbukti benar menerima sepeser uang suap tadi. Ini kok yang sudah ketahuan
menyuap malah ga di kejar-kejar. Ada apa ini? Itu tentu sebuah lelucon.
Begitulah celotehan para facebookers.
Kembali ke Cikeas, oh, maaf maksud
saya Cakeas. Tadi. Ternyata ndilalah
kata yang dimaksud adalah CAKAS. Ini tentu sebuah kata yang sangat dahsyat.
Bagaimana tidak dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Komisi III DPR RI pun harus tertunda karena
juntrungannya. Memang akan ada pengarahan dari Presiden SBY.
Dalam Babak lanjutan RDP tersebut lalu
Diketahui bahwa Jaksa Agung menawarkan sebutan ”Markus” yang sudah beberapa
pekan ini menjadi bahasa ”hardikan” bahasa sumpah serapah dan segala macam
serapannya. Tawaran ini dilontarkan di saat RDP berlangsung kembali setelah
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memanggil Kapolri dan Jaksa Agung Herdarma
Supanji.
Hendarman mengatakan itu dalam Rapat
Dengar Pendapat (RDP) lanjutan antara Komisi III dengan Polri, Kejagung, dan
KPK di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/11/2009) malam. Hendarman menjelaskan,
markus adalah nama seorang rasul dalam kitab suci. Oleh karena itu, Hendarman
meminta agar sebutan tersebut ditiadakan.
Hendarman bahkan juga menawarkan
alternatif panggilan, "Bagaimana kalau daripada cakas lebih baik disebut
cakil, calo keliling, supaya lebih mudah." canda Hendarman lagi.
Hendarman mengakui kalau pemberantasan
cakil adalah satu satu tantangan Kejaksaan ke depan. Namun, ia akan berusaha
agar institusinya bisa benar-benar bersih dari cakil-cakil.Yang benarnya
panggilan lain dari Markus Makelar Kasus
atau ingin diistilahkan sebagai CAKAS. Yang artinya Calo Kasus.
Lalu dengan tergelitik saya
mengatakan? Kok mirip-mirip CIKEAS? Apa serupa ya? Dengan menyeletuk kawan kita
itu bilang Cakas Itu Calo Kasus, saudaranya Cakeas : Calo Kelas Atas, itu kan
kerabatan juga sama Cikeas : Cincai Kelas Atas.
Ah dasar BE_DE_BAH.
CIKEAS
Lalu Kitapun bertanya
Barang apakah itu?
Nama orang barangkali
Ah itu pasti nama Jalan
Atau juga nama tempat
Sebab rasa-rasanya sering terdengar
Apalagi berkonotasi
dengan telpon,
dengan menteri,
dengan Kabinet
yah sepertinya akrab sekali dimass
media
Lalu bertanyalah kita
dimanakah nama Jalan itu
Oh di sebelah tenggara Jagorawi
Tapi ada juga yang mengatakan
Disebelah utara Bogor
Orang Bekasi dan Pondok Gede bilang :
Wah itu di selatan
Ah yang benar yang mana???
Tapi bukan ..
Tolong dikoreksi
kita sedang Rapat Dengar Pendapat
dengan Calo
ups.. maaf!!! Maksud saya Tentang Calo
Jadi CAKEAS itu pasti nama Calo Kelas
Atas
Tapi usut punya usut ternyata itu nama
Cakil
CAKIL : Calo Keliling.
Lalu si Cakil pun menolak
sebutannya...
Dia Lantas memberikan telunjuknya pada
CAKAS
CAKAS : Calo Kasus
Awas orang Madura bisa marah
Kalau depannya Ada Cak.
Apalagi itu berkonotasi....
Kurang menggembirakan
Maka sejak itu
Dengan malu-malu dan tanpa kemaluan
Bergantilah setengah resmi
Dan resmi yang setengah-setengah
Menjadi sebutan CIKEAS :
CIKEAS : Cincai Kelas Atas
Jumat Malam Bukan
Kliwon
Dan Gibran
![]() |
Presiden
Rasa “Ayam Sayur”
Dan
Gibran
Sebagai anak bangsa saya sedih jika
Presiden kita dikatakan sebagai Presiden Ayam Sayur. Karena kata ayam yang dalam bahasa Inggrisnya adalah
Chicken jelas bertendensi melecehkan
Presiden SBY yang kita banggakan. Dan saya rasa kita semua harus mengenyahkan kata ini
karena SBY tentulah bukan Ayam.
Meski kata sayur ditambahkan juga
sebagai penggalah frasa Ayam sayur, sekilas mengingatkan kita pada saat
Pemilihan Presiden kemaren, ketika Iklan Presiden SBY ini memakai jingle sebuah
produk mie instan yang sudah sangat populer di telinga khalayak bahkan tidak
sedikit yang memberikan pujian karena itu artinya Presiden kita sangatlah
dikenal oleh rakyatnya dan memang produk Mie instan ini memang sudah sangat
sedemikian merakyatnya.
Lalu bahwa frasa rasa ayam sayur
dialamatkan kepada Presiden SBY yang kita banggakan ini tentu harus kita tolak
rame-rame karena tentu saja Presiden yang kita pilih bersama dan kita banggakan
ini sekalipun merakyat tidak lantas serta merta mendapatkan predikat RASA.
Apalagi AYAM SAYUR.
Sebagai anak bangsa lagi-lagi kita
harus segera kita enyahkan. Dari perbendaharaan wacana dan diskusi-diskusi
karena keyakinan saya dan harapan saya sebagai anak bangsa Presiden SBY
bukanlah Presiden Rasa Ayam Sayur. Baik di konotasikan dengan Mie Instan maupun
di konotasikan dengan Produk lainnya tentu saja apalagi demi untuk alasan
menolak plagiatisme.
Namun demikian minggu-minggu ini
menjadi akhir pekan yang menyimpan bara dalam sekam, baik bagi facebooker
maupun bagi rakyat Indonesia yang konon sedang memperhatikan televisi kita
dengan menantikan satu momentum yang ditunggu-tunggu. Yakni jawaban Presiden.
Presiden kita ini bukanlah peragu dan
pengulur-ulur waktu untuk tetap memegang teguh prinsip pembiaran. Kita sangat
percaya dipundakmulah kami sematkan kepercayaan untuk membimbing kami meraih
bangsa yang dihormati dan disegani. Presiden Jawablah segera! Kami sangat yakin
engkau bukan peragu apalagi pengulur-ulur waktu.
Jawaban itulah yang akan menentukan
posisi kewibawaan dan ke-kesatriaan seorang putera bangsa nomor satu di
Republik Indonesia ini. Jawaban itu pula yang mungkin akan semakin memantapkan
Presiden SBY sebagai Presiden yang memiliki kepemimpinan yang kuat atau justru
sebaliknya Presiden yang memilih tidak mengambil resiko dan tetap bersembunyi
sambil menyantap dan menyukai Rasa Mie Instan.
Beberapa Tokoh telah bersuara, mulai
dari Eep Saefullah Fatah, Effendi Gazali, Syafii Ma’rif, Hasyim Muzadi, Din
Syamsuddin dan banyak sekali tokoh-tokoh kita yang sudah mulai gelisah akan
dibawa kemana republik kita ini jika momentum besar untuk menerabas
pemberantasan korupsi justru menjadi hilang dengan dalih mengatasnamakan ”Tidak Mau Intervensi”.
Presiden Bicaralah!
Kian hari, kian mengerucut dan
bertendensi dengan mengarahkan pandangan pada pucuk pimpinan Bangsa ini yang
konon akan berada di garis paling depan pemberantasan Korrupsi. Kita tidak
perlu pusing memikirkan Depan sebelah mana? tapi yang sudah sangat clear dan jelas adalah Komitmen
kenegarawanan SBY yang tentu saja kita tidak perlu pagi-pagi buta ini menuduh
bahwa Presiden sekedar Lips Service.
Karena jelas Presiden Bukan Rasa Ayam Sayur. Presiden kita, Presiden SBY
sejatinya akan berada di garis depan seperti yang di janjikannya.
Presiden kita bukanlah orang yang
mudah digertak-gertak dan bukan pula akan mundur setapakpun demi sekedar
pemaksaan. Apalagi kalau dipaksa oleh suara segelintir facebooker yang konon
menurut Pakar Telematika yang terkenal itu. Dukungan di facebook adalah
rekayasa. Jelas Presiden kita bukanlah Presiden yang Penakut.
Lebih dari itu Presiden kita akan
sangat mempertimbangkan masak-masak, dengan perenungan yang matang dan dengan
cara seksama meski kita sebagai rakyatnya sudah berteriak dengan sangat santun
pada Presiden dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tapi Presiden kita
lagi-lagi memang bukan Presiden Ayam Sayur yang kalah oleh gertakan dan
teriakan segelintir orang yang berada di facebook apalagi mendapat masukan
sangat berharga dari pakar telematika terkemuka bahwa lagi-lagi ini sebenarnya
rekayasa.
Presiden SBY yang tentunya bukan
Presiden Ayam Sayur, dan bukan pula presiden yang tidak merakyat. Pasti akan
sangat bijak mempertimbangkan suara-suara kami ini sebagai penjelmaan suara
kerumunan. Ya kami jelas sekedar suara kerumunan meski tentu bisa terlihat
jelas beda sekali dengan gerombolan.
Meski sangat jelas terlihat engkau
sedang memikirkan masa-masak dan jelas kami sangat yakin Presiden bukan sedang
mengulur-ulur waktu dan juga tengah jengah dan meragu. Apalagi tengah duduk
diam dan terlena. Sebaba keyakinan Kami
Presiden SBY Presiden yang kami cintai itu sedang menyiapkan langkah-langkah
kongkrit, tegas dan sigap.
Dengan menunjukan jiwa kesatriaanmu,
dengan menunjukan kewibaanmu yang sangat terlihat jelas itu. Kami tentu
berkeyakinan bahwa Presiden kita tidak tepat untuk di tuding-tuding memiliki
ketersangkutpautan dengan skandal century gate yang sangat menyakitkan hati
rakyat itu, apalagi ikut menerima kucuran dana. Dan itu lagi-lagi sudah
dinyatakan oleh Pembantumu MenKumHam, dan juga seorang artis yang juga vokal
menjadi Anggota DPR. Bahkan sudah menjaminan kupingnya untuk diiris ramai-ramai
bila ternyata terbukti sebaliknya.
Presiden Bicaralah! Kami berkeyakinan tindakamu,
cara penyelesaianmu akan sangat bijaksana dan tentu saja akan mampu menjawab
teriakan kami ini para facebooker yang senantiasa menciantimu dengan mendukung
upaya penegakan hukum yang sekarang ini sedang mempertontonkan episode
ketelanjangan persekongkolan antara penegak hukum kita dan makelar-makelar yang
selama ini ternyata memang sangat nyata mengelilingi Polri-Kejaksaan Agung. Dan kita
sama-sama sepakat tontonan ini tentu terasa menggelikan manakala kita tidak
cepat bertindak untuk menghentikannya.
Sebab inilah intisari kejahatan itu.
Bahkan dosa yang teramat menyedihkan ketika mereka yang sepatutnya memberantas
kejahatan justru menjadi bagian dari persekongkolan jahat untuk meruntuhkan
kebenaran. Presiden bicaralah! Sebab kami masih yakin engkau sebenar-benarnya
kesatria.
Maafkan apabila tulisan ini sebagai
sebuah solilokui-teriakan yang diam. Dan diam-diam berteriak meski tak
terdengar dengan jelas. Harapan kami selaku warga negara kelas biasa. Dengarlah
harapan kami, dengarlah jeritan kami. Presiden engkau bukan Presiden Rasa Ayam
Sayur. Kami Haqul Yakin akan hal itu.
Meski ketika berakhir pidato Presiden
untuk mensikapi hasil akhir rekomendasi Team 8 ternyata banyak yang menilai
presiden bersikap SooSlow Bimbang Youdon’tknow lah...
***
Dari Bencana Tsunami Hingga Bencana Moral
Dan Gibran
Dari tahun pertama menjabat sebagai
presiden hingga hari ini kita sangat-sangat prihatin, dan terus menerus
mengurut dada. betapa tidak. karena dialah Presiden yang setiap harinya
“mengurus” bencana. mulai dari gempa di merauke, tidak lama Tsunami, dan tidak
lama wabah Flu burung, tidak lama kemudian disusul kecelakaan kereta, tiba-tiba
meledaklah Lumpur lapindo, milik seorang anggota Konglomerat yang menjabat
Menteri Kabinet KIB 1. Disusul pula kecelakaan kapal laut. dan ironis 2007 ini
diawali sebagai tahun bencana dengan “raibnya” Adam Air. yang konon katanya
juga dimiliki petinggi negeri ini. dan disusul pula bencana gempa disepanjang
nusantara. dan tidak kalah melelahkanya. Banjir.
Presiden Bencana
Sungguh saya tidak percaya pada hal yang berbau klenik, atau berbau tafsir-tafsir yang bisa melencengkan kita dari logika, namun saya mulai sadar ada apa dengan bangsa ini, makin rumitkah, untuk dapat memperbaiki keadaan yang sudah hampir baik ini atau seperti Ebit G Ade bilang ; mungkin alam mulai murka dengan salah dan tingkah kita.
Belum tuntas kecelakaan satu, datang kecelakaan lainnya belum selesai kita dengan persoalan bencana satu datang pula bencana lainnya, apa ini sebuah pertanda, sungguh saya tidak sedang mengajak anda percaya bahwa ini adalah pertanda, tentu juga saya sangat tidak ingin mengajak kita bertanya pada rumput yang bergoyang tentu saja.
Saya kira tidak ada yang lebih melelahkan dari kerja pemimpin-pemimpin kita sebelumnya dibanding kerja SBY saat ini terutama sekali dalam hal mengurus bencana. Dan meski sangat ingin menghindari, namun tidak juga bisa ditampik bahwa SBY adalah presiden bencana.
kerja yang begitu melelahkan tentulah sebuah “takdir” sebagai presiden. namun ditambah dengan serangkaian bencana tidak bisa di hindari bahwa hal tersebut tentu kian menambah bobot turunnya akselerasi kinerja pembangunan.
alih-alih bisa kerja untuk fokus pada masalah penganguran, bila saat bersamaan harus mengurus Adam Air, alih-alih bisa memulai dan menebar kinerja disaat bersamaan Tsunami datang. dan seterusnya-dan seterusnya. tentu saya pun mulai lupa karena kalau di deret ternyata sudah hampir menembus 1000 musibah.
Skeptisisme
George Santayana dalam “Skepticism and Animal Faith” menuliskan ; “Sikap skeptis , dalam mempertanyakan segala sesuatu, merupakan benteng kemurnian cendekiawan, dan sangat memalukan jika benteng itu diserahkan terlalu cepat atau pada siapapun yang datang lebih dahulu—ada kemuliaan dalam menjaga benteng itu dengan sikap tenang dan rasa bangga melewati masa muda yang panjang, sampai akhirnya, benteng itu bisa dengan aman dipertukarkan dengan kebenaran”.
Pendapat George Santayana ini, buat saya memberikan dua ruang berpikir. apakah terlalu cepat kita memberikan cap SBY sebagai Presiden bencana. atau jangan-jangan pada awalnya rakyatlah yang harus di salahkan karena terlalu menggantungkan harapan-harapan besar pada SBY.
Dan kira saya pikir kita harus melumatkan cara berpikir yang pertama karena proses berpikir ini mungkin saja bisa tidak relevan. Dan tidak fungsional untuk menyelesaikan persoalan, tapi setidaknya skeptisisme memang diperlukan untuk tidak memperlakukan masa depan dengan gegabah. termasuk saya kira perjalanan bangsa ini yang terlampau rumit untuk bisa di urai dan diselesaikan satu demi satu.
Dan Cara pikir yang kedua tentu saja merupakan sebuah kritikan pada saya dan juga pada anda calon-calon pemilih nantinya, tipe pemimpin apa yang "Pas" buat kita. Atau memang tuntutannya bukan sekedar "pas" karena kita butuh pemimpin yang memang bukan sekedar Pas-Pas-an terutama sekali formula dan dinamika yang kita butuhkan harus sebuah tonik yang serba sigap.
Dan rakyat harus disadarkan oleh buaian, sekedar pintar dan pintar sekedarnya. Sekedar ganteng/cantik atau ganteng/cantik sekedarnya. Sekedar suka atau suka sekedarnya. Kita. Anda dan saya akan dia ajak bertamasya dalam 5 tahun kepemimpinan kedepan. Sirkus macam apa lagi yang akan kita hadapi disamping maaf. Ada Bencana Apa lagi ya???
Jenis “Masalah”
Disatu sisi memang ada persoalan yang datangnya dari “langit” namun disisi lain, ada banyak sekali kekeliruan yang memang secara mata telanjang dilakukan dengan kecermatan yang minimal dengan tingkat profesionalisme yang amburadul. jika Tsunami memang datang dari “langit”. Lalu bagaimana menjelaskan kasus Haji kelaparannya. jika Adam Air mungkin kecerobohan setengah manusia dan sisanya Takdir lalu bagimana dengan keluarnya dan ditarik kembalinya PP 37 tahun 2006. Khilaf?
Atau anda boleh lupa dengan Energi dari Air yang ternyata akal-akalan tukang tipu cari fulus, lucunya kok bisa orang kepercayaan presiden membawakan ke meja Presiden, saya jg mulai sedikit lupa kalau ada padi supertoy yang katanya 3 bulan bisa 2 kali panen, ini benar-benar lelucon dalam keseriusan atau jangan-jangan serius untuk membuat lelucon. Lalu anda sadarkan diri bahwa anda sedang berada di sebuah negeri yang di intai 1000 plus musibah tadi.
Ini tentu dapat memberikan kejelasan, ada korelasi yang mulai terlihat sebagai kecompang campingannya pemerintahan ini dikelola. Sehingga bukan tidak mungkin banyak sekali keanehan yang akan muncul dan semakin terlihat kontradiktif satu sama lain. Disatu sisi berniat sungguh-sungguh melawan korupsi, namun disisi lain seorang Koruptor yang sangat kemaruk. bisa “lolos” kembali menjadi gubernur.
Jika kita mau jujur untuk mengevaluasi terhadap kinerja pemerintahan saat ini pantas memunculkan sebuah kesimpulan ; betapa tragisnya nasib bangsa bila kekuasaan yang ada saat ini di tangan SBY tidak mampu memfokuskan dirinya untuk memberikan manifestasi dari janji-janji untuk memulihkan perekonomian nasional. Bagaimana kita bisa menyatakan ekonomi telah pulih, apabila inflasi berlangsung tinggi, pertumbuhan berlangsung rendah, Dan persentasi kemiskinan menanjak. Sector real tidak bergerak, pengangguran meluas, perbankan tidak berfungsi, otonomi daerah yang saat ini sekedar retorika belaka dan KKN yang justru makin dominan dalam kehidupan bernegara. Dengan modus yang semakin tidak pernah terbayangkan pada era sebelumnya. Dan pekerjaan paling serius ternyata sekedar JAIM. JAGA IMAGE.
Satu lagi yang paling aktual adalah kita
semua seolah tercengang, ketika menggelinding ke permukaan adanya upaya
Kriminalisasi KPK. Upaya untuk membuat dan mengusahakan Penahanan dua petinggi
KPK atas tuduhan dan sangkaan yang berubah-rubah.
Bagaimana tidak merupakan sebuah upaya
KRIMINALISASI serta pelemahan terhadap Perang Anti Korupsi. Sebagai warga
Negara yang terasa sangat kasat mata. Ketika MK memperdengarkan rekaman hasil
penyadapan. Seolah memberi lampu terang benderang bagi penangkapan dan penahan
kedua petinggi KPK yang dikenal berani dan konsisten.
Sekaligus menyisakan pertanyaan
sederhana. Yakni Mengapa actor intelektualnya justru masih berkeliaran di luar.
Bahkan terungkap pula kemungkinan upaya melumpuhkan mereka berdua yang dalam
bahasa rekaman “tak pateni”. Aroma segar rekayasa dan bau busuk Kriminalisasi
begitu menyengat siapa saja. Dan yang memalukan adalah begitu berlarut-larutnya
para eksekutif untuk dapat menindak actor-aktor yang mestinya di makzulkan.
LSI
menyebutkan, berlarutnya isu KPK-Polri-Century membuat dua lembaga politik
tinggi negara, Presiden dan DPR dipersepsikan negatif oleh responden. Direktur
Eksekutif LSI, Denny JA, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis,
menyatakan, responden mempersepsikan negatif terhadap DPR sebesar 58 persen.
Sedangkan
persepsi negatif terhadap presiden meningkat menjadi 64 persen dibandingkan
pekan sebelumnya sebesar 53,85 persen. Persepsi negatif terhadap DPR sebesar 58
persen dan persepsi positifnya sebesar 36 persen tersebut terbentuk oleh kasus
pertemuan DPR Komisi III dengan Kapolri. Yang pada intinya hampir seluruh
kelembagaan Negara ini mengalami turun kelas secara politik.
Sampai
dimana upaya pemberantasan Penyakit bangsa yang paling meresahkah rakyat ini
akan dapat direalisasikan. Yakni Pemberantasan Korupsi. Yang bahkan Presidennya
pun. “Ikut-ikutan” tersangkut, namun belum juga memperlihatkan upaya dan
terobosan untuk meyingkap tabir kejahatan konspirasi tingkat tinggi ini. Bahkan
masyarakat awam saja dengan lugasnya mempertanyakan. Presiden kok ga menuntut?
Kenapa namanya disebut-sebut yang katanya “mendukung” itu justru tidak berbuat
apapun baik untuk menepis dugaan. Ataupun melakukan maneuver demi kepentingan
“citra diri” yang sudah dipercaya menjadi kebiasannya. Justru membiarkan begitu
saja dirinya tersangkut paut.
Inilah
bencana sesungguhnya ketika kebusukan justru mulai berawal dari Atas. Ketika
konspirasi tingkat tinggi untuk melawan upaya kontra Anti Korupsi justru dengan
maksud memberangus pemberantasan korupsi. Sungguh ironis dan benar-benar sebuah
KLIMAKS dari bencana moral yang paling tak termaafkan. Dan ini sama saja
membiarkan erosi besar-besaran. Tsunami besar menerpa jalannya pemerintahan.
Karena bukan saja mengganggu melainkan juga mempengaruhi kinerja pembangunan
apalagi masih bulan madu 100 hari terpilih untuk kedua kalinya. Presiden justru
membiarkan bencana paling menyedihkan yakni. Bencana Moral.
Untuk
itu sebagai rakyat biasa kita hanya dapat berharap, semoga tidak terjadi
kutukan yang mengerikan terhadap bangsa dan negara ini. Meski demikian kita
perlu teramat hati-hati dan tidak mudah memberikan cap terhadap pemerintahan
saat ini seraya berpikir ulang untuk tidak cepat juga menggantungkan harapan-harapan
yang muluk kepada pemimpin manapun.
Waspadalah sebagai warga Negara dalam
menjatuhkan pilihan. Dan terlebih lagi Hati-hati agar bangsa ini tidak terpikir
untuk mengucapkan “Selamat Tinggal SBY”.
***
Merindukan
“The Real Presiden”
Dan Gibran dan Ali Said
Damanik
Gonjang-ganjing
persoalan Bibit Chandra yang kian hari makin bergemuruh di Internet wabil
khusus dalam Facebook. Dan pergumulan yang saban hari dan jam nya mengisi ruang
media kita. Tidak hanya Televisi tapi juga radio, tidak hanya Koran tapi juga
ruang bus kota
yang diisi pengasong dan pengamen. Semua membicarakan kasus ini.
Sampai pada
puncaknya yakni Jawaban Presiden SBY atas rekomendasi team 8, yang notabene
adalah bentukan SBY sendiri. Kalau boleh jujur, semua perhatian bangsa ini
tertuju pada jawaban yang sikap, lugas dan tegas. Tidak bertele-tele apalagi
mengundur-undur. Bangsa ini butuh pemimpin yang sebenarnya. The Real Presiden. The Real Commanders. The
Real Executif.
Menjadi
antiklimaks menurut saya ketika jawaban yang kita harapkan dan tunggu-tunggu
justru sebuah pidato ketimbang sebuah jawaban, Langkah Eksekusi atau Perintah
Eksekusi. Tapi kenyataannya JAWABAN itu lebih merupakan saran ketimbang
instruksi. Kecewakah? Sebagian besar memberikan sinyal yang sama atas rasa
kekecewaan mereka.
Bahkan Agustian
seorang facebooker mengatakan “Anda Presiden atau Penasehat Presiden? Kata
seorang facebooker. Bahkan seorang facebooker bernama Ade merasa menyesal “tau
gini gw ga milih dia deh dulu, nyesel banget gw, cuma gitu doang!” dengan
sesalnya.
Suara dan
komentar ini sedikit banyak memberikan sinyal bahwa ada harapan yang terkoyak
ada janji yang sepertinya tercederai, ada kualitas yang dulu dikampanyekan
sekarang ketika saatnya dipergunakan justru disimpan dan sedikit dieram entah
bersembunyi dimana.
Terus terang
inilah bentuk kekecewaan kami yang telah tergiur “satuputaran” karena merasakan
tidak ada yang jauh lebih “perform” presidential look ketimbang Pemimpin yang
terpilih. Kekecewaan yang mesti ditelan mentah-mentah dan harus juga disimpan
sekedar kekecewaan sambil menyalahkan diri sendiri. Mungkin itu yang harus kami
telan.
Merindukan The Real Presiden
Kecewa dengan
sikap para pemimpin bangsa akhir-akhir ini, tiba-tiba kita merindukan sosok
Jusuf Kalla. Orang Makassar ini rupanya masih
penuh mengisi memori saya dan membuat saya membolak-balik chanel TV,
mencari-cari siapa tahu ada dia yang
sedang berbicara mengomentari persoalan-persoalan bangsa yang semakin
menyebalkan belakangan ini. Tapi saya tahu usaha itu sia-sia. Beliau sudah
pensiun dan sedang menikmati hari tua bersama keluarganya.
Saya pikir saya
terlalu sentimental sehingga –jangan-jangan—cuma saya seorang yang merindukan
“Mr. Quick Fix” & “The Real President” ini. Iseng-iseng saya tengok di
berbagai forum di internet, irama senada juga banyak disuarakan oleh orang
ramai. Bahkan suara itu juga diperdengarkan oleh mereka yang dalam pemilu lalu
tidak termasuk dalam barisan penyontreng
kumis tipisnya.
Saya merindukan gaya bicaranya yang lugas,
ceplas-ceplos dan apa adanya; spontanitasnya yang segar dan penampilannya yang
bersahaja. Saya juga merindukan solusinya yang menerobos dan kerap out of the box, kesigapannya bertindak
tanpa peduli dengan soal citra dan popularitas.
Di atas itu
semua, saya sebetulnya sedang merindukan kualitas dan keberanian seorang
pemimpin dalam bertindak dan mengambil resiko dengan visi sebagai panglimanya.
Sepanjang usia saya hidup di republik ini, tidak banyak pemimpin yang layak
mendapatkan apresiasi karena keberaniannya bersikap dan bertindak. JK adalah
satu diantara sedikit pemimpin itu.
Maka, ketika ada
persoalan berlarut-larut yang melibatkan dua reptil di republik ini atau kasus
sengkarut Bank Century, saya teringat Kalla yang berani blasak-blusuk di pagi
buta ke pedalaman Aceh, masuk ke jantung konflik ketika itu, hanya supaya bisa
ikut shalat subuh berjamaah bersama para tengku pemimpin lapangan GAM dalam
upayanya mendapatkan kepercayaan mereka terhadap proses perundingan yang sedang
berjalan di Helsinki. Sebuah keberanian yang beresiko tinggi tetapi untuk
sebuah tujuan yang jelas. Saya tidak yakin pemimpin sebelum dan sesudahnya
berani menanggung resiko semacam itu untuk kasus yang lain.
Ketika listrik
napasnya senin-kemis di republik ini, saya teringat JK yang ngotot dengan
solusi listrik 10.000 Megawatt-nya. JK yang dengan berani bersitegang dengan
beberapa pejabat negara lain yang hanya mau bermain di area-area yang aman
saja.
Ketika di
saat-saat kritis hari-hari ini, dimana rakyat membutuhkan ketegasan dan komitmen
penegakan hukum dari pemimpinnya, saya teringat Kalla yang men-skak mati
seorang ibu pengusaha muda dari Bandung yang mempertanyakan komitmen Kalla
(ketika itu sebagai seorang calon Presiden dalam Pemilu) terhadap pengembangan
produk dalam negeri. Kalla ketika itu dengan entengnya mencopot sepatunya dan
mempertontonkannya kepada publik bahwa sepatu itu asli buatan lokal. Sementara
ketika sang ibu ditanya balik apakah tas-nya buatan dalam negeri, sang ibu
–yang ternyata menenteng tas branded buatan
luar negeri --gelagapan seperti menutupi aib ketangkep hansip.
Demikianlah
Kalla. Sebagai pemimpin pastinya dia tidak sempurna. Tapi dia sudah menunjukan
kepada kita sebuah ajian penting yang wajib
‘ain dimiliki seorang pemimpin; kesigapan
dan keberanian mengambil tindakan, termasuk menanggung resiko apapun yang
mengiringi tindakan itu.
Resiko –terutama
yang buruk—itu yang banyak orang
takutkan. Resiko memang harus dikalkulasi dan di manage sedemikian rupa sehingga kalaupun ada kerugian bisa ditekan
sekecil mungkin. Tetapi jangan terlalu
runyam dan kelamaan mengkalkulasi resiko, karena kesempatan tidak bisa
menunggu.
Dalam dunia
bisnis, kalkulasi resiko vis a vis keberanian dan kesigapan adalah menu mainan
sehari-hari para eksekutif yang ganjarannya akan langsung keliatan dalam performance usaha mereka nantinya.
Merupakan seni tersendiri untuk menggabungkan campuran diantara elemen-elemen
itu. Biasanya, yang resikonya lebih tinggi hasilnya juga akan lebih kinclong (high risk high return).
JK dibesarkan
dalam lingkungan seperti itu. Latar belakangnya yang saudagar membuatnya mesra
dengan hitung menghitung resiko & peluang. Bukan soal besar bagi Kalla
untuk mengorbankan bahkan popularitasnya, kalau dia juga melihat ada manfaat
besar yang akan didapat di kemudian hari. Soal pembangunan pembangkit listrik
10.000 Megawatt adalah salah satu contohnya.
Tidak perlu
rapat berpuluh-puluh jam (apalagi di hari libur), untuk mengetahui bahwa kasus
Century adalah perampokan terang-terangan terhadap negara sekaligus tak perlu
dewan penasehat untuk memerintahkan penangkapan pimpinan Bank Century saat itu
juga. Bahwa kemudian ceritanya menjadi
lain, tentu itu hal yang berbeda.
Intinya, dengan
persoalan maha kompleks yang menjangkiti bangsa ini, Indonesia jelas butuh dipimpin oleh
mereka yang berani. Berani bersikap, bertindak, berkotor tangan termasuk tidak
popular untuk sebuah cita-cita maha besar sebagaimana diamanatkan founding
fathers: keadilan dan kemakmuran bangsa.
“Be brave then the people will follow you” kata seorang guru. Pemimpin tanpa keberanian, seperti pisau
tumpul, sayur tak bergaram, tukang cukur tanpa gunting, atau mesin VVT-i tanpa
bahan bakar. Yang seperti itu, kata teman saya orang melayu; “enjin
bagus power ta’ ade…” (Wallahu
A’lam)
Bab 3
Suara Facebookers Suara Tuhan
Dan Gibran
Jika ada yang
mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, maka saat ini anda boleh mengganti
istilah itu dengan suara facebooker suara Tuhan. Bagaimana tidak? Suara
facebooker setidaknya dalam konteks kekinian dapat merepresentasikan suara
mayoritas rakyat yang selama ini diam. Atau sementara dianggap DIAM.
Sarana kristalisasi
suara rakyat seolah dapat diredusir hanya di bilik suara. Tiap lima tahunan
sekali. Tapi kini tidak lagi. Definisi Legitimasi dan bandul kekuasaan saat ini
harus dibongkar kembali, mengingat apresiasi masyarakat atas kebijakan
pemerintah tidak selalu seiring sejalan. Bahkan terkadang bertolak belakang.
Mencuatnya dukungan
pada kasus Chandra Bibit yang mendapat ganjaran pemenjaraan. Tiba-tiba dinilai
oleh masyarakat sebagai sandiwara hukum dan politik yang terasa mengasingkan
keadilan. Membuat masyarakat seolah berhadapan dengan lembaga-lembaga hukum,
bagaimana tidak, rakyat serta merta melihat upaya pembalikan logika, yang tiap
bagian episodenya memancing perdebatan dan sekaligus cibiran kepada aktor-aktor
utamanya yang adalah sekelompok petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan.
Salahkah ketika
akhirnya suara penolakan itu lantas muncul seketika. Bahkan hanya hitungan hari
saja menembus angka 100,000 bahkan hari ke-8 sejak diprakarsai oleh Usman
Yasin. Menembus angka 1 juta dukungan. Sejauh yang saya catat groups terbesar
memang mampu mencapai 3 juta lebih namun itupun perlu waktu yang teramat lama
untuk sampai ke angka 1 juta dukungan.
Mungkin ini semestinya
masuk rekor tersendiri. Sungguh fantastis jika dilihat angka pengguna facebook
yang baru 11 jutaan manusia indonesia yang menggunakannya. Dan itupun dengan
penetrasi internet di indonesia yang baru 30 jutaan manusia Indonesia yang
melek internet.
Suara Tuhan Lima Tahunan
Pemilu sebagaimana
kita tahu adalah perwujudan hak sekaligus kewajiban konstitusional. Pemilu sekaligus pesta rakyat, pesta yang
menempatkan rakyat sebagai penentu siapa-siapa saja yang akan dipilihnya
mewakili mereka di dewan perwakilan rakyat dari daerah hingga tingkat nasional.
Sekaligus memilih pemimpin rakyat untuk lima tahunan ke depan.
Namun apakah pemilu
adalah representasi suara rakyat. Apalagi ketika rakyat bicara keadilan,
kesejahteraan bagi mereka. Dengan sistem pemilu yang proporsional terbuka
sekalipun. Kemenangan pemilu tidak lantas berarti kemenangan rakyat. Kemenangan
pemilu adalah kerberhasilan pemolesan citra dan kemampuan meraup suara ataupun
juga dalam konteks tertentu bisa jadi kemampuan memanipulasi suara. Yang dalam
bahasa Adhie massardi. Suara hasil nyopet.
Sementara
keterwakilan mereka yang terpilihpun bisa jadi dipertanyakan ketika pemilu
dengan serangkaian prosedurnya masih terbuka peluang untuk melakukan curang dan
perekayasaan. Dan kebetulan sekali kita baru saja melalui Pemilu yang cukup
bukti untuk dikatakan sangat kurang baik pelaksanaannya. Baik prosedur dan
pelaksanaan teknis lainnya yang compang disana-sini.
Mulai dari problem,
DPT yang amburadul, kasus kertas suara yang salah cetak, sampai proses-proses
lanjutan penghitungan di PPS, KPPS, KPPK, rekapitulasi tingkat kabupaten/kota,
Rekapitulasi tingkat propinsi dan juga rekapitulasi tingkat nasional, bahkan
rekapitulasi IT yang semuanya turun derajat dari pemilu sebelumnya. Maka Pemilu
boleh jadi jauh dari merepresentasikan suara rakyat. Ia hanyalah
melegitimasikan suara konstitusi. Demikian juga proses-proses lanjutannya
Apakah menurut anda
suara Tuhan bergema lima tahunan sekali cukup merepresentasikan harapan rakyat yang sesungguhnya? Mengingat seringkali
ada gap, dan jurang pemisah yang membuat suara rakyat terpinggir ketika
penguasa justru mempergunakan suara rakyat, hanya sebatas pendorong mereka
melaju menempati kursi kekuasaan dan seterusnya.
Pada wilayah
itulah, seringkali terjadi gap dan jurang antara harapan rakyat dengan laju
kekuasaan. Sehingga tidak pelak rakyat membutuhkan saluran-saluran yang mampu
menjembatani untuk mengingatkan kembali penguasa atas janji-janji mereka ketika
mereka kampanye terdahulu.
Ketika orang
berduyun-duyun melakukan dukungan dengan menentukan pilihannya dibilik suara
tak lebih dari 5 menit, dengan bekal pemahaman yang sangat minimalis, dengan
kemampuan pemolesan citra dari kontestannya, dengan kemungkinan-kemungkinan adanya perekayasaan
dan kesalahan disana-sini. Apakah suara lima tahunan ini dapat dikatakan Suara
Rakyat sebagai Suara Tuhan? Apakah pemilu masih dapat dikatakan sebagai sarana
dan sekaligus ukuran yang mengukur suara tuhan?
Saluran Rakyat
Alternatif
Dalam konteks
demokrasi, saluran-saluran pengejawantahan kehendak besama rakyat tidak sekedar
hanya dapat diredusir dengan pemilu. Demokrasi bukan hanya sekedar
prosedur-prosedur politik transaksional antara rakyat dengan penguasa setiap
periode tertentu, melainkan juga proses interaksi berkesinambungan. Seringkali
kita lihat kehendak bersama juga tidak sejalan dengan pilihan politik
masyarakat.
Sehingga sangat
sah-sah saja ketika masyarakat mencari peluang untuk menyalurkan suara-suara
mereka melalui sarana lainnya yang mampu menyalurkan keinginan, harapan mereka.
Pada elan ini ketika facebook menyediakan ruangnya untuk membangun persemaian
kehendak bersama itu kedalam bentuk-bentuk dukungan atau penolakan tertentu.
Dan merupakan ruang kebebasan yang tak dapat di kontrol oleh siapapun kecuali
oleh moral hazard masyarakat bersama itu sendiri. Maka jangan salahkan jika
masyarakat menginginkan sesuatu yang lebih dari para pemangku amanah yang telah
mereka titipkan suaranya, melalui proses konvensional pemilu. Meski demikian
yang perlu di catat adalah rakyat bukanlah sekedar obyek semata. Tapi justru
merekalah subyek yang sebenarnya.
Ketika Pemilu
”kurang mampu” dijadikan sandaran sebagai dikarenakan keterbatasan waktu ruang
dan tempat secara sistemik. Maka bisa jadi facebook menjadi suara dan sarana alternatif
bagi mereka yang memang merasa berkepentingan atas suara mayoritas masyarakat.
Suara Rakyat
sekarang ini boleh jadi di representasikan dalam suara Facebooker. Inilah
keanehan sekaligus keunggulan teknologi infromasi yang mampu menjembatani gap. Suara-suara
yang kadang-kadang direduksi sebagai menang kalah. Atau barisan penguasa dan
barisan oposisi.
Setidaknya
kekuasaan yang di emban diberikan secara ”tidak gratis” oleh rakyat. Ada
harapan-harapan disana, ada sehingga
legitimasi sepatutnya di berikan tanda koma bukan sekedar titik yang tidak
perduli dengan kritik dan keinginan si empunya yang memberikan kuasa.
Memaknai Angka 1
Juta Dukungan
Dengan eskalasi
dukungan yang demikian cepatnya hingga tak perlu menghitung waktu yang tak
terlampau lama. Angka 1 juta dukungan itupun tercapai. Hingga tulisan ini di
release sudah mendekati angka 1,4 juta pendukung, kalau ditambah dengan groups
lainnya yang sejenis bahkan angka itu ternyata mencapai 2,7 juta pendukung.
Apa arti angka
tersebut yang tentu saja jauh dari 60,2 % pemilih Presiden SBY, pada pemilu
kemaren. Atau angka penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang. Dengan
litergi yang linear seperti itu tentu saja tidak ketemu. Namun bandingkan
dengan dukungan yang sama di media facebook untuk SBY yang hanya kurang dari
seratus ribu, atau penggemar Sandra Dewi yang mencapai 250 ribuan.
Tentu saja tidak
ingin juga mengatakan kalau Sandra Dewi vis a vis dengan SBY di pemilu maka
pemenangnya adalah Sandra Dewi. Namun, lebih dari itu Angka satu juta dukungan
yang bergulir demikian cepat dan dengan eskalasi yang terus membesar.
Sebenarnya merepresentasikan suara masyarakat yang tengah bergerak. Masyarakat
yang tengah gelisah, masyarakat yang marah dan menolak tipu daya.
Suguhan Sinetron
tak layak tayang itu seolah ingin dijejali kepada masyarakat. Seolah masyarakat
hanyalah Obyek dan bukan pelaku, atau subyek yang berperan untuk memberikan
tanggapannya. Pemenjaraan Chandra Bibit yang sungguh sebuah pembuktian paling
tak terbantah bahwa, sistem hukum kita berjalan tidak beriring dengan elan
keadilan.
Rakyat melihat
ketelanjangan ini dengan tatapan ironi. Seolah mereka dinafikan dan
ketidakberdayaan mereka serasa dimanfaatkan untuk menempatkan mereka sebagai
penonton-penonton kebijakan yang tak perlu berurusan dengan ”ikut-ikutan”
Menentukan. Kita dan semua warga negara cukup dipinggir lapangan saja.
Tembusnya angka 1
juta dukungan, adalah kristalisasi dari bergaungnya suara rakyat. Yang ingin
sama-sama turut serta ambil bagian. Perasaan terlukai dan terlecehkan,
mengkristal menjadi tekanan bagi rakyat untuk ”berbuat” sesuatu. Maka ketika
Usman Yasin menginisiasi Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan
Bibit Samad Riyanto. Seolah rakyat memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan
dan bahkan melakukan action yang serupa untuk mengatakan penolakannya atas
kriminalisasi yang diperlakukan kepada kedua petinggi KPK itu.
Tidak mudah
menjaring dukungan hingga tembus 1 Juta. Bahkan anda boleh coba sendiri.
Alih-alih menuai dukungan boleh jadi malah menuai cercaan. Seperti halnya
dengan Groups yang mendukung Polri untuk memproses kedua Petinggi KPK itu ke
Meja hijau. Yang jumlah pendukungnya baru puluhan tapi ternyata yang masuk ke
groups lebih banyak yang mencerca.
Dalam konteks
kekinian ditambah lagi dengan makin berkembangnya teknologi informasi yang
tidak saja mengubah struktur masyarakat. Melainkan juga mampu mengobrak-abrik
susunan dan struktur pilar kekuasaan.
Ketika informasi
makin tidak terbendung. Maka ketika itu pula seluruh proses-proses dinamika
masyarakat makin transparan, tidak terkecuali juga proses pengambilan kebijakan
dan proses lanjutannya. Termasuk juga penegakan hukum, peradilan dan
proses-prosesnya. Semua dapat dilihat dengan jelas. Dan pada satu titik
tertentu masyarakat dapat menyimpulkan sendiri.
Dulu proses hukum
dan pengambilan kebijakan yang tidak transparan hanya melahirkan desas-desus
dan kabar-kabar yang seringkali kabur dan menyesatkan masyarakat. Informasi
saat ini menjelma menjadi urat nadi dan sel-sel Kebenaran. Bentangan informasi
yang dapat dilalui muatan apapun saat ini tentu saja berfungsi untuk menjaga
ketersediaan obyektifitas publik.
Memahami suara
Rakyat bukan sekedar memahami coblosan suara di TPS yang itupun mungkin
setidaknya lima tahunan sekali, suara rakyat bukanlah deposito yang periode
cairnya 5 tahun sekali atau hanya berada di bilik coblosan suara belaka. Tapi
saatnya suara rakyat menjelma menjadi penentu. Yang bisa dicairkan kapanpun
juga untuk setiap kali itu juga didengar dan dilaksanakan oleh mereka yang
memiliki kekuasaan
Bayangkan angka
satu juta dalam satu minggu dukungan para faceboker. Apa artinya? Angka satu juta dalam waktu sekejap ini adalah Kristalisasi
dari gelombang serta animo masyarakat pendukung yang dapat dikalkulasikan. Jika
di banding dengan proporsi penduduk Indonesia yang 10 juta orang mungkin bari
0,5 saja namun proporsi pengguna Internet di Indonesia ini yang baru menapai
20-30 jutaan orang. Ditambah dengan kecepatan dukungan yang membesar dalam
waktu yang relatif singkat. Ini harus dibaca sebagai sebuah opini publik yang
sedang membombardir dengan tatapn ironi yang menjelma menjadi tatapan yang
marah kepada penguasa. Terutama mereka yang penyelenggara tugas
Ini adalah
kejahatan yang luar biasa karena menautkan sebuah logika paling mendasar yakni.
Kejahatan ini dilakukan oleh mereka yang justru seharusnya menjadi pencegah
atau bahkan juga pemberantas kejahatan.
Bagaimana tidak
luar biasanya kalau ternyata facebooker mampu memaksa SBY untuk segera
bertindak. Angka satu juta dukungan ini adalah perspektif publik yang
tersingung. Yang marah dan meminta eksekutif tertinggi negeri ini bertindak.
Dan tidak boleh dibiarkan tanpa menimbulkan konsekwensi.
Dan akhirnya
terbukti TPF adalah jawaban paling jujur dari presiden SBY untuk menjawab
tuntutan masyarakat dan terutama juga suara mereka yang terhimpun dalam
facebook. Bagaimana tidak Langkah dan manuver politik SBY ini akan mengundang
resiko sekaligus tanggapan masyarakat bahwa Presiden sudah tidak mempercayai
institusi Polri dan Kejaksaan. Sehingga TPF sebagai kanal sebuat oleh SBY
Suara Rakyat adalah suara Tuhan. Dalam konteks kekinian,
sah-sah saja menggunakan adagium itu, khususnya di gelanggang politik, walaupun
banyak pertanyaan menyangkut hal ini. Misalnya, kalau memang suara rakyat
adalah suara Tuhan, apakah Tuhan ikut bersalah karena rakyat telah membiarkan
Soeharto menjadi presiden selama tiga dasawarsa? Dan, apakah Tuhan
ikut pula bersama rakyat saat Soeharto ditumbangkan?
Contoh lainnya, dalam sebuah pemilihan kepala desa, ketika seorang calon terpilih karena membagi-bagi uang pada penduduk, apakah Tuhan juga bisa disuap? Ketika kepala desa tersebut melakukan korupsi, apakah Tuhan bisa dipersalahkan? Tapi, biarlah itu menjadi polemik di kalangan politisi, karena tulisan ini lebih kepada penggunaan adagium tersebut dalam konteks ilmu hukum.
Dari semua suara-suara dan
komentar-komentar yang kian bergemuruh dari facebooker, penulis menyimpulkan
bahwa rakyat sudah berteriak sangat gaduh : HENTIKAN SANDIWARA YANG TAK LAYAK
TAYANG INI!!!
***
Ketika
Satu Bangsa Berkomplot
Dan Gibran
Ketika satu juta orang berkomplot
meneriakan keadilan, ketika satu juta suara bahkan lebih dan lebih membabi buta
mencerca, menistakan bahkan mencerca ketidakadilan yang sengaja di perlihatkan
kepada mereka. Pantaskah mereka kita sebut berkomplot? Rasanya ada yang
salah dalam benak kita. Bahwa bagaimana mungkin suara tersebut digambarkan
sebagai orang-orang yang berkomplot.
Demikian juga dengan segelintir
manusia ditubuh kepolisian, atau ditubuh kejaksaan yang kemudian tertangkap
basah secara rekam oleh penyadapan saat mereka tengah melakukan perencanaan,
pemufakatan jahat, pengaturan siasat dan skenario yang kemudian membalikan
logika hukum dan terlebih logika keadilan yang teramat telanjang tersebut
mereka boleh disebut pihak yang benar?
Ketika semua orang berbisik-bisik,
kemudian suara bisik-bisik tadi mulai bergemuruh bahkan ketika kumpulan suara
bisikan-bisikan tadi dilakukan secara serempak dan pada gilirannya semakin tak
lagi sunyi bahkan sekalipun berbisik kumpulan suara tadi menjadi hangar-bingar
yang sangat mengganggu dan memusingkan. Bahkan teramat memekaan telingga
terutama sekali mengusik mereka yang menjadi subyek dari bisik-bisik tadi.
Apakah masih kita sebut sebagai bisikan-bisikan?
Ini mungkin terjadi ketika sebuah
kondisi telah memperlihatkan kehadirat khalayak bahwa publik yang lugu dan
teramat polos itu melihat bahwa ada keganjilan. Dan keganjilan tersebut di
perlihatkan dan di pertontonkan kepada mereka secara berulang kemunafikan
dengan mempermainkan keadilan. Seolah para petinggi tersebut hidup di ruang
vakum yang tidak ada yang melihat sama sekali.
Yang jadi pertanyaan adalah salahkah
ketika akhirnya suara-suara tersebut membahana kesegala sudut ruang,
jalan-jalan dan gang serta selokan-selokan seolah terisi oleh obrolan dan
bisikan-bisikan. Ketika itu terjadi anda masih menyalahkan bahwa rakyat
berkomplot memperbincangkan ketidakadilan yang dipertontonkan secara sangat
sengaja.
Kerumunan Facebooker
Facebooker jelas bukan jenis
komplotan, karena sejatinya ia kumpulan berkerumunnya orang perorangan dalam
lintasan jejaring sosial dunia maya. Mengutip Le Bon yang menulis dalam buku The Crowd: A study
of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985). Le Bon berpendapat bahwa
dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang
berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna
sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan
kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan
terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological
crowd).
Giddens mendefinisikan kerumunan
adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi
satu dengan yang lain di tempat umum. Faacebook adalah arena percakapan itu.
Ruang dan fasilitas umum yang menghubungkan dengan banyak manusia lainnya. Dan
sekaligus tempat berkumpulnya manusia itu. Meski relatif tidak secara fisik.
Namun setidaknya facebook
Menurut Le Bon, faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu: 1.Anonimitas. Karena faktor
kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat
mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk
tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan
menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab.
Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula
kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis
rasa individualitas para anggota kerumunan itu.
2. Contagion (penularan). Facebook sendiri adalah gejala sosial yang semakin menular pada subsistem cultur masyarakat terutama kelas menengah dan lintas kelas serta usia. Sehingga dimungkinkan dukungan atas Chandra Hamzah dan Bibit ini menular ke banyak pelaku-pelaku lainnya. 3.Konvergensi (keterpaduan). Hiruk pikuknya perseteruan Cicak Versus Buaya semakin mempertebal keyakinan publik untuk membela pihak yang dizalimi. Dan terakhir adalah 4. Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Ketika seorang supir bertanya pada tuannya Bapak sudah ikutan dukungan difacebook belom pak. Soal kasus Bibit Chandra?. Sadar atau tidak si supir yang sudah masuk ke jejaring sosial tadi justru menimbulkan efek mempengaruhi.
Facebooker Melawan Kebohongan Yang
Kasat Mata
Diruang facebook ini dengan berbagai
groups dan forum diskusi yang berada didalamnya. Adalah ruang ”percakapan”
dimana kita tengah berinteraksi satu dan lainnya. Dan setidaknya intensi yang
relatif tidak kecil untuk mengumpulkan suara-suara tadi.
Ketika rakyat yang tengah berkomplot
itu memperbincangkan anda menimbang ulang bahwa tahta yang di kuasakan pada
pengemban amanah tak mampu menjawab keadilan maka bukan tidak mungkin
suara-suara itu akan membising dan bergabung dalam riuh rendah kebisingan
lainnya.
Lalu kita bersatu dalam suara-suara
untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bersatu menyatakan penolakaannya. Dan
ternyata kita sedang berkomplot. Dan alamat tuduhan itu kemudian meluncur pada
kita yang tengah Memang dunia dibalik. Apasalahnya menyatakan penolakan apa
salahnya mempersoalkan korupsi dan geliat makelar kasus yang sangat gamblang,
nyata dan kasat mata justru dilihat oleh publik.
Justru sebaliknya kita tidak melihat
mereka yang seharusnya melakukan dan memerangi persoalan ini bergeliat untuk
melakukan upaya yang sama justru tidak kelihatan, invisible, Tidak kasat, tidak
kongkrit dan lambat melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan publik.
Seorang sosiolog dan penegak hukum
bernama Lohman (1957) mengkalsifikasikan kerumunan menjadi empat (4) jenis,
yaitu kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional
(convensional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd), dan kerumunan
bertindak (acting crowd).
Awalnya ketika tercetus dukungan pada
Prita kita lantas lupa setelah kemudian Prita mendapatkan penangguhan
penahanan, dari sekedar kerumunan sambil lalu (casual crowd) massa pendukung
mulai mengintensifkan menjadi kerumunan ekpresif ketika mereka mengkristalkan
dukungan-dukungannya juga bagaiamana masyarakat tak kenal Prita secara langsung
tadi.
Inilah yang menjelaskan kemudian
sekumpulan ibu-ibu di depok dan jati padang kemudian tergerak untuk
mengumpulkan uang receh. Dan kemudian diberikan label gerakan oleh media
sebagai Koin Untuk Prita. Tidak saja itu tapi juga masyarakat yang sudah
menyatakan berekpresi tadi juga melakukan tindakan (acting crowd)
Meski demikian kita sadari bahwa kerumunanpun memiliki nilai yang relatif meski bernuansa kesementaraan. Namun demikian komplotan mereka yang berada difacebook yang menyatakan keinginannya untuk melakukan action juga didorong oleh nilai-nilai tadi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bahkan bukan tidak mungkin kerumunan
tadi pada titik ideologis yang sama akan mampu melakukan aksi. Mereka beraksi
ketika ruang-ruang yang mereka dorong dan harapkan melalui saluran-saluran
sosial dan legitimasi kekuasaan konvensional tak lagi memberikan jawaban.
Bahkan cenderung diam atau malah melawan arus. Maka tunggu saja kerumunan yang
berkomplot di facebook itu tumpah ruah di satu tempat untuk kemudian bukan lagi
sekedar berekpresi melainkan juga bertindak.
***
People Power 2.0
Sejarah
telah bertutur: jangan main-main dengan massa
yang berkerumun. Penguasa sekuat apa pun bisa ambrol bila melawan massa seperti itu. Gerakan
people power di
Filipina telah menghancurkan rezim Ferdinand Marcos. Gelombang unjuk rasa
mahasiswa pada 1998 juga telah melengserkan Soeharto.
Itu
dulu, Bung. Untuk menumbangkan penguasa, orang perlu berkumpul di satu tempat.
Mereka berunjuk rasa bersama-sama meniru demo ala Lech Walesa atau Tragedi
Tiananmen. Lalu menggabungkan energi kemarahan sehingga menghasilkan tuntutan
yang meledak-ledak.
Sekarang
orang tak perlu berkerumun di satu tempat untuk menggerakkan people power. Ini
zaman web 2.0 (meminjam definisi Tim Tim
O’Reilly) , Bung, era orang bisa menyuarakan pendapatnya dengan
lantang . Facebook dan Twitter jauh merasuk ke relung-relung kantor, kampus,
juga tempat-tempat nongkrong. Cukup teriakkan kepedihan bersama di Facebook,
“jemaah fesbukiyah” akan mendukungnya spontan. Lihat saja gerakan mendukung dua
pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra
M.
Hamzah.
Hanya dalam hitungan hari, sekarang sudah terkumpul “kerumunan” yang terdiri
atas lebih darisejuta pendukung. Mereka sangat lantang dan juga galak. Gerakan
mengenakan pita hitam atau baju hitam sebagai bentuk keprihatinan terhadap
matinya keadilan hukum dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan polisi serta
kejaksaan sebagai contohnya. Dalam sekejap, gerakan mengenakan pita hitam
menyebar ke mana-mana.
Padahal,
dalam gerakan ini, tak ada yang disebut superinfluential
people, seperti teori Malcolm Gladwell dalam bukunya, The Tipping Point. Dulu
setiap perubahan selalu membutuhkan “orang berpengaruh”. Polandia butuh Lech
Walesa. Gerakan reformasi 1998 di Indonesia butuh orang-orang seperti Amien
Rais, Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengku Buwono, juga para orator
mahasiswa, yang kini sudah duduk manis di kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Merek
Hush Puppies, seperti kata Galdwell, pun butuh orang berpengaruh. Merek yang
hampir mati itu tiba-tiba melejit–penjualannya terbukukan 5.000 persen–lantaran
orang-orang penting tiba-tiba memakai sepatu Hush Puppies.
People
power melawan ketidakadilan terhadap Bibit dan Chandra tidak membutuhkan
superinfluential people. Mereka tak butuh koordinator lapangan atau orang-orang
yang mencari donasi untuk membeli nasi bungkus. Saat orang merasakan “kepedihan
yang sama”, orang pun berkerumun di Facebook dan Twitter serta situs jejaring
sosial lainnya. Tak peduli siapa yang meneriakkannya. Siapa yang kenal dengan
pembuat “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad
Rianto”, yakni Usman Yasin? Mungkin 99 persen pendukung gerakan ini dipastikan
tak mengenalnya.
Dulu
betapa repotnya mengumpulkan sejuta orang. Kini bisa terkumpul dengan beberapa
klik komputer. Inilah People Power 2.0. Di Indonesia, setidaknya sudah dua kali
people power model ini lahir dan menekan dengan kuat orang-orang yang berkuasa.
Yang pertama, saat Prita Mulyasari, penulis e-mail yang dipenjarakan Rumah
Sakit Omni Serpong. Yang kedua adalah gerakan dukungan terhadap KPK dan membuat
Presiden Yudhoyono tergopoh-gopoh memanggil tokoh penting, membentuk Tim
Pencari Fakta.
Kepolisian,
kejaksaan–atau Presiden sekalipun–boleh menganggap remeh gerakan ini. Mereka
mungkin akan bilang, “Ah, itu kan cuma di
Facebook” atau “Ah, itu kan
bukan gerakan kaum elite, bukan gerakan rakyat”. Tapi keadaan bisa berbalik.
Perubahan memang selalu dipelopori dari kalangan kelas menengah, baru kemudian
menetes ke masyarakat kelas bawah atau atas. Sekarang sudah terbukti,
sejuta facebooker bisa menggoyang Yudhoyono, yang meraih dukungan dari 41
juta orang pada Pemilu 2009.
Bila
masyarakat marah, People Power 2.0 akan terus bergulir, membesar bak bola
salju. Seperti kata Mahfud Md. , Ketua Mahkamah Konstitusi. “Kalau
pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri.”
Burhan
Sholihin : blog tempo interaktif
***
Munculnya Aktivis-aktivis Online
Dan Gibran
PRITA MULYASARI BUKAN TERORIS, IA
TIDAK PERNAH MELEDAKKAN RESTORAN ATAU MENGANCAM DAN MENGEBOM HOTEL, IA BUKAN
KORUPTOR YANG MENILEP UANG RAKYAT, IA BUKAN PENJAHAT YG MEMBUNUH ORANG, BUKAN
PULA PERAMPOK KELAS KAKAP YG KELUAR MASUK PENJARA demikian komentar dari salah seorang
facebooker.
Prita, 32 tahun, hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih balita. Yang berkeluh kesah suatu ketika, dia merasa diperlakukan tak layak oleh Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Lalu mengirim keluhan lewat email kepada beberapa temannya. Tapi, gara-gara email itulah, ia kemudian digugat oleh Rumah Sakit Omni. Ia dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu. Prita kalah di persidangan perdata. Naik banding. Ia juga menghadapi persidangan pidana dan dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni
Internasional dengan terdakwa Prita Mulyasari telah dihentikan dalam putusan sela oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, putusan sela itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banten. Dengan pembatalan putusan sela itu, dengan demikian sidang kasus pencemaran nama baik dengan dengan terdakwa Prita Mulyasari bakal dilanjutkan kembali. Putusan Pengadilan Tinggi Banten terjadi atas atas banding yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyadi dan Rahmawati Utami.
Tiba-tiba muncul kasus nenek minah
yang mencuri 3 Buah Kakao, Kemudian ada lagi Pak Basyar yang harus menjalani
hukuman karena di tuduh tetangganya mencuri semangka. Dan dari semua kasus itu
secara kebetulan serempak dilakukan pembelaan oleh masyarakat Online. Apa
lacur? Semua kasus itu mengindikasikan secara sangat nyata bahwa keadilan hanya
milik mereka yang berkuasa, yang dekat dengan kekuasaan, sedangkan hukum begitu
mudah diterapkan pada ”wong cilik”.
Sehingga tidak aneh ketika masyarakat
merasakan perasaan yang sama, secara common
sense kita merasakan keadilan memang tidak berpihak pada yang lemah. Dan
ketika itu menjadi musuh bersama –common enemy. Maka saluran apapun menjadi
begitu sesak untuk sekedar menyuarakan perlawanan.
Koin Prita yakni gerakan pengumpulan
dana untuk Prita Mulyasari adalah bentuk persaudaraan bersama common feeling yang terus menggurita bak
air bah. Yang justru jauh melampaui jumlah dari seharusnya dibayarkan Prita
adalah sebuah suara-suara rintihan yang selama ini memang tidak mendapatkan
tempatnya.
Dulu seingat saya, ketika tahun1998
gaung para milist (penggiat) email. Sedikit banyak membantu mendistribusikan
atau sedikitnya mengkompori Mahasiswa dan masyarakat yang memperjuangkan
reformasi. Kontribusi mereka adalah membocorkan ”rahasia negara”. Yakni korupsi
pejabat beserta Anak dan kerabat-kerabatnya. Sehingga masyarakat muak dan
sekaligus murka.
Kini jauh lebih ”beringas” bukti
paling artifisial yang tak dapat dibantah adalah satu juta dukungan untuk Bibit
dan Chandra saja sudah dapat mewakili sebuah opini publik yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat jelas bukan lagi sekedar obyek-obyek
pernyerta atau menjadi penonton di pinggir lapangan lagi. Melainkan mereka
adalah subyek yang sebenarnya.
Para Blogger, yakni sebuah definisi
untuk sebuah aktivtas penggiat blogs, yang muasalnya adalah dinding tempat
curahan hati para netter. Yang pada gilirannya penyuaraan pembelaan, Para
Facebooker, definisi juga bukan hanya sekedar mereka yag memiliki account di
facebook melainkan juga masuk pada ranah aktivism.
Yakni mereka yang menggiat suara keperdulian melalui channel facebook. Dan
mungkin juga para Twit-twiter dan banyak lagi sarana penggaungan notasi rasa
keadilan, keperdulian dan kancah pembelaan yang tak lagi sekedar basa-basi.
Para twitterpun kini bukan lagi
sekumpulan orang yang saling menggosipkan persoalan remeh-temen seputar
kegiatan orang-orang di lintasan hidupnya. Kini muncul apresiasi-apresiasi yang
tak sedikit mengundang berbagai isu yang jauh lebih strategis. Mulai dari prita
bahkan sampai kasus yang menimpa Luna maya.
Dah bahkan implikasi sosial dan budaya
bagi kehadiran aktivis-aktivis online ini sangat demikian menggemparkan. Boleh
jadi inilah era dimana masyarakat menjadi penentu. Orang-perorangan kini makin
diperhitungkan. Seiring dengan mewabahnya facebook, twitter, blogs dan mungkin
akan banyak lagi bermunculan situs pertemanan yang memberikan ruang yang sama
bagi tempat berkumpulnya manusia-manusia waras pemrakarsa keadilan.
Pejuang-pejuang online, relawan-relawan digital yang sediakala memantau
pojok-pojok demokrasi di negeri para bedebah seperti kata Adhie Massardi.
***
Menggertak Istana Dari Kamar Kos
Pewawancara
: TEMPO
Kerap
diteror, bahkan ia pernah hendak dibunuh, diancam dengan golok.
Siapa
menyangka revolusi itu dimulai dari sebuah kamar kos. Di sebuah sore yang
kering, Usman Yasin, dari kamar kosnya, 500 meter dari kampus Institut
Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor ,
menggerakkan perlawanan yang sampai menggetarkan Istana Negara.
Tak
banyak orang mengenal Usman. Dia cuma mahasiswa biasa. Umurnya 44 tahun.
Kandidat doktor itu hanyalah dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Tipi
sore itu, 19 Oktober 2009, rasa kecewanya terhadap penahanan dua Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sudah
di ubun-ubun. Maka ia pun meneriakkan kegelisahannya dengan membuat halaman
dukungan untuk Bibit dan Chandra di Face-book. Dengan laptopnya, dia membuat
halaman "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah Bibit Samad
Riyanto".Perlawanan dari kamar kos itu temyata menciutkan Istana Negara.
Lebih dari sejuta pengguna Facebook ikut mengecam penahanan tersebut. Artis,
politikus, serta ribuan orang turun ke jalan ikut berunjuk rasa. Semuanya
terinspirasi oleh sebuah halaman fan di Facebook yang berjudul "Gerakan
1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah Bibit Samad Riyanto".
Padahal
"pemberontakan" alumnus Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB tahun
1990 itu terbilang kalem. Di halaman Facebook dia menuliskan kecaman yang
santun "Sebagai anak bangsa, kami mencintai KPK. Untuk itu mari kita dukung
Chandra dan Bibit dalam grup ini. Kita namakan Gerakan Satu Juta Facebookers
Dukung Chandra dan Bibit.""Terlepas dari apakah mereka bersalah atau
tidak, kami yang berada di luar sistem merasa terganggu oleh kejadian yang
menimpa Pak Bibit dan Mas Chandra," \ ujar Usman kepada Tempo, Jumat pekan
lalu di taman kampus FPB Darmaga, Bogor .
Perlawanan
kecil-kecilan itu dia mulai dengan mengundang 500 temannya di Facebook.
"Sebagian besar dari mereka memberikan dukungan, bahkan langsung menelepon
saya memberi semangat agar tetap terus berjuang. Saya juga masuk ke beberapa
grup agar bisa mengajak anggotanya mendukung Bibit-Chandra," ujar Usman,
yang pernah delapan tahun mengajar di Fakultas Pettanian Universitas
Muhammadiyah Malang sebelum pulang kampung ke BengkuluTak disangka, kelompok
perlawanan ini bak disambut luar biasa, dari dalam negeri dan orang Indonesia
luar negeri. Malam itu 50 ribu orang mendaftar ke grupnya. Esok harinya, jumlah
anggota grup ini makin bertambah hingga 100 ribu lebih.
Dukungan
yang terus bergulir bak bola salju itu sempat membuatnya banyak menerima
telepon teror. "Hati-hati, Bang," begitu Isnaini, istri Usman, yang
menjadi lurah di Kota Bengkulu, menasihatinya. Beberapa teman juga mengingatkan
Usman agar tidak mencantumkan data pribadi dan keluarga, untuk menghindari
adanya kemungkinan teror.Bagi Usman, teror adalah "santapannya" dulu
saat di Bengkulu. Dulu dia pernah diteror akan dibunuh, diancam pakai golok.
Itu terjadi saat ia menjadi aktivis, antara lain Ketua Yayasan Lembak Bengkulu-LSM
yang mengkritik kasus korupsi di pemerintah daerah Bengkulu.
Komentar-komentar
di dinding grup Facebook-nya mulai beragam. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Bahkan
pihak yang dianggap "lawan" sempat mengkritik soal pengetahuan dan
data yang dia miliki soal Bibit dan Chandra. Usman tetap bertahan dari serangan
berbagai pertanyaan. "Saya katakan kepada mereka bahwa sesungguhnya
kelahiran KPK karena ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan memberantas
korupsi di Indonesia ,"
ujar pria kelahiran Bengkulu, 22 Oktober 1965, ini.
Dukungan
pengguna Facebook terus menggelinding walaupun pada 3 November lalu
Bibit-Chandra dibebaskan dari tahanan. Setiap hari, puluhan ribu orang
bergabung, dah pelajar, mahasiswa, sampai aktivis lembaga swadaya masyarakat,
organisasi masyarakat, dan partai. Bahkan dukungan dari anggota kepolisian dan
keluarganya juga mengalir. "Saya tidak menyangka ter-nyata banyak anggota
Polri di berbagai daerah mendorong saya agar terus berjuang untuk mereformasi
Polri dan Kejaksaan Agung," ujar ayah tiga anak ini.Dukungan semakin
membanjir saat Komisi HI Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Kepala Polri
Bambang Hendarso Damiri dan pejabat Polri lainnya. Mereka memberikan penjelasan
soal dugaan kriminalisasi pimpinan KPK dengan menjadikan Bibit-Chandra
tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan menerima suap.
Acara
yang menurut Usman "melukai hatiTakyat" itu membuat jumlah pendukung
grup ini tercatat 200 ribu. Puncaknya ketika 1,5 juta orang bergabung.Gara-gara
membeludaknya dukungan, Usman harus menambah jam berinternet. Sebelumnya, ia
membuka Facebook dua jam sehari, dan kini ia harus meluangkan waktu tiga sampai
enam jam sehari. Dia tak ingin mengecewakan 1,5 juta pengguna Facebook yang
mendukungnya. Dia melayani chatting, tulisan ke kotak pesan atau dinding akun
Facebook-nya, surat
elektronik, pesan pendek, bahkan telepon.
Untuk
itu, Usman sering mengakses Internet di mana saja setiap ada kesempatan, baik
menggunakan laptop maupun melalui telepon seluler. Biaya langganan Internet hanya
Rp 110 ribu per bulan ditambah pulsa yang tidak terasa digunakan sekitar Rp 200
ribu.Dengan 1,5 juta pendukung, Usman sempat kewalahan. Tak kurang akal, ia
mengajak teman-temannya, bahkan yang pernah jadi mahasiswanya, memantau dan
menghapus komentar yang kurang pas, foto-foto dan video yang berbau rasis,
fitnah, SARA, pornografi, serta iklan.
Puncak
kebahagiaan, diakui Usman, diperoleh saat keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan, yang
mencabut status tersangka Bibit-Chandra, dan setelah itu secara resmi keduanya
kembali berkantor di KPK. Ia kemudian diundang bertemu dengan Chandra dan
Bibit. Ia diundang memberikan sambutan pada peluncuran buku Bibit, Corruptor Go
to Hell, pada 16 Desember lalu."Ketidakadilan bisa mendorong orang untuk bekerja
sama dalam sebuah aksi bersama," katanya. "Dan gelombang itu telah
menggetarkan tembok-tembok kekuasaan, bahkan mampu menggetarkan istana."
***
Facebook, Micro Blogging :
People Power Gaya Baru
Kondisi saat ini, tidaklah jauh berbeda dengan
kondisi zaman orde baru, dimana para politisi, dan pemerintah serta pejabat
Negara, selalu berkoar-koar seakan tidak ada yang salah dengan negeri ini,
semua sepertinya berjalan sesuai dengan konstitusi, perundang-undangan serta
peraturan hukum yang berlaku. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah
sebaliknya, semua yang konstitusional itu merupakan sebuah kamuflase untuk
tetap mendapatkan legitimasi dari rakyat, padahal langkah konstitusional itu
merupakan cara untuk menutup kasus yang sebenarnya terjadi dengan rekayasa-rekayasa
yang dapat diterima oleh akal, serta pengkondisian bukti-bukti untuk
memenangkan dalih didepan hukum.
Rakyat merasakan ketidak adilan, tetapi tidak
memiliki kuasa untuk membuktikan.
Rakyat mencium bau bangkai, tetapi jasad
bangkai tetap disembunyikan, dibalik seragam-seragam petugas dan pejabat
Negara, yang berusaha mencari pembenaran dari sikap dan tindakan yang diambil.
Keterbukaan yang dikondisikan oleh kemajuan
teknologi informasi dan Internet yang sudah menjadi lifestyle di seluruh dunia,
ternyata tidak dapat dibendung, dan belum disadari benar oleh seluruh petinggi
negeri. Bahkan orang sekaliber Amin Rais, yang katanya tokoh reformasi pada
tahun 1998, tidak menyadari bahwa people power itu sudah bergerak. People power melalui media internet seperti
facebook, website, blog dan milist memiliki pengaruh yang sangat luar biasa,
tidak hanya mencakup bangsa ini saja, tetapi bisa mempengaruhi seluruh penjuru
dunia. Dengan kecanggihan, tulisan dalam sebuah blog yang ditulis dalam bahasa
Indonesia, dapat disimak oleh orang asing dengan menggunakan aplikasi
translator, walaupun masih belum sempurna, tetapi tetap saja dapat menyampaikan
informasi dan opini keseluruh dunia.
People power yang dilakukan melalui media
internet lebih dashyat dibandingkan demo-demo yang dilakukan ke istana dan
gedung DPR, karena yang melakukannya adalah kelompok yang memiliki status
sosial, ekonomi serta pendidikan yang mumpuni untuk melakukan gerakan. Semakin
banyak banyak kelompok ini berpartisipasi dalam perjuangan aspirasi ini,
semakin besar desakan kepada pemerintah untuk mengambil keputusan yang tepat.
walaupun begitu fungsi demonstrasi secara fisik masih tetap diperlukan didalam
perjuangan menyampaikan aspirasi rakyat, sebagai sebuah bukti bahwa perjuangan
didunia internet merupakan sebuah aspirasi nyata, tidak hanya anonym atau tidak
jelas identitasnya.
Walaupun masih perlu dilakukan penelitian,
identitas yang ada di Facebook merupakan identitas yang benar. Justru itulah
sebuah kemajuan facebook sebagai sebuah social media, walaupun tidak seratus
persen, minimal 85 % dari identitas yang ada difacebook, merupakan identas ril.
Mungkin inilah yang tidak disadari oleh kelompok yang berpihak kepada
kepolisian kejaksaan, bahkan sempat keluar sebuah statement yang menyatakan bahwa
mereka akan mendapat dukung seribu juta dari facebooker. Tentu saja pendapat
ini dikeluarkan didasari pendapat, bahwa identitas facebooker itu merupakan
sebuah kepalsuan.
Mereka berpikir, dengan seonggok uang, untuk
membayar sebuah tim yang akan membuat identitas-identitas facebooker palsu yang
akan mendukung kelompoknya, maka akan didapat dukungan facebooker yang melebihi
dari jumlah penduduk Indonesia.
Sikap melecehkan dan menganggap remeh inilah
yang akhirnya malah menjerumuskan kelompok pendukung Kepolisian dan kejaksaan,
sehingga mendapat perlawanan yang lebih besar lagi.
Seharusnya mereka menyadari bahwa dunia sudah
berubah, tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi tindakan-tindakan koruptif,
walaupun saat ini masih tetap saja berlangsung tindakan korupsi diseluruh
penjuru Nusantara ini, tetapi itu tidak lebih karena belum disadarinya
perbuatan yang dilakukan sebagai sebuah kesalahan dan masuk kedalam kategori
korupsi, karena sudah menjadi kebiasaan dan merupakan hal yang dibiasa. baik
bagi pelaku maupun orang-orang disekitarnya.
Mudah-mudahan perjuangan menegakkan keadilan
dan pemberantasan korupsi akan memperlihatkan hasilnya, kesadaran masyarakat
serta kepedulian untuk memberantas korupsi dinegeri ini meningkat. sehingga seorang istri yang mengetahui bahwa
suaminya membawa uang yang lebih besar dari yang seharusnya secara spontan akan
bertanya, ” sweetheart korupsi ya ….?” . atau seorang anak yang mendadak
dibelikan sebuah mobil mewah akan bertanya kepada orang tuanya “papa… Korupsi ya …..?”
kemajuan teknologi tentu memberi pengaruh
besar bagi kehidupan. Mungkin saja nanti kita akan membaca status facebook
salah seorang penjabat yang berbunyi…
“sedang menuju ke hotel X, bertemu dengan Y,
mau dikasih duit 10 M… mau beliin Mama apa ya ?”
Atau pesan disalah satu account twitter yang
berbunyi.
“ ditilang di jalan sudirman, petugasnya yang
bernama X meminta uang 50 ribu….”
Atau,
“ oknum
yang bernama X, meminta pungli untuk
perpanjangan SIM/STNK/KTP…”
Jika hal ini disadari oleh para petugas, para
pejabat dan masyarakat Indonesia, kemajuan teknologi ini akan berdampak luar
biasa, bagi terbukaan, bagi penegakan hukum, dan bagi kondisi yang lebih baik.
Karena fasilitas Facebook, dan Twitter
atau sosial media lainnya akan memberi perubahan bagi kehidupan kita, termasuk
bagi perusahaan-perusahaan dalam menjalankan bisnisnya..
Bayangkan saja, seorang nasabah Bank yang
tidak mendapat pelayanan yang baik terhadap sebuah bank, lantas mengirimkan
pesan melalui Facebook dan Twitter yang
berbunyi “Bank X pelayanannya tidak baik, customer servicenya yang bernama
susi, judes, dan tidak sopan……”. Mungkin saja keesok harinya, si customer
service akan dipindahkan atau bahkan dipecat, karena atasan langsungnya
menyimak informasi yang di twit oleh nasabah yang kecewa tersebut.
Mari kita sadari kondisi ini, baik bagi
facebooker, dan para twiiters, bahwa facebook dan micro blogging seperti
twitter dapat dimanfaatkan bagi kepentingan yang lebih besar, dari hanya
sekedar situs pertemanan, atau hanya sebagai sebuah lifestyle saja. Facebook
dan microblogging merupakan sarana untuk menyampaikan informasi, ide-ide dan
pencerahan bagi kemajuan bangsa ini.
Walaupun masih ada yang buat status, “ … lagi
bête… sendirian dirumah…….” atau “ ….pusing.. kerjaan gak abis-abis…..”
atau “ … lagi party neh… lagi cihuy sama
sidia….”
Mungkin sebaiknya kita lebih mawas diri, dan
memanfaatkan kemajuan yang ada secara lebih bijak, sehingga mendapatkan manfaat
yang luar biasa…
Dan untuk para koruptor, punglinger (maksudnya
tukang pungli…), dan penjahat kerah putih… hati-hati dalam melakukan tindakan
kejahatannya…. Karena sekarang era keterbukaan…karena tidak akan ada tempat
persembunyian bagi perbuatan korup anda.
Sikap arogansi kekuasaanpun harus
memperhatikan dampak kemajuan teknologi ini juga. Walaupun menjadi penguasa,
anda tidak bisa berbicara asal, asal menyalahkan, asal membela diri, asal
mencari kambing hitam. Kalau memang banjir terjadi karena ketidakmampuan
mengantisipasi, jangan salahkan rakyat! Karena rakyat sudah bosan menderita dan
tetap disalahkan.
Ditulis oleh Defrimardinsyah
***
Gerakan
Sosial Digital
Sekali lagi kita menyaksikan kekuatan gerakan
Satu hal yang unik dalam protes publik kali ini adalah untuk pertama kalinya di
Dalam tulisan ini saya ingin menguraikan beberapa hal tentang aktivisme di Internet, yang mungkin berguna untuk mengerti fenomena aktivisme di Internet dan bagaimana prospek ke depannya.
****
Pertama mari kita lihat asal-usulnya. Di satu sisi, kita tidak heran grup facebook yang mendukung KPK tersebut menjadi besar karena KPK sudah lama menjadi primadona publik dibanding lembaga hukum lain dan masalah korupsi juga sudah menjadi perhatian umum. Tetapi, melihat status update Pak Usman pada saat-saat awal, tampak ada perasaan terkejut ketika grup tumbuh sangat pesat dalam waktu singkat. Jadi, berbeda dengan aksi protes di dunia non-Internet yang perlu pengorganisasian intensif sebelumnya, aksi di Internet dapat terjadi secara organik.
Tentunya ini bukan berarti aksi terjadi secara spontan; banyak grup di facebook yang terbentuk spontan tapi tidak menjadi besar karena mungkin tidak cukup banyak orang yang merasa isu tersebut penting. Masalah korupsi memang populer. Selain itu, latar belakang Pak Usman yang aktivis dan dosen, memang tak dapat dikesampingkan begitu saja; mungkin ia sudah terbiasa mengungkapkan opini dan perasaan ke publik sehingga tidak merasa canggung untuk memulai sebuah aksi. Poin utamanya adalah mudah bagi banyak orang untuk memulai aktivisme di Internet, tetapi besar-tidaknya gerakan yang dihasilkan bergantung pada isu yang diusung dan dinamika proses penyebaran informasi selanjutnya.
****
Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana grup ini menjadi besar. Sepintas kita berpikir tak sulit membuat gerakan sosial di Internet karena orang dapat melakukannya hanya dengan mengklik sambil tiduran sekalipun. Ini memang benar, tapi justru karena begitu mudahnya memulai gerakan di Internet, orang akan dibombardir oleh ajakan untuk bergabung dengan aneka macam gerakan. Akibatnya orang akan memilah-milah grup mana yang paling cocok. Karena orang memilih secara sadar, kita bisa menganggap grup aktivisme yang besar menjadi besar bukan hanya karena mudah bagi orang untuk ikut serta, tapi juga karena memang isu yang diangkat mendapat dukungan luar biasa.
Selain itu, ada fitur facebook yang tepat untuk menjadi alat rekrutmen sebuah gerakan, yaitu wall , yang membuat kita bisa melihat saat teman kita menjadi anggota sebuah grup. Manusia adalah mahluk sosial yang selalu memperhatikan apa yang dilakukan orang lain di sekitarnya. Melihat banyak orang dalam jejaring kita sendiri bergabung dengan sebuah grup akan memberikan tekanan sosial untuk bergabung.
Mendapat invite dari teman untuk bergabung membuat kita pikir-pikir. Melihat sebuah grup beranggota besar (atau kerumunan
Dinamika ini konsisten dengan penelitian mengenai gerakan sosial yang menemukan bahwa, dalam banyak kasus, seseorang menjadi aktivis bukan karena kesamaan ideologi atau pandangan lalu bergabung dengan kelompok. Ia diajak temannya untuk bergabung ke kelompok dan baru menjadi aktivis ketika sudah menjadi bagian kelompok itu dan belajar mengenai isu yang diperjuangkan.
****
Jangan kita lupakan peran media
Liputan media
Khusus untuk gerakan mendukung KPK ini, sejak awal peran media di Internet relatif besar. Situs berita detik.com memberitakan grup facebook ini sejak anggotanya masih 164 orang. Jadi sangat mungkin grup tersebut menjadi besar dengan cepat karena orang membaca beritanya di detik.com dan lalu menyebar melalui jejaring pertemanan di facebook. Jadi, dalam hal ini, proses membesarnya terjadi akibat kombinasi dari pengaruh media Internet dan proses difusi di jejaring sosial.
****
Paparan di atas menggambarkan bagaimana aktivisme di Internet dapat menghasilkan sebuah kelompok pendukung dan penekan yang, dengan bantuan media
Selain untuk membentuk kelompok penekan maya, kita juga dapat menggunakan Internet sebagai alat untuk mengorganisasi gerakan sosial nyata di lapangan. Inilah yang dilakukan Barack Obama, baik ketika kampanye maupun setelah menjadi presiden AS, saat ia melakukan mobilisasi
Grup di facebook, misalnya, dapat menarik orang-orang
yang memiliki kesamaan pandangan dari berbagai kota
di seluruh Indonesia .
Setelah grup menjadi besar dan anggotanya aktif berbagi pendapat, kita dapat
mengkategorisasi anggota berdasarkan lokasi tempat tinggal. Selanjutnya kita
membantu mereka membentuk kelompok-kelompok lokal sendiri yang bergerak dan
membuat aksi di lokalitas masing-masing sehingga memobilisasi mereka yang tak
terkoneksi ke Internet.
Aktivis yang melakukan aksi di berbagai tempat ini dapat menggunakan Internet untuk saling bertukar informasi sehingga mereka dapat belajar satu sama lain dan juga saling bertukar cerita melalui tulisan dan video yang membuat semangat tetap tinggi.
Tentunya menggunakan internet sebagai alat pengorganisasian perlu strategi dan tim yang lebih lengkap dibandingkan menggunakan internet sebagai ajang curah pendapat dan emosi kolektif.
Yang pasti Internet telah menjadi salah satu alat aktivisme; Internet dapat mempermudah seseorang menjadi aktivis; Internet dapat dipakai untuk mengelola dukungan untuk sebuah aktivisme. Ini semua dapat berujung pada partisipasi publik yang semakin besar dan memperkuat demokrasi di
Roby
Muhamad menulis disertasi tentang jejaring sosial di Columbia University , New York .
Roby Muhamad
***
Parlemen Online, Jalan Pintas Demokrasi
TAK ada habis-habisnya perbincangan
tentang gerakan 1.000.000 facebookers pendukung Bibit- Chandra di banyak media
cetak dan elektronik.
Para anggota grup tersebut menunjukkan
empatinya dengan mengirimkan banyak komentar dan dukungan agar Bibit-Chandra
bebas dari tuntutan hukum. Tak jarang, mereka menggunakan kata-kata yang
menyindir terhadap beberapa pihak yang dinilai tidak adil dan tidak becus dalam
penegakan hukum di Indonesia. Tanpa takut dan tanpa berpikir panjang, kini
masyarakat telah semakin mampu menunjukkan sikap kritis mereka agar pemerintah
dapat menyelesaikan kasus tersebut secara cepat dan adil.
Ini jelas tidaklah mengherankan jika
melihat sistem pemerintahan Indonesia yang berbentuk demokrasi.Memiliki prinsip
trias politica,yang terdiri dari badan eksekutif,legislatif dan yudikatif,dan
ketiganya bekerja secara independen atau terpisah. Dalam kasus Bibit-Chandra,
lembaga hukum yang seharusnya menjadi penegak hukum,dalam hal ini polisi dan
kejaksaan, malah ikut tersandung dengan masalah hukum dan seakan tidak dapat
menempatkan diri sesuai dengan perannya.
Tidak salah jika presiden membuat Tim
Pencari Fakta (Tim 8) yang dimaksudkan untuk menjadi penengah atau kekuatan
yudikatif baru dalam penyelesaian masalah ini. Terlebih, melihat buruknya
penegakan hukum ini, kepercayaan masyarakat pun semakin memudar.Masyarakat yang
merupakan pemberi mandat pemerintahan,merasa harus turun tangan memberikan
pendapat dan ide dalam upaya perbaikan pelaksanaan hukum RI. Namun, jika
aspirasi yang secara fitrahnya disampaikan melalui wakil rakyat atau DPR tidak
dapat sejalan dengan apa yang diinginkan,menyebabkan banyak masyarakat
menggelar aksi demonstrasi untuk menunjukkan kekuatannya yang seakan
terperangkap di DPR.
Kini, seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan informasi dan semakin kritisnya masyarakat dalam
penilaian pemerintahan dan hukum, aspirasi tersebut tersalurkan secara lebih
cepat melalui media internet. Hingga, terbentuklah semacam parlemen online yang
dapat dikatakan sebagai jalan pintas pelaksanaan demokrasi. Dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu,facebookerspendukung Bibit- Chandra telah menembus angka
1,2 juta, melebihi jumlah yang ditargetkan yaitu 1 juta pendukung. Mereka
sebagian besar tentu saja merupakan kalangan terpelajar yang aktivitas
sehari-harinya tidak terlepas dari penggunaan internet.
Mahasiswa, pelajar, orang kantoran,
bahkan orang pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki
pendapat-pendapat yang spontan dan jujur namun tetap cerdas dan kritis dalam
memberikan masukan dan keluhan. Apalagi banyak informasi yang mereka dapat
tentang pemerintahan negara lain yang lebih tegas dalam penegakan hukum.
Kondisi kian diuntungkan karena mengingat Indonesia berada di urutan ke-7 pengguna
terbanyak Facebook sedunia.
Fenomena ini juga berkorelasi langsung
dengan rakyat Indonesia
yang kian melek internet dan berusaha memaksimalkan alat yang membuat dunia
menjadi borderless. Internet telah dimaksimalisasi fungsinya untuk
mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat. Ini jelas menunjukkan besarnya
kepedulian masyarakat akan sebuah perbaikan hukum yang ada di Indonesia. Tak
kalah pentingnya dengan peran media massa, parlemen online harus diperhitungkan
untuk menjadi kekuatan baru dalam penegakan moral Indonesia.
Ini dapat menjadi sebuah sarana
komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan
pemerintahan yang demokratis. Diharapkan juga dapat menjadi media baru dalam
penjaringan aspirasi dan alat kontrol baru bagi pelaksanaan programprogram
pemerintahan yang bersih, lebih transparan, dan taat hukum.(*)
Ermy Rizkawati
Mahasiswi Administrasi Keuangan dan
Perbankan Universitas Indonesia
***
Group Facebookers
Layak Masuk MURI
Dan Gibran
"BISA jadi Fenomena Gerakan 1.000.000 Facebookers
Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto pantas dicatat
dalam museum rekor, telah dijadikannya media facebook sebagai sarana people power melawan penguasa hukum yang
bertindak semena-mena terhadap warga negara" ujar Santi. Komentarnya dalam groups.
Dalam hitungan satu minggu saja.
Sudah berhasil menembus angka 1 juta member, mereka yang kemudian bergabung di
group ini. Bukan Cuma
Museum record Indonesia ,
bahkan mungkin saja Mark Zuckerberg sendiri harus mendaftarkan 2 hal pertama
bahwa facebooker adalah Situs jejaring terbesar didunia. Dan kedua adalah
Groups yang mendukung Chandra Bibit sebagai groups dengan pertumbuhan tercepat.
Bukan saja di dindonesia melainkan juga dunia.
Fenomenal,
Dahsyat, dan Spektakuler, begitulah kiranya anggapan banyak pihak, sebab
dukungan yang mencapai satu juta hanya dalam hitungan minggu itu boleh jadi
demikian jarang atau kalau boleh dibilang inilah sebuah rekor dan prestasi.
Dukungan yang
demikian membesar memang bukan tanpa sebab, melainkan ada sebuah pelataran isu
yang memang sangat unik dan juga sama dahsyatnya. Yakni tindakan penahanan dua
pimpinan KPK yang dianggap oleh masyarakat memenuhi unsur kesewenang-wenangan
dan sangat mengcela serta menghardik logika. Bahkan inilah yang di sebuah
sebagai “People Power” lewat sebuah jejaring social.
"Fenomena facebook sebagai sarana people power sebenarnya lebih dulu muncul di
"Betapa dahsyatnya pressure dari people power lewat facebook ini terlihat dari respons Jaksa Agung yang dengan amat cepat membentuk tim eksaminasi! Timnya bekerja secara amat cepat pula, hingga hasilnya bisa langsung disampaikan kepada publik--bahwa jaksa yang menangani kasus Prita tidak profesional!" tegas Umar.
"Dengan hasil eksaminasi seperti itu, yang menunjukkan adanya penyimpangan penerapan hukum alias cacat hukum dalam berkas penuntutan, seharusnya Jaksa Agung meminta pengadilan menghentikan persidangan guna mengganti jaksa dan berkas penuntutannya! Agar, hukum bisa diproses di atas rel yang benar!
"Untuk itu sebenarnya pengadilan bisa membuat putusan sela! Tapi biarlah, soal itu kita lihat apa jadinya saja!" timpal Amir. "Kembali ke facebook sebagai sarana people power, jelas mengangkat peradaban manusia menjadi lebih tinggi karena ia menggantikan people power dalam bentuk arak-arakan
People
Power BARU
Hingga
saat ini telah menembus angka 1.420.559 dan akan terus bertambah seiring waktu,
namun yang ingin saya kemukakan disini adalah ajakan turun ke jalan dan people
power yang mendapat sambutan hangat di diskusi grup itu, terasa ada semacam
kekecewaan dan rasa muak yang mendalam terhadap pemerintahan yang telah mereka
anggap telah gagal ini dalam menekan angka korupsi di dalam tubuhnya, dan
kegagalan itu semakin menemukan bentuknya dengan isu kriminalisasi terhadap KPK
yang bermuara pada ditahanya 2 orang petinggi KPK Bibit samad rianto dan
Chandra Hamzah.
Bahwa
gerakan ini bukan hanya gerakan hangat-hangat tahi ayam, sehingga kemudian
tokoh-tokoh nasional yang kemaren telah menjaminkan diri mereka untuk pengganti
bagi penahanan Bibit S Rianto dan Chandra hamzah juga bersedia ikut bergabung
dengan gerakan turun ke jalan, maka bisa jadi ketika sinergi antara kalangan
menengah yang terdiri atas tokoh2 nasional itu, ditambah kalangan profesional
muda dan mahasiswa, kemudian di sokong oleh kalangan idealis muda di tubuh
militer dan keplisian yang mendukung dari belakang, dengan operasi senyap, maka
ini bisa jadi akan mengulang kembali peristiwa 66 dan 98.
Andai
saja anggapan itu benar adanya, maka kita tentu masih ingat betapa beberapa
waktu sebelum tahun peristiwa G30 S yang menjadi momentum aksi turun ke jalan
tahun 66, kekuasaan Soekarno nyaris mutlak, demikian juga ketika ‘98 terjadi,
diawali dengan pemilu 97 yang menempatkan golkar di perolehan suara tertinggi
sepanjang orde baru, namun kemudian pasca dilantiknya Soeharto Maret ‘98.
selang beberapa bulan, tepatnya bulan Mei 1998 aksi turun jalan sanggup
memaksanya lengser keprabon. Dan mungkinkah setelah pemilu 2009 yang
menempatkan demokrat sebagai pemenang, dan pasangan sby berbudi sebagai
pemenang dalam satu putaran ini akan mengalami nasib diturunkan dengan aksi
People Power generasi baru?.
***
Kekuatan
Jemari vs Ketidakadilan
”Tawar menawar harga, pas, tancap gas.”
Potongan lirik Iwan Fals ini seperti
cerminan panggung hukum yang terjadi di Indonesia . Khususnya misteri yang
menyelimuti trio kasus besar; Masaro
(Bibit-Chandra), kasus Antasari, dan skandal Bank Century.
Dibukanya rekaman sadapan KPK di
Mahkamah Konstitusi membuktikan adanya jual beli kasus dan putusan hakim yang
diperdagangkan mafioso. Rekaman itu membuat seluruh mata tercengang. Mafia
peradilan yang selama ini hanya sebatas rumor ternyata bukan fiksi. Hati
masyarakat tercabik-cabik.
Celakanya, Anggodo Widjojo belum juga
ditetapkan sebagai tersangka dengan dalih belum adanya cukup bukti. Dalih Polri
itu menambah daftar panjang luka masyarakat. Ada adagium yang sering dilontarkan penegak
hukum, “Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.”
Namun, hal itu kerap diinterpretasikan
sebagai dalih untuk memihak pada kekuasaan dan atau kepada uang. Penegakan
hukum di Indonesia
tak jarang justru menjauh dari keadilan. Tak memihak pada rasa kemanusiaan.
Di sisi lain, ada pula adagium lain yang
digunakan pihak aparat, “Tersangka berusaha melarikan diri.” Akibat dari produk
ini, banyak kasus penembakan yang dilakukan oknum aparat untuk membunuh –bukan
melumpuhkan- seseorang. Pada saat bersamaan, kasus “salah tembak” yang menimpa
warga tak berdosa masih sering terjadi.
Klaim negara hukum yang dilontarkan
penguasa dan penegak hukum tidak serta merta memiliki imbas positif untuk
mengedepankan keadilan. Termasuk menurunkan korupsi. Sebaliknya, praktik
korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia justru meningkat. Hukum bukanlah
milik penguasa. Kekuasaan tak bisa semena-mena menafsirkan keadilan untuk
kepentingan elite politik, individu, atau golongan tertentu saja.
Akhir-akhir ini, wajah keadilan makin
suram ketika suatu kasus sampai di lembaga pengadilan. Kasus koruptor banyak
yang divonis bebas. Jika pun ada yang divonis bersalah, hukumannya masih ringan
dan jauh dari efek jera. Vonis itu sering berbanding terbalik dengan kasus
ringan yang menimpa warga biasa, apalagi rakyat jelata. Kasus Minah, misalnya.
Gara-gara tiga buah kakao, wanita tua itu
harus berhadapan dengan polisi dan jaksa. Sungguh menyakitkan, hukum
sama sekali tak berpijak pada keadilan. Menafikan rasa kemanusiaan.
Keadilan yang ditafsirkan hakim sering
kali melukai hati rakyat. Hukum selalu membela yang memiiki kuasa. Akibatnya
korupsi hampir terjadi di semua lini. Terjadi di hampir sebagian wilayah Indonesia .
Dari kota besar
hingga daerah kecil. Kondisi ini diperparah dengan maraknya mafia peradilan di
lembaga penegak hukum. Jual beli kasus terjadi di sekitar kita.
Sementara kisruh cicak-buaya dan
mengambangnya kasus Century masih terus menyita perhatian publik. Hati rakyat
merasa disayat. Luka itu kian menganga manakala presiden yang diharapkan mampu
mengatasi kekacauan hukum, justru bungkam selama hampir dua pekan. Tak ada
tindakan tegas, apalagi langkah ril yang cepat, tepat. Spekulasi negatif dan
kebencian rakyat terhadap penguasa kian tak terbendung.
Rakyat hanya mampu berkeluh kesah,
berdoa, dan pasrah pada keadaan. Berharap ada keajaiban yang datang menyelimuti
bumi Indonesia .
Sebab wakil rakyat yang dijadikan harapan terakhir justru menikam rakyat.
Mereka berkhianat terhadap amanah yang dipikulnya. Sikap Komisi III DPR RI
terang-terangan memihak kepolisian dan kejaksaan. Beruntung, media sebagai
kekuatan keempat pilar demokrasi bersatu padu menyuarakan hati rakyat.
Namun, semua itu tidaklah berjalan
mulus. Dua pemimpin media nasional sempat dipanggil Mabes Polri. Lagi-lagi hati
masyarakat bertambah sakit. Sakit sekali. Apa pun dalih yang digunakan,
pemanggilan itu telah membuat cacat jalannya demokrasi yang kita agungkan.
Bahkan pada Ahad (22/11) malam, Presiden memanggil pemimpin redaksi media massa nasional. Dalihnya:
menyatukan konstruksi pemikiran dan sharing tentang kasus hukum belakangan ini.
Dengan langkah ini, tak berlebihan bila
banyak orang menyamakan rezim SBY dengan rezim Orba. Sebentar-sebentar, media
dipanggil. Sebentar-sebentar aktivis ditangkap. Tudingan yang digunakan
bermacam-macam; salah satunya pencemaran nama baik. Sekali lagi, keadilan bukan
milik penguasa. Keadilan adalah hak seluruh bangsa.
Di seluruh agama dijelaskan memberi
dengan ketulusan hati sumber kebahagiaan hakiki. Seperti kisah burung putih di
atas salju. Memberi tanpa menunjukkan sosoknya. Dalam Islam diajarkan, bila
seseorang memberi bantuan usahakanlah tangan kiri tidak melihatnya. Ini bisa
dilakukan hanya dengan ketulusan dan keihklasan yang tinggi. Termasuk
memberikan bantuan berupa keadilan pada porsi yang tepat. Bukan keadilan semu
yang selama ini dipertunjukkan di panggung hukum Indonesia .
Alih-alih rakyat mendapat keadilan dan
bersuka cita atas prosesi hukum yang terjadi. Pembusukan hukum, kegamangan
Presiden dan arogansi oknum penegak hukum justru malah menyeret luka masyarakat
pada titik yang mendekati klimaksnya. Masyarakat terus menunggu kiprah
Presiden: Apakah ia mampu menjadi ratu adil di tengah dahaga kebenaran atau
sebaliknya malah menambah luka bangsa?
People power bukan rekayasa
Luka publik yang telah tertanam cukup
lama telah membuncah. Berkat kecanggihan teknologi dan polesan kecerdasan Mark
Zuckerberg –pencipta Facebook- memudahkan warga untuk mengeluarkan
uneg-unegnya. Termasuk menuliskan kekecewaan mereka terhadap proses hukum dan
pengkhianatan keadilan di varian situs jejaring sosial.
Setelah seluruh pihak tak lagi mampu
diharapkan menjelma menjadi burung putih di salju, secara spontan dan sporadis
publik membentuk kekuatannya sendiri. Dengan kekuatan jemari yang dipusatkan di
keypad HP dan keyboard PC serta laptop, muncul kekuatan baru yang luar biasa
dan tak pernah diduga sebelumnya. Kekuatan ini sulit dibendung manakala
pembusukan hukum dan politik masih terus berlangsung.
Luka dan kecewa rakyat kian membengkak
melihat elit parpol Islam yang lambat laun mulai membuka topengnya. Secara
terang-terangan mereka kini memihak kekuasaan. Praktis, hamper tak ada lagi
harapan yang disandingkan masyarakat. Bermodal kekecewaan massif, rakyat
menjalin persatuan melalui dunia maya. Tercetuslah ide-ide untuk membangkitkan
people power demi mengkritisi kebijakan yang melenceng dari nurani.
People power bukanlah suatu rekayasa.
Gerakan ini lahir dari hati nurani terdalam karena melihat keadilan diusik.
Fenomena Gerakan Sejuta Facebooker Dukung Bibit-Chandra dan gerakan sejenisnya
bisa menjadi kekuatan kelima setelah pers. Gerakan ini berasal dari lintas
agama, ras, suku, usia, geografis, strata sosial dan pendidikan. Suara rakyat
adalah suara Tuhan, begitu analogi yang sering dikumandangkan di negeri
penjunjung demokrasi. Kini suara itu tercermin dari gerakan tersebut.
Ini bukan khayalan. Manakala luka-luka
rakyat terus menganga dan tak terobati, bukan hal mustahil kekuasaan
dijungkirbalikkan. Indonesia
pernah mengalaminya di masa reformasi. Itu terjadi karena ketidakadilan
merangsek masuk merusak ketenangan masyarakat. Semua sepakat, jangan sampai hal
itu terulang lagi. Kita sudah bergerak selama 11 tahun setelah reformasi.
Siapa pun tak ingin bila kita mundur
lagi ke belakang. Namun, bukan tidak mungkin bila kita memang harus melangkah
mundur. Sebab, saat ini sedang terjadi ‘perang’ antara kekuatan jemari versus
ketidakadilan. Duhai, penguasa dan penegak hukum jadilah kalian seperti burung
putih di atas salju. Berilah rakyat keadilan. Pembela keadilan telah
ditakdirkan Sang Maha sebagai pemenang melawan tirani.
Meski para pembela keadialan berasal
dari kekuatan jemari, bukan hal yang sulit kekuatan itu menggulingkan
kekuasaan. People power bukan hal yang direkayasa. Ia tak mampu direka-reka.
Kekuatan mereka lahir bukan dari mulut provokator. Namun, ia tercipta dari hati
nurani begitu sakitnya terusik.
Pertanyaan mendasar
Selama ini dua pertanyaan mendasar
menghantui kita: Mengapa Presiden lamban mengambil tindakan tegas? Mengapa
penegak hukum di negeri ini justru mengkhianati hukum? Banyak pihak menyesalkan
tindakan lamban Presiden. Sementara publik juga bertanya-tanya seberapa besar
kekuatan Anggodo yang masih saja bebas. Padahal jelas-jelas dalam rekaman sadapan
KPK,
Anggodo seolah berperan sebagai
sutradara. Pemberantasan mafioso harus segera ditangani serius. Sebagai langkah
awal, rekomendasi Tim 8 harus mendapat porsi prioritas sesuai keinginan
masyarakat. Seanjutnya, isi rekaman KPK bisa diurai lebih jauh, disidik,
dijadikan pintu gerbang untuk membuktikan siapa oknum pengkhianat hukum yang
selama ini bernaung di institusi penegak hukum.
Tidak menutup kemungkinan mafioso
dibekingi petinggi penegak hukum itu sendiri. Bisa jadi mereka dibela salah satu
para pemegang kebijakan. Karena itu pendalaman terhadap isi rekaman sadapan
sangat penting. Apalagi, tiga orang yang suaranya ada dalam rekaman percakapan
tersebut mengakui suaranya.
Kemudian, mau tidak mau, suka tak suka,
Presiden harus bisa melaporkan pencemaran nama baiknya yang telah dicatut.
Seperti kasus sebelumnya. Sayang, Presiden masih diam. Padahal kondisi hukum di
Indonesia
sedang gonjang-ganjing. Rakyat butuh kepastian hukum.
Apalagi, Presiden telah mencanangkan
agenda 100 harinya memerangi mafia hukum. Kita berharap pihak terkait juga
mampu menyelesaikan kasus Bank Century dan ketidakjelasan kasus besar lainnya.
Kasus Edy Tansil, pembalakan liar, kisruh DPT, dan sebagainya. Belum lama kita
juga bertanya-tanya: Mengapa kasus dana kampanye bias di SP3-kan kepolisian
tanpa alasan jelas. Bahkan, Bawaslu sempat protes.
Tapi, lagi-lagi, keadilan itu
ditelantarkan. Kasus Bibit-Chandra yang minim bukti justru sulit diberi SP3.
Sungguh ironis. Hentikanlah ketidakadilan yang terus menelanjangi bangsa ini.
Rakyat sudah koma, jangan biarkan mati dengan ketidakpastian hukum yang terjadi
saat ini.
Bila Presiden tak segera mengambil
tindakan, dikhawatirkan tembok kepercayaan masyarakat semakin runtuh. Sebab
suka tak suka, kasus Masaro, Century, dan rangkaian kasus lainnya harus
dibongkar. Ini janji yang selalu akan ditagih rakyat pada Presiden. Jangan
sampai nurani itu pergi, lalu mati. Jangan oh jangan!
Sadarilah dan selami nurani, jujurlah
untuk menginterpretasikan serta melaksanakan keadilan, duhai penguasa. Sebelum
hal buruk terjadi di Indonesia ,
mari selamatkan negeri ini dengan menjunjung keadilan. Bila keadilan sirna,
kekuatan jemari segera bertambah kuat hingga berkamuflase menjadi people power
yang bisa menaklukkan kekuasaan; dengan mudah. Dengan izin Sang Maha. Jangan
sampai itu menjadi mimpi buruk bangsa ini.
Sumber tulisan R. Rudi Agung Prabowo
(Rap Al Ghifari)
***
Tunduk Tertindas Atau
Bangkit Melawan!
Kekuatan situs-situs jejaring sosial dan internet melawan
korupsi tidak bisa lagi dibendung. Melihat ramainya forum diskusi, mailing list
bahkan status pribadi di facebook terlihat jelas bahwa warga Indonesia yang
punya akses internet, yang nuraninya masih ingin menegakkan keadilan, secara
maksimal mempergunakan internet untuk mengeluarkan pendapat.
Facebook,
sebuah jejaring sosial yang bermisi, “giving people the power to share in order
to make the world more open and connected place” (terjemahan bebas: memberi
kekuasaan bagi individu untuk berbagi untuk menjadikan dunia lebih terbuka dan
tersambung), menjadi alat mobilisasi yang strategis. Situs jejaring
sosial lain, seperti Twitter, juga berperan yang sama. Tidak heran karena
pengguna Twitter di Indonesia termasuk lima pengguna terbesar diseluruh dunia,
bersama dengan Inggris, Brazil, Spanyol dan Amerika Serikat (BlogTempo).
Facebook telah berkembang menjadi ruang mimbar bebas
demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Kekuatan dukungan
sosial melalui Facebook ini sebelumnya sudah terbukti ampuh menghantarkan kesuksesan
Presiden Barack Husein Obama dalam menghimpun jutaan pemilih pemula dalam
pemilu presiden Amerika Serikat November 2008 lalu.
Di Indonesia, terlihat terutama setelah menguatnya
akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja institusi penegak hukum (non KPK),
dan DPR. Akumulasi kekecewaan publik diperparah dengan terbongkarnya rekaman
percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan,
yang memunculkan dugaan kuat adanya rekayasa dan mafia peradilan.
Pada saat hampir bersamaan harapan agar DPR (Komisi III)
melakukan kontrol terhadap kuatnya mafia hukum di kepolisian dan kejaksaan
justru hanya mengamini keterangan Kapolri dalam kasus dugaan rekayasa
kriminalisasi pimpinan KPK. Partisipasi facebooker dalam mendukung Bibit-Chandra
ini dapat dianggap sebagai sebuah pilihan rasional. Artinya, para facebooker
hanya mengeluarkan sedikit 'biaya' untuk bergabung dengan kelompok pendukung
Bibit-Chandra, tapi mempunyai tujuan besar, yakni menyelamatkan KPK. Apalagi
setelah Tim Delapan atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Perkara Hukum
Bibit Chandra bentukan Presiden SBY sudah mengeluarkan kesimpulan, lemahnya
bukti-bukti yang bisa dijadikan alasan menjerat Bibit-Chandra sebagai
tersangka.
Pada umumnya gerakan sosial menjadi alternatif untuk
membangun partisipasi dan dukungan publik yang efektif dan efisien untuk
merespons dan menyikapi persoalan serta kasus yang dipandang merugikan
kepentingan publik, merusak kehidupan masyarakat luas, atau mengancam
kedaulatan negara-bangsa.
Rakyat Indonesia
kini sangat rindu dengan kondisi negara Indonesia tanpa korupsi. Rakyat sudah
muak dengan polah koruptor yang menggerogoti uang negara, rakyat merindukan
kesejahteraan. Rakyat ingin adanya perubahan yang nyata yaitu pemberantasan
korupsi secara komprehensif. Aparat pemberantas korupsi juga jangan menjadi
koruptor. Inilah cita-cita yang bisa menjadi ”driving force” bagi people power.
Fenomena
masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini adalah tahap membangun kesadaran
bersama bahwa gerakan pemberantasan korupsi sebagai starting point kebangkitan
bangsa Indonesia dari keterpurukan, telah dihalang-halangi. Bahwa kebenaran dan
keadilan telah ditindas.
Peran dunia
maya tidak bisa dianggap remeh dalam komunikasi gerakan massa terutama dalam
tahap mobilisasi massa. Presiden Filipina Erick Estrada jatuh juga karena
besarnya massa yang berhasil dimobilisasi dengan internet dan telepon genggam.
Perseteruan
antar lembaga negeri ini rupanya telah memasuki babak baru. Dijebloskannya dua
pimpinan KPK Bibit dan Candra kedalam sel sekaligus ditetapkan sebagai
Tersangka, dituntut dengan pasal ‘seenak perut’ (karena digonta ganti ketika
tuntutan lainnya tidak terbukti) direspon oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Beberapa Tokoh penting juga akhirnya turun gunung berusaha menengahi ataupun
mendesak Presiden untuk bertindak. Tak sedikit pula yang tampil dibarisan depan
menjaminkan diri mereka dan menuntut pembebasan kedua petinggi KPK tersebut.
Dukungan moral rupanya tak hanya disuarakan dalam bentuk
nyata. Dalam ranah mayapun dukungan terus mengalir demi sebuah keinginan
menegakkan keadilan dinegeri ini. Facebook salah satunya.GERAKAN SEJUTA
FACEBOOKER MENDUKUNG CHANDRA DAN BIBIT yang di gagas oleh USMAN YASIN dalam
hitungan hari telah meraup dukungan setengah dari target yang diharapkan.
Hingga 3 November pagi pk. 8.50 tercatat sudah mencapai angka 505.095
Facebooker yang ikut memberikan dukungan. Lebih
dari setengah juta facebookers!
Gerakan di dunia maya ini telah membuka mata siapa saja
bahwa ada kekuatan “jalan baru” yang secara independent berjalan dalam pusaran
konflik. Kekuatan “jalan baru” itu dari hari ke hari kian menguat, yang
menunjukkan kecerdasan politik kelompok ini mulai bangkit. Kekuatan itu, tidak
lain adalah kekuatan rakyat. Kekuatan ini nyata, bukan rekayasa dan dapat
diwujudkan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Ini terbukti, beberapa aksi yang
dikonsolidasi dan digerakkan dari dunia maya, termasuk aksi grup pendukung
pemberantasan korupsi di negeri ini.
Keberhasilan facebooker mengumpulkan dukungan hingga
lebih dari 1 juta, sesungguhnya juga disebabkan faktor lain, Media terus
memantau perkembangan dukungan facebooker dalam berbagai beritanya. Membuat
pengguna facebook lainnya mencari dan mengundang teman-temannya untuk bergabung
mendukung grup tersebut. Tapi yang perlu dicatat, dengan teknologi informasi
terkini, rakyat mampu membuat keputusan dan kekuatannya tersendiri. Kekuatan
itu membesar berdasarkan akal sehat dan hati nurani manusia.
Ketika kekecewaan dan ketidakpercayaan kian membesar,
dimana pun rakyat berkumpul semakin luas pula kekecewaan itu menyebar. Tak
terkecuali di dunia maya seperti facebook . Berbagai aspirasi politik terus
bergejolak dalam dunia yang masih dianggap remeh itu. Fakta ini, menunjukkan
juga rakyat kian tak percaya lagi pada saluran aspirasi rakyat idealnya, baik
DPR, parpol atau organimasi massa. Rakyat lebih memilih memberikan dukungan
langsung secara sadar dan langsung tanpa ada “embel-embel” lainnya kepada grup
yang terbentuk secara alami di media interaktif.
Meledaknya kasus
Bibit-Chandra dan skandal Bank Century menjadi ujian terberat 100 hari
pemerintahan SBY periode kedua. Pertama, SBY memenangkan dukungan kuat
pasca-Pemilu 2004 dengan janji pemberantasan korupsi, dengan andalan instrumen
KPK. Kini situasi berbalik, KPK dikorbankan. Kedua, kasus Century menyerang
jantung sistem neoliberalisme yang lebih memilih menggelontorkan 6,7 triliun
rupiah untuk menyelamatkan bank sekelas Century ketimbang untuk kesejahteraan
rakyat. Boediono dan Sri Mulyani, dua sosok teknokrat neolib yang menyangga
pemerintahan SBY, diduga keras berada di balik pengucuran bail-out
Century.
Menurut Rizal Ramli
dalam wawancara di Metro TV, Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia menyetujui
penyelamatan Bank Century karena diiming-imingi posisi wakil presiden.
Sedangkan Sri Mulyani, demi menyelamatkan posisinya di kabinet. Dana talangan
Bank Century juga diduga mengalir ke sejumlah inner circle SBY dalam
pemenangan Partai Demokrat dan SBY-Boediono dalam Pemilu 2009 lalu. Dua
pengusaha Budi Sampoerna dan Hartati Murdaya yang menjadi penyumbang dana
kampanye SBY disebut-sebut sebagai deposan besar di Bank Century.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century,
dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai
penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sampoerna sebesar
Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebesar US $ 18 juta atau 180
miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang
telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah
duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century
untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus
operandi pembobolan duit negara melalui Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens
akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan,
Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui
seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan
surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra
melakukan penyalahgunaan wewenang.
Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan
dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat
testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK,
dijanjikan akan diselesaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah
berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, Persoalan menjadi runyam, ketika
media mulai mengendus rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY
konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat
tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden
SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan.
Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar
biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana
untuk menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). tim
yang dibentuk SBY pun awalnya dianggap sebelah mata, baru setelah heboh
pemutaran rekaman yang menelanjangi kebobrokan Polisi dan Kejaksaan, timbul
protes besar yang mampu menimbulkan snow ball gelundungan bola salju power
people kekuatan rakyat yang akan menggilas bahkan berpotensi menghancurkan
sistem, snow ball yang dapat berlembang lebih dahsyat dari gerakan anti
pemerintah pada tahun 1966 maupun tahun 1998.
Padahal, semua yang mendengar pembicaraan Anggodo yang
dibuka di Mahkamah Konstitusi tahu bahwa dialah inisiator penting dari perkara
Bibit-Chandra yang kini mengguncang kredibilitas serta kehormatan bangsa dan
negara kita.
Dan kenapa SBY tidak marah seperti biasa saat namanya
dicatut Anggoro dan Ong Yuliana? Apakah mungkin SBY berubah sikap dari semula
geram dan marah karena nama SBY (RI-1) telah salah digunakan dan secara
tidak langsung telah mencemar nama baik SBY mendukung dugaan kriminalisasi KPK
berubaha menjadi sang pemaaf setelah Adik buronan KPK Anggoro Widjojo, Anggodo
Widjojo, meminta maaf kepada Presiden SBY?
Kekuatan dunia maya dalam upaya memberikan pengaruh pada
politik di Indonesia tengah diuji. Apakah masing-masing nantinya akan mampu
membuktikan harapannya ? kita tunggu saja.
Ditulis
oleh : RAHMI ABADI
Bab 4
50 Juta orang Dukung Anggodo: Percayakah Anda?
Dan Gibran
![]() |
Boleh jadi inilah sisi entertaining yang sebenar-benarnya dari
kekisruhan Cicak versus Buaya. Dikatakan dalam Lead Berita ; Bonaran:
Bibit & Chandra Didukung 1 Juta di Facebook, Anggodo Bisa 50 Juta. Anda,
saya dan siapapun yang membacanya di jamin terpingkal.
Sengaja saya tampilkan berita yang
membuat saya dan kawan-kawan saya terpingkal-pingkal. Bahkan mungkin juga anda
akan terpingkal-pingkal dengan link berita di bawah ini.http://www.detiknews.com/read/2009/11/11/134918/1239735/10/bonaran-bibit-chandra-didukung-1-juta-di-facebook-anggodo-bisa-50-juta
dan kemungkin juga Presiden kita Soesilo Bambang Yudhoyono juga sama
terkekehnya dengan anda jika ia sempat melihat berita seperti ini.
Bagaimana tidak, ini sama dengan quote
and quote bahwa suara para facebooker yang mendukung Chandra dan Bibit adalah
suara rekaan. Hasil rekayasa kelompok tertentu. Atau hasil penyiasatan dan
dibuat-buat. Yang pada intinya sama sekali meniadakan logika bahwa suara 1 juta
facebooker murni mewakili suara kegundahan yang berkembang dimasyarakat.
Meski demikian saya kira suara seorang
Bonaran yang berpihak pada si kliennya adalah suara keberpihakan, yang merasa
bahwa kliennya sangat di pojokan oleh pihak tertentu dan dalam kontruksi berpikir
tertentu Bonaran pengacara nya perlu juga untuk memberikan asumsi bahwa
Kliennya bisa lebih banyak pendukungnya. Meski sedikit beraroma ”gak melek
facebook” atau jangan-jangan ”ga melek teknologi”
Sehingga menurut asumsi dan logika
berpikir seperti ini rekayasa adalah biasa, dan di balik dari rekayasa-rekayasa
miliknya bisa dikalahkan oleh rekayasa lainnya. Yang lebih canggih, mungkin
kali ini ia kalah mensiasati dan bila kali ini ia kalah merekayasa mungkin di
kali lainnya ia akan berhasil merekasaya. Kalau kali ini kalah pasti lain kali
menang.
Gambaran Diatas sejatinya
menggambarkan bahwa Teknologi dalam bayangan Situmeang adalah sesuatu yang bisa
di rekayasa. Apa sih susahnya mengirim SMS pada banyak orang, bahkan bisa pada
jutaan nomer dengan sekali pencet. Dengan persepsi push atau pull sms tadi
betapa dapat di gambarkan bahwa dengan Uang apapun bisa di beli. Kecil apalagi
ini cuma facebook (baca : fesbuk).
Ini sama persis dengan guyonan ala
democrazy. Ketika Dewan Parodinya mengatakan ”Siapa bilang saya ga punya email,
dulu saya punya, tapi sudah saya jual” sekiranya menurut parodi ini email dan
account facebook adalah barang dagangan, atau properti yang murah sekali.
Sehingga dengan modal beberapa rupiah saja maka satu juta facebook tercapai.
Setepat dan sejadinya itu pulalah
kontruksi berpikir bahwa facebook adalah barang dan properti atau aksesori
tertentu yang dibuat oleh pengrajin. Dan pengrajin itu sehari bisa dihitung ia
bisa membuat berapa email atau account tentunya.
Kalau satu juta bisa dibuat-buat,
dibikin-bikin, maka apa susahnya sih bikin fesbuk sampai 50 juta, begitu
kira-kira alur berpikirnya. Kalau satu juta sih kecil maka angka 50 juta pun
semudah itu terlontar, dengan segenap pengetahuan tentang fesbuknya. Maka
jadilah ini sebuah lelucon yang sumir dan menyebalkan namun juga teramat
mengasyikan untuk meleatkannya dengan tidak tertawa termehek-mehek.
Anda bayangkan kalau untuk membuat
rekayasa satu email saja 5 menit. Maka 50 juta Fesbuk artinya 250 juta menit.
Itu sama artinya 4,2 juta jam, atau juga sama dengan 180.611 hari, dan ini
sejumlah dengan 500 tahunan. Wah ada ya manusia yang bikin email dan account
facebook sampai segitu lamanya. Ada-ada saja Situmeang ini. Menurut seorang
karib saya.
Pengakuan Terselubung : Saya Gaptek!
Kalau meminjam istilah dari Kahlil
Gibran, ”Jangan dengar yang dikatakannya tapi dengarlah apa yang tidak di
katakannya”. Maka inilah sebuah pernyataan paling jujur dan polos. Sebuah
pengakuan terselubung namun jelas kelihatan naif dan tanpa rekayasa sedikitpun
berbalik menelanjangi dirinya.
Sejadinya cara dan alur berpikir ini
sedikit banyak memberikan bocoran pada kita mengenai sikap prilaku dan behavior
orang-perorangan. Dengan lontaran seperti itu seorang yang berprofesi sebagai
pengacara sepertinya melakukan pengakuan terhadap publik bahwa. APA SIH YANG
GAK BISA DI BELI DENGAN UANG?
Jangankan cuma perkara fesbuk gitu
loh, perkara Kapolri, Jaksa Agung, bahkan yang lebih tinggi dari pada itupun
bisa di atur-atur di buat-buat dan apalagi disumpal dengan Uang. Mau
menyumpalnya dengan paket, mau menyumpalnya dengan biaya tertentu.
Anda percaya Anggodo didukung 50 juta
facebooker? Kalau saya sih percaya? Percaya bahwa orang sekelas Bonaran memang
tidak dan kurang melek facebook (baca : fesbuk) dan percaya bahwa tentu saja
lebih dari pada itu. Negara saja bisa diatur-atur bagaimana sekedar fesbuk? Ah
pekerjaan sepele tentunya.
Ssst itupun mungkin saja accountnya
bernama bonaran1, bonaran2 dst sampai 50 juta. Coba anda bayangkan kalau saja
selama 475 tahun Pak Bonaran ini di kasih waktu untuk hidup masa kerjanya
setiap menit bikin facebook? Anda percaya kan sekarang!
***
Gemuruh
Ketikan Facebookers
Menyapu
Bersih Tembok Kezaliman:
Opini
Publik Mereka, Kian Tak Terbantahkan!
Sing: Lemon nipis taguling-guling..
Taguling sampai ke lobang cacing.. Raja muda pusing keliling..
Cari pintu dimana masuk, yo masuk yo
masuk yo maaaaaassuuuk....!
~~~Masuk dan keluar lancaaar
dijalan yang benar!~~~
(Status FB, milik Anggrek Hitam, remaja putri SMU 1 dari Nabire, Papua,19
Nov. 2009, pk. 15.24)
I
Awalnya, ketika ketikan halus di-keypad,
yang tadinya cuma sekedar untuk membangun hubungan pertemanan dan membangkit
”nostalgila” masa muda saja. Kini elusan gerakannya telah mampu menjadi
kumpulan gelegar petir, gemuruh sebilyun topan badai, menjadi kekuatan raksasa
Godzila facebookers berwujud tiwakrama selaksa-muka membentuk
opini publik atau pendapat umum. Itulah gerakan yang turun mengawal dan
ikut mengundang majelis hakim Makhamah Konstitusi (MK) dan state-chief
eksekutif melakukan gelar perkara dan membentuk tim pencari fakta!.
Atas dukungan emphati dan simpati facebookers-lah
mereka yang teraniya dan terzalimi memiliki pendamping dan tidak sendirian
menoreh duka. Mereka bergerak membebaskan Prita dan Bibit-Chandra dari penjara,
membantu Ramlan pulang kampung dan memiliki kaki palsu, pascamenggergaji
sendiri kakinya untuk keluar dari himpitan puing reruntuhan gempa di ranah
Minang, hingga pulang dan dirawat di tempat asalnya di Purwakarta.
Wahai saudara-saudariku sekalian,
disanalah para facebookers ikut terpanggil serta membawa keadaan menjadi
kian terang-benderang terhadap suatu silang sengketa. Facebookers kian
hadir dalam persahabatan yang mengalir hangat tanpa sekat suku, agama, pintar-kurang
pintar, kaya-belum kaya, dan jarak yang menganga! Mereka membawa jiwa
”perubahan cepat” ala Prancis. Semangat egalite
(persamaan), liberte (kebebasan) dan fraternite (persaudaraan).
Hadirnya FB dan situs jejaring sejenis, telah membuka babak baru, bahwa publik
bukanlah silent-majority, orang banyak yang diam. Mereka kini mampu
berkata-kata lewat jari-jari netbooks dan hand phone-nya.
Dukungan facebookers kian tak
henti. Tidak ada matinya! Bergulung seperti tringgiling, bola salju,
bola bowling, bola bekel dan klereng! Perlahan, kian cepat, makin cepat dan
akhirnya sangat cepat dan pasti! Opini publik yang
mereka gulirkan sebagai gerakan persaudaraan, keadilan dan kesejahteraan
publik, kian tak terbantahkan menyumbang harapan, mimpi menjadi kenyataan!
Walaupun begitu ada kelemahan dalam diri facebookers. Mereka cenderung
kurang tidur, lupa jam kerja, waktu makan dan ibadah, serta menggelontorkan
uang saku menghabiskan pulsa. Ada saja pasangan, suami- istri, kekasih dan
sahabat-serta musuh menggunakan FB untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan. Zaman
begini mestinya 5000 teman terlalu sedikit, seorang musuh sudah terlalu banyak.
Sejak kini, orang biasa, orang kecil,
orang pandai dan bodoh, sekarang tidak bisa lagi diapa-apakan
semau-maunya. Sekarang ini tsunami dukungan akan datang jika ada pihak yang
teraniaya. Gejala kekuatan kata-kata dari kelompok menengah kian tak
terbantahkan dampaknya, ketika dunia maya menjadi pendamping dunia nyata. FB, yang
dunia maya itu telah menjadi cara baru untuk mengembalikan masa lalu,
mempertemukan sahabat yang puluhan tahun tak berjumpa. FB kita kini bisa
berbuat lebih jauh lagi, ia bisa pula mempengaruhi keadaan, cara baru untuk
mengungkapkan perasaan, cara baru untuk berbagi beban dan mencari jawaban. Cara
baru untuk tidak sendirian ketika sepi teman dalam keramaian.
Dalam literatur dasar-dasar ilmu
politik, hal ini disebutkan sebagai fenomena keberdayaan politik atau political
efficacy. Suatu kondisi kecil atau sedang yang kita lakukan bisa
berdampak besar untuk memperbaiki keadaan. Keberdayaan politik ini mampu
membalik kondisi buruk menjadi membaik dan tergeletak kokoh ditempat
semestinya. Gemuruh facebookers sejak Prita teraniaya, hingga
bibit-Chandra masuk mulut buaya, menunjukkan ini zaman baru dengan media baru.
Ia dan medianya berkemampuan
membungkam dan menyapu bersih aktor dan produk-produk sandiwara kezaliman.
Pembusukan atau tindakan despotic akan mendapat aksi dan reaksi sehingga
tidak mudah mengangkangi rakyat biasa dan pejuang perbaikan. Dunia jejaring
telah mempertemukan dengan hangat dan bersahabat professor dan mahasiswanya,
artis dan penggemarnya, pejabat, birokrat, politisi dan para pendemonya, orang
terkenal dan orang biasa-biasa saja. FB adalah dunia setara, dunia suara tanpa
kata-kata, yang kemudian menggerakan hati dan suasana.
III
Isi tengahnya, bagian analisa. Ini dia
zaman baru telah tiba...!. Opini publik kini kian menjadi faktor penentu yang
cukup berpengaruh bagi pejabat dan tokoh publik untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Ketika sensor SIUPP, katebeletje, surat sakti, budaya telepon redaksi
mencegat pemred menaikkan berita sensitif pihak berada, cenderung tidak
lagi berdaya, apalagi bergaya. Suatu zaman yang gemuruh, bukan jalanan
yang sepi bagi kezaliman untuk melenggang kangkung! Kaum zalim tak lagi seenak
‘pelecing kangkung Lombok ’ ala NTB, untuk
berbuat “semau nafsu ku menghitamkelamkan kebenaran”.
Sekarang ini, orang biasa pun bisa.
Penentu pendapat atau opinion leader, tidak lagi selalu orang besar,
orang kaya raya, seorang yang punya akses di media TV, Koran atau Radio Ga-ga.
Gagah-gagahan berkata-kata bukan lagi monopoli anchor pembawa
berita, MC- aktor-artis sinetron atau bintang iklan. Begini hari, semua orang
bisa me-narsis kan diri di FB, jualan ide, memberi inspirasi dan pencerahan,
dan yang paling penting mendobrak kezaliman, yang dirasakan relatif banyak
orang, untuk menjadi lebih adil, lurus dan pada tempatnya.
IV
Akhirnya, tiba di bagian penutup.
Ketikan para facebookers di-keypad netbooks atau alat
komunikasi seperi blackbarry-strawberry itu, kian berarti sebagai
sarana political-efficacy. Media jumpa bagi para pembayar pajak, pemilih
dengan kalangan pengemban amanah dan pelaksana lapangan. Mereka mampu mengetuk
pintu dan menggemuruhkan istana negara dan rumah
rakyat sekalipun. Mereka berdaya membuat rumah keadilan menempuh jalan lurus,
jalan keadilan sedemikan rupa, sehingga memenuhi kecukupan nurani
pencinta kesungguhan.
Jika diamati bunyinya, ketikan keypad
facebookers, seolah kepak-kepak sayap kecil kupu-kupu saja, nan ringan
gemulai tak berarti. Namun
tunggu dulu! Ini medan baru. Mereka kian menguat dan bermakna di
tengah orang banyak. Sekarang dan nanti, facebookers sedang
membentuk badai opini, inovasi, solusi dan pelaksana lapangan. Publik dan
istanapun bisa bergemuruh karenanya, jika abai dan memandang sebelah mata.
Mafia yang sangar, tak tersentuh hukum selama ini pun akan bisa dibuat
”menangis bombay”. Mereka kini kian dikawal untuk menjadi orang baik, pembuka
jalan kebenaran dan mengakhiri sendiri kezaliman yang mereka rancang. Istana
pasir di tepi laut yang selama ini aman mereka bangun, akan digerus jika mereka
tidak ber-hijrah ke tengah.
Akhir kata, facebookers
kini bukanlah mereka yang dulu diam terbungkam menerima nasib, menutup mata
penderitaan dan lumpuh layu tak berdaya dihantam penindasan. Mata telinga, kaki
dan tangan facebookers ada dimana-mana untuk menolak dan cepat bertindak
terhadap kezaliman. Namun sangat ramah terhadap persaudaraan lintas batas,
keindahan persahabatan antar-usia, kelembutan jiwa dan kasarnya kerja
menandakan zaman baru, media baru, pengaruh baru. Akhir kata, facebookers
tidak perlu menjadi lupa diri atau keras hati. Tetaplah menjadi sejati untuk
menembus segala tembok kezaliman. Senantiasa beribadah untuk Zat yang maha
perkasa dan maha melindungi. Tuhan Pengatur alam raya, beserta kita dalam doa dan
kerja! Dalam ketikan kata-kata di atas papan huruf dan angka itu ada semangat
kebaikan. Teruslah mengetik, menggelitik, mengeritik dan berbuat baik! !(srs)
Ditulis oleh: Syafuan Rozi Soebhan
***
![]() |
Aha! Ada Facebook
Dan Gibran
Di
Australia Seorang perampok berhasil di identifikasi lewat jejaring sosial dunia
maya. Facebook. Perampok tersebut berhasil diindentifikasi oleh para saksi yang
kemudian mengenali si bromocorah tersebut dengan deretan foto-foto yang
disearch melalui media jejaring sosial ini. Di belahan dunia yang lain, seorang
anak bertemu ayah kandungnya setelah belasan tahun terpisah satu sama lainnya. Sampai
akhirnya keduanya dapat mengenali satu sama lainnya. Dan itu berasal dari
Facebook. Kedua kasus tadi ternyata contoh dari geliat facebook.
Bahkan
cerita tentang teman-teman SMA terpisah sekian belas tahun tak pernah
bereununian. Tiba-tiba saja berkomplot menjadi sebuah groups. Lalu yang terjadi
temu kangen yang mungkin saja hampir
muskil itu terjadi karena sulitnya menemukan teman-teman mereka satu persatu
karena sebagian justru telah terpisah beda benua.
Berderet
cerita lainnya tentang kemanfaatan facebook ini juga menyisakan sederet cerita
minor. Kepala Agensi rahasia Ingris misalnya menjadi tidak rahasia lagi ketika
sang istri mengupload foto-foto liburan keluarga mereka, atau seorang maniak
seks berhasil menghamili beberapa gadis yang dikenalnya dari jejaring sosial
facebook.
Facebook
bahkan dituding menjadi pembuka perselingkuhan, bahkan hampir-hampir Facebook
difatwa Haram. ini kemudian membuat orang percaya bahwa jejaring sosial ini
berdampak buruk bagi masyarakat. Meski demikian saya kira harus diakui bahwa
kehadiran facebook dan jejaring sosial lainnya ke tengah-tengah kita memberikan
arti bahwa ruang sosial kita tidak saja di depan rumah, belakang dan samping
kiri kanan. Tapi juga atas bawah dan lintas sekat menjadi arena baru yang
merupakan keniscayaan.
Facebook
menghimpun banyak sekali kekuatan masyarakat yang tercecer. Bahkan kini kita
malah mendapatkan bukti bahwa gaung pembelaan publikpun bisa dilakukan di arena
perbincangan-perbincangan yang dapat menular karena sifatnya jaringan. Contagion of goodnesses. Begitu juga ia
bisa menjadi contagion of the devil.
Tinggal bagaimana si manusianya itu sendiri. Meski demikian diperlukan
kedewasaan untuk menelaah mana yang tentunya berguna dan mana yang semestinya
harus dibuang. Kembali ke manusianya.
Hebat
ya ada facebook! Sekarang tiba-tiba nama itu menjadi buah bibir dan cibiran
orang seantero bukan saja Indonesia tentu saja bahkan menjadi sensasi
perbincangan dunia. Sebagaimana kita tahu Facebook adalah situs jejaring sosial
yang mendunia bahkan bisa jadi Facebook adalah
dunia itu sendiri.
Berisi
hampir 350 juta manusia menjadi penghuninya. Yang diklaim bahwa sudah 200 juta account yang aktif didalamnya. Apa yang
menyebabkannya menjadi sedemikian “meledak” Perkembangannya. Di jagad facebook
yang terus menerus berkembang hasrat pemenuhan diri menjadi kata kunci dari
prestasi spektakuler jejaring sosial dunia maya ini.
Bertemu
dengan teman-teman lama, berkawan dengan yang kawan-kawan baru baru, berbincang
dengan tokoh, atau mencari jodoh tentu saja. Tidak ketinggalan bagi mereka yang
memerlukan pekerjaan. Beberapa forum atau groups menyajikan kebutuhan ini.
Sepertinya dapat di jawab oleh facebook. Apapun ada disini. Seolah
ingin mengatakan bahwa inilah ruang hidup manusia baru and you you can’t live without.
Tapi
tentu saja bagi kita sebagai user dari facebook ada 2 hal penting yang membuat
berjuta orang dan saya juga termasuk diantaranya keranjingan. Yakni kebebasan
berekpresi. Facebook adalah tempat dimana kita dapat menyalurkan hasrat
berekpresi itu sebebasnya. Bagi sebagian kalangan yang narsis tentu saja
facebook adalah tempat untuk mementaskan diri.
Anda
siapa? dari mana anda? dan apa aktivitas anda menjadi tidak penting yang
terpenting adalah bagaimana menjadikan diri anda penting dilingkungan sekitar
pertemanan anda. Bahkan kalau boleh berseloroh
Tentu
saja anda akan segera menjadi orang penting bahkan mungkin teramat penting
dilingkungan pertemanan anda jika anda mampu membuat orang lain terpancing
memberikan komentar-komentarnya sehingga jika anda batuk sekalipun boleh jadi
kejadian penting minggu ini. Lucu bukan? Tidak berhenti sampai disana.
Secara
sosiologis facebook ini semacam pertemuan ruang pribadi dan privasi dengan
ruang lalu lintas umum. Dimana anda bukan milik anda secara pribadi saja
melainkan anda adalah public spokesman.
Anda
harus bersiap mendapatkan sederet peristiwa maha penting lainnya yang kalau di
ukur dari nilai urgensinya mungkin saja teramat sangat tidak penting bahkan
terlalu remeh dan temeh. Meski tentu saja maha penting untuk ukuran diri anda
sendiri.
Ekpresikan Dirimu
Eksistensi dan
keberhasilan anda mengangkat diri anda di dunia facebook adalah, anda atau
siapapun anda, siapun diri anda yang sebenarnya anda dapat mengekpresikan
segala macam hal. Keberadaan anda dan eksistensi anda di tentukan dari
bagaimana anda membuat diri anda semenarik mungkin.
Setuju tidaknya
anda pada dukung mendukung atau hujat menghujat pada isu baik itu Poligami,
Korupsi, Polisi atau Masalah aktual yang dihadapi masyakarat atau masalah yang
anda hadapi boleh jadi ketika anda menampilkannya dan mendiskusikannya. Anda
sedang menjalin sebuah transkomunikasi anda menampilkan maslah tersebut
kehadapan publik facebook setidaknya pada jaringan yang anda miliki.
Anda Adalah Pentas Anda
Munculkanlah
sebuah status dalam facebook anda. Entah itu mengenai kegiatan anda, entah itu
mengenai siapa anda atau anda sedang Borrriiiing.
Seketika itu juga teman anda atau orang
yang sudah menjalin pertemanan dengan anda di facebook akan menyahut anda.
Hebatnya
anda sedang mementaskan diri anda sendiri dalam pentas yang anda dapat atur
sedemikian rupa sehingga pentas-pentas itu setiap waktunya adalah penggalan
kisah yang akan terus membuat anda mengaktualisasikan diri anda dimana bintang
utama nya adalah anda sendiri.
Meski
sedikit narsis, semakin anda menampilkan status yang paling menarik anda akan
semakin mendapatkan perhatian. Bukan itu saja identitas anda yang sebenarnya
sangat pribadi pun boleh jadi mendapatkan perhatian yang tidak sedikit jika
tentu saja buat khalayak atau lingkungan teman sekitar anda menggangap
“celotehan” anda menarik buat mereka tanggapi.
Kamu, Kamu dan kamu Adalah Bintangnya Facebook
Siapa lagi kalau
bukan anda bintangnya. Kalau anda bisa mengekpresikan apapun kalau anda bisa
mengaktualisasi diri anda dan anda mementaskan diri anda maka tentu saja
andalah bintangnya. Hasrat menjadi ada—eksis. Bahkan lompat jauh dari ke-adaan-
ada. Anda malah menjadi bintangnya meski ruang lingkupnya bagi teman anda bagi
ajringan anda sendiri. Seutuhnya di suguhkan oleh facebook untuk anda.
Ini artinya kamu,
kamu dan kamu sekalian yang menjadi bintangnya. Jadi jangan main-main dengan
tampilan anda di facebook. Saking dahsyatnya efek seketika facebook menjadikan
anda bintang dalam waktu singkat. Efek interaktifnya menjadikan anda sangat
eksis diantara ruang pergaulan jaringan anda. Bahkan anda adalah pusat
perhatiannya.
Anda boleh jadi
petani atau tukang jahit anda boleh jadi guru TK atau guru besar sekalipun
hampir tak memiliki batas ketika anda mampu membut ruang pergaulan dengan
britney sprears misalnya, atau seorang artis sangat terkenal boleh jadi
memberikan komentarnya di ruang dinding anda. Bagaimana anda mengelak kalau
kawan anda di jaringan langsung berkomentar. ”Cie yang temennya artis”.
Jangan Main-main
dengan tampilan status anda karena bukan tidak mungkin keberuntungan atau
kesialan jsutru menghampiri anda dalam sekejap saja. Maka Ucapkanlah selalu seperti
lagu The Rock. ”kamu-kamu adalah penghuni surga” maka facebook akan mengatakan
pada anda ; kamu-kamu adalah penghuni facebook. Ucapkanlah salam pada seluruh
penghuninya maka seluruh penghuni facebook menebar salam pada anda.
Aha! Ada Facebook
Untung ada Facebook setidaknya
jejaring sosial ini memiliki keberdayaan membangun relasi yang menghubungkan
satu dengan lainnya, dan facebook memiliki kekuatan tersendiri.
Jari jemari yang dulunya hanya
berkekuatan di layar monitor, kini bahkan sudah berfungsi melintasi dimensi
fungsi tadi ia justru menjadi instrument penggerak bagi isu-isu apapun. Apalagi
yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Atau isu publik lainnya yang
masyarakat terlibat didalamnya dalam menciptakan opini menyeluruh.
Aha! ada Facebook. Kita tidak
sendirian ketika menghadapi masalah. Itu juga yang terjadi dengan Prita, dengan
Nenek Minah, dengan Bibit dan Chandra yang sangat fenomenal itu. Loh Kok bisa?
Kan kita ikut FB mah! Dengan nada persis iklan layanan masyarakat tentang
keluarga berencana.
***
![]() |
Selamat Datang Di
Dunia Facebook
Usman Yasin dan Dan Gibran
Segala
macam praktik untuk merancang, membuat dan mereproduksi informasi adalah sebuah
kekuasaan yang dapat menguasai, keniscayaan ini menjungkir balikan nilai apapun
yang sebelumnya nyata menjadi isapan jempol. Ataupun sebaliknya dari sekedar
isapan jempol justru menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Meski demikian ia
hanya terbantahkan oleh kebenaran itu sendiri.
Selamat datang Jejaring sosial paling menglobal sejagat yakni Facebook. Facebook adalah nama salah satu web
tempat kita berada ketika mengarungi dunia informasi global interaktif yang
bernama internet, secara fisik internet tak lain adalah sekumpulan komputer
yang dihubungkan satu sama melalui jaringan telekomunikasi satelit global dan
kabel telephone lokal. Sejatinya Internet adalah kekuatan baru dalam Jagat raya
maya. Atau biasa disebut juga dengan istilah mayantara.
Facebook bukan
hanya mempertemukan saya dengan teman yang sudah 10 tahun tidak berkomunikasi. Facebook
juga menjadi alat ekspresi dan pernyataan sikap. Bahkan lebih dari pada
itu. Ia adalah ruang berinteraksi sekaligus beraksi. Dan tanpa disadari
kenyataan yang tak boleh di bantah oleh siapapun adalah. Terbentuknya Team 8.
Banyak Kalangan mengakui bahkan salah seorang anggota team 8 Sendiri Todung
Mulya Lubis yang menegaskan karena adanya tekanan facebooker yang menyebabkan
Istana sedikit bergetar.
Situs
jejaring social yang dimikili oleh sorang anak muda kreatif Mark Zuckerberg
inipun meroket menjadi situs jejaring social paling besar di dunia. Bahkan
konon dari beberapa informasi saat ini telah mencapai hampir setengah milyar
manusia dijagat raya ini. Sungguh luar biasa.
Suka ataupun
tidak ini adalah keniscayaan saat ini ketika informasi dan perangkat teknologi
informasi makin tak terbendung, makin tak terbantahkan bahkan terkecuali ia
hanya menyisakan sedikit sekali ruang atau sekat-sekat, sehingga makin tak
relevan ketika kita masih ada pihak-pihak yang berani menyebarkan kebohongan.
Selamat datang didunia informasi, Selamat dating di dunia facebook.
Siapa
Menguasai Informasi Ia Menguasai Dunia
Pepatah tadi saat ini rupanya sudah bukan isapan
jempol belaka. Dunia informasi dan kebutuhan akan berita merupakan suatu
keniscayaan yang tidak terbantahkan. Siapapun yang mengetahui informasi
terlebih dahulu akan dapat memperoleh hasil yang lebih baik daripada orang
lain. Bahkan Sun Tzu pun jauh-jauh hari sudah mengingatkannya akan hal ini,
dalam strategi peperangan yang ditulis dalam bukunya The Art of War, dia mengatakan, apabila engkau ingin menang dalam
peperangan maka ketahuilah terlebih dahulu musuhmu, karena dengan mengetahui
musuh maka 50% dari kemenangan sudah berada ditangan kita. Didunia nyata hal
ini diterapkan dalam bursa efek, perbedaan informasi yang diterima dalam
hitungan menit atau detik dapat berakibat keuntungan atau bahkan kerugian
besar.
Pada jaman Bahari orang Inggris dengan bangganya
mengatakan Siapa yang menguasai samudra, ia akan menguasai dunia, sehingga
bangsa-bangsa pada saat itu berlomba-lomba untuk memperkuat armada lautnya.
Duniapun terus berputar memasuki abad pertengahan, timbul pepatah baru Siapa
yang menguasai logam mulia, maka ia akan menguasai dunia. Maka mulailah terjadi
booming emas dimana-mana. Perbudakanpun dilegalkan dalam rangka mencari emas,
daratan Amerika yang menjadi tanah leluhurnya suku Indian pun di rebut dan
dikuasai oleh bangsa barat, beratus-ratus mil rel kereta api di bangun hanya
dalam rangka melancarkan sirkulasi hasil tambang, beribu-ribu imigran datang ke
daratan Amerika untuk mencari kehidupan baru. Masa the wild wild west pun menjadi kenangan sampai saat ini.
Waktu bergulir tanpa bisa dicegah, usai era
rempah-rempah, berlalunya masa kejayaan batu mulia, maka kolonialisme baru
muncul dalam bentuk emas hitam, atau lebih tepatnya di sebut dengan minyak
bumi. Era dunia industri, dimana kehidupan sosial ekonomi manusia digerakkan
oleh mesin dalam rangka menjalankan roda perekonomian berdampak pada penguasaan
sumber-sumber minyak. Duniapun mengatakan Siapa yang menguasai minyak bumi, ia
akan menguasai dunia.
Waktupun terus bergulir tanpa bisa dihentikan,
datanglah era globalisasi, yang menjadikan dunia sepertinya tidak mempunyai
batas yang nyata, arus informasi dapat datang dan pergi tanpa bisa dicegah
sehingga menjadikan batas wilayah suatu negara seperti maya adanya. Kebutuhan
akan informasi menjadi sesuatu yang sangat mutlak dan tidak bisa dihindari
dalam kehidupan keseharian. Sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia
tidak bisa hidup tanpa media massa
sebagai alat penyedia kebutuhan informasi. Manusia modern sangat ketergantungan
akan media elektronik, khususnya media massa ,
khususnya lagi kebutuhan akan berita. Hidup akan terasa hampa bagi sebagian
orang apabila tidak mengetahui informasi yang sedang berkembang. Maka mulailah
kebenaran akan doktrin Siapa yang menguasai informasi, ia akan menguasai dunia,
menjadi kenyataan.
Issu dapat dibangun ketika menguasai informasi dan
mungkin saja terjadi di dunia sekarang yang serba komputerisasi, yaitu
penguasaan dunia dalam bentuk lain : pembentukan opini. Sekali opini terbentuk
maka sangat sukar untuk merubah ataupun menghilangkannya, tinggal si empunya
maksud melanjutkan kepada sasaran akhirnya saja.
Siapa Menguasai
Teknologi informasi merupakan produk jaman modern
yang selalu dengan mudah diupgrade kemampuannya dari waktu ke waktu, bahkan
hitungannya detik, dan dapat dikatakan kemajuan tehnologi informasi tidak
berbanding lurus dengan kemajuan dibidang lain. Kemajuan dibidang teknologi
informasi lompatannya sangat signifikan, bahkan bisa dikatakan memimpin atau
paling tidak menjadi acuan bagi bidang yang lain.
Dampak dari kemajuan teknologi informasi adalah
informasinya itu sendiri sebagai suatu BERITA atau NEWS yang menjadi suatu
kebutuhan bagi setiap orang, berita dengan cepatnya menyebar dan menimbulkan
pro dan kontra, dan bahkan dampak yang ditimbulkannya bisa menimbulkan spirit
untuk orang mengadakan sebuah aksi, termasuk juga bisa menimbulkan aksi
anarkhis, bahkan juga berdampak pada hubungan diplomatik antara dua negara
karena adanya muatan-muatan tertentu dari berita yang dilansir.
Dirilisnya film Fitna yang dibuat Geert Wilders, Jauh-jauh hari sebelum
peluncuran Film Fitna di media internet, yang bersangkutan telah meminta izin
kepada pemerintah Belanda untuk melansir film hasil besutannya tersebut melalui
bioskop, namun pemerintah Belanda mengambil sikap melarang secara resmi dengan
berkaca pada kasus Salman Rusdy dan kasus kartun Nabi Muhammad SAW yang dimuat
di surat kabar harian Denmark telah menuai kecaman keras dimana-mana.
Namun pemerintah Belanda tidak bisa menghentikan
sepak terjang, Geert Wilders yang meluncurkannya melalui media internet dengan
alasan kebebasan berekspresi. Dan ternyata benar, begitu Film tersebut dilansir
melalui internet, maka kecaman dari segala penjuru mulai muncul, khususnya dari
berbagai negara Islam, terlebih-lebih Indonesia sebagai negara
berpenduduk umat muslim terbesar di dunia.
Kekuatan informasi dalam hal ini yang diwakili
oleh Film Fitna telah menunjukkan jati diri media informasi sebagai salah satu
alat untuk menguasai dunia. Ia relevan dengan apa yang terjadi dengan
perkembangan saat ini. Bahwa dunia tak sedikitpun bahkan mengandung
ketikamungkinan untuk tak bersinggungan dengan dunia informasi. Dan terutama sekali
Internet.
Informasi yang direlease mempunyai dua sasaran
utama sebagai bentuk pencapaian grand strategy penguasaan (dunia). Sasaran
pertama, adalah terbentuknya opini, harus di ingat pembentukan opini adalah
suatu kegiatan yang sistematis, tersusun sedemikian rupa, terorganisir kadang
terselubung dan tanpa disadari oleh sasaran yang dimaksud. Pembentukan opini
ditujukan kepada sasaran pasif, yaitu orang-orang tertentu atau kelompok
tertentu sebagai si penyimak berita. Berita di buat dan diolah sedemikian rupa
untuk menarik dan menjadi perhatian. Berita yang disajikan bisa saja berita
yang aktual,
Karena memang berita yang semacam ini yang diburu
dan dicari, apalagi kalau penyampaiannya melalui media elektronik yang
mempunyai kemampuan menyebar seperti serbuk bunga di tiup angin di padang ilalang luas.
Berita akan dicari, kemudian di analisa dan kemudian didiskusikan dan biasanya
menimbulkan sikap pro dan kontra. Sekali sikap pro dan kontra terjadi maka
sasaran pertama terbentuklah sudah.
Sasaran kedua, adalah tindakan nyata sebagai
bentuk perlawanan terhadap tindakan terhadap ketidakberdayaan, biasanya
tindakan yang diharapkan adalah tindakan perlawanan, dan membentuk opini untuk
menekan sebuah kekuatan kekuasaan. Kawula muda atau kelas menegah perkotaan
adalah orang-orang yang melabelkan dirinya sebagai kaum idealis tinggi, apapun
berita yang berbau mendeskriditkan dan diskriminatif terhadap ketidak berdayaan
anak bangsa entah itu benar atau tidak akan disambut dengan semangat perlawanan
tinggi yang seringkali diwujudkan dalam bentuk aksi protes, demo jalanan yang
biasanya berakhir dengan tindakan anarkhisme apabila aspirasi yang di usung
tidak mendapat tanggapan seperti yang mereka harapkan.
Sasaran kedua inipun sudah dapat terwujud, dengan
cara membutuhkan satu peristiwa sebagai trigger, sehingga persoalan inti akan
semakin kabur, namun radikalisme dan anarkhismelah yang nantinya paling
menonjol.
Informasi Milik Siapa?
Segala macam praktik, seperti seni
penggambaran, komunikasi dan representasi, yang mempunyai otonomi relatif dari
bidang-bidang ekonomi, sosial, dan politik dan yang sering muncul dalam
bentuk-bentuk estetis. Film, Televisi, Drama, dan Novel menjadi semacam media
yang mengembangkan perannya sebagai industrialisasi citra.
Dan juga
karya-karya informatif dan juga imaginatif yang mampu merangsang, membangkitkan
dan sekaligus menggerakan masyarakat. Dapat dikatakan memiliki otoritas untuk melakukan
perubahan secara revolusioner. Ditambah lagi otoritas itu semakin tak
terbendung dengan hadirnya globalisasi.
Ya betul di era globalisasi ini ada pertanyaan
menarik, milik siapakah sebenarnya informasi itu. Berkaca kondisi saat ini,
maka kita katakan bahwa informasi adalah kebutuhan mutlak bagi setiap orang,
apalagi dikaitkan dengan makin sulitnya arus informasi dibendung dan semakin
mudahnya seseorang mendapatkan informasi dari berbagai sumber, baik yang legal
maupun illegal. Apalagi kalau sudah dihubungkan dengan kebebasan berekspresi
sebagai produk dari demokrasi, maka akan semakin kuatlah keyakinan orang bahwa
informasi adalah bagian dari hak asasi.
Jika saja hadirnya facebook lebih dini mungkin
kita akan mengetahui bahwa rezim-rezim yang berkontribusi untuk menyelewengkan
informasi untuk mendekonstruksi dan membuat realitas menjadi demikian terbalik
kini justru harus berpikir ulang bahwa kenyataannya tidak ada yang mampu
membiarkan informasi berkembang tanpa mendapatkan pelurusan secara terang
benderang.
Dan contoh paling tak terbantahkan adalah fenomena
pembelaan terhadap Bibit Chandra yang terjadi di Indonesia ini. Inilah sebuah
kenyataan yang tak terbantahan bahwa informasi tak lagi sanggup untuk di
bendung. Ia boleh saja di belokan tapi sangat sulit untuk di bendung.
Kebutuhan akan informasi sudah meningkat statusnya
dari need to know menjadi right to know. Dengan demikian maka
informasi merupakan milik pribadi dan sekaligus milik publik. Karena dikatakan
informasi menjadi milik dan kebutuhan publik, maka informasi perlu disebar
luaskan agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengetahui
sesuatu. Yang menjadi permasalahan apabila penyebaran infomasi atau penahanan
beredarnya suatu informasi mempunyai “ maksud-maksud tertentu “, entah itu
politik, ekonomi, hankam, dsb. Maka info akan dikemas sedemikian rupa agar
maksud dan tujuannya tercapai. Siapa atau apa yang disasar, tentu saja dua
sasaran seperti yang telah dijelaskan diatas.
Mengacu pada penjelasan informasi milik siapa maka
makin jelaslah peranan informasi di era global ini bukan saja menjadi kebutuhan
tetapi bisa menjadi senjata yang amat ampuh dalam rangka penguasaan sesuatu entah
itu awalnya pembentukan ataupun penguasaan opini, pembelaan terhadap sebuah
tindakan diskrimintaif atau kriminalisasi terhadap sesuatu yang sedang berjalan
dalam koridor pembelaan public atau apapun namanya, sampai akhirnya tujuan
informasi mencapai tujuan yang sebenarnya
Jadi kesimpulan
kita tidak boleh ketinggalan dengan informasi, karena informasi adalah
senjata, tinggal bagaimana kita menggunakannya. Apabila kita dapat
mempergunakannya secara tepat maka keuntungan dan manfaatlah yang diterima,
namun sekali salah mempergunakannya kerugian yang pasti akan diterima.
***
Generasi Baru Anti Korupsi 2.0.0.9
Usman Yasin
Dukungan terhadap Wakil Ketua nonaktif Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah di jejaring
social Facebook terus mengalir
deras. Terutama setelah sidang Mahkamah
Konstitusi Selasa (3/11) memperdengarkan rekaman penyadapan KPK atas Anggodo
Widjojo.
Bahkan Kamis (5/11/09) enam hari sejak
diluncurkan, jumlah anggota grup Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra
Hamzah & Bibit Samad Riyanto mencapai angka 892 ribu pada pukul 19.45 WIB.
“Ini fenomenal. Surprise sekali,”
Sebagai penggagas saya memang terkesan dengan
situs jejaring sosial milik Mark Zuckerberg itu. Facebook bukan hanya
mempertemukan saya dengan teman yang sudah 10 tahun tidak berkomunikasi. Facebook
juga menjadi alat ekspresi dan pernyataan sikap. Padahal saat awalnya, saya yang sedang studi
S-3 bidang lingkungan di Institut Pertanian Bogor itu hanya menargetkan 500
teman yang dikenal untuk berdiskusi soal penahan Bibit dan Chandra.
Untuk mempromosikan dan melibatkan lebih banyak
orang yang terlibat saya mencoba memasukkan link grup dukungan itu ke
grup-grup lain di Facebook. Saya meilih
yang kelompok besar, yang anggotanya sudah di atas 1.000 orang. Jadi informasi
ini cepat tersebar.
Dengan menggunakan Facebook, semua dukungan
itu juga sangat transparan. Setiap orang juga bisa melihat bahwa dukungan ini
tidak direkayasa. Nama dan foto setiap
orang yang bergabung terdokumentasikan sebagai bagian dari gerakan. Pertambahan pendukung makin cepat diakibatkan
kebijakan-kebijakan yang diambil dalam kasus tersebut. Jika kebijakan yang
diambil pihak penguasa salah, maka orang akan semakin terdorong untuk
bergabung.
Jumlah anggota grup yang meningkat pesat ini, bisa
dijadikan alat untuk mendeteksi ketidaksetujuan masyarakat terhadap
kebijakan-kebijakan aparatur negara.
Respons masyarakat yang luar biasa karena mereka mengalami hal-hal yang
juga saya alami. Semua ini muncul dari alam bawah sadar, yang sudah lama
menumpuk sebagai rasa tidak simpati dan tidak senang bahkan kebencian kepada
aparat yang pernah mereka mengalami, atau keluarga mereka mengalami, atau
orang-orang dekat mereka mengalami ketika berhubungan dengan aparat penegak
hokum, baik itu dijalan atau bahkan di kantor-kantor resmi aparat penegah
hukum. Orang-orang mungkin juga sudah mengalami seperti saya, atau pak Bibit
dan mas Chandra alami.
Jumlah telah melampau angka psikologi dari derakan
ini memang di luar perkiran bahkan sangat fenomenal untuk ukuran di Indonesia
atau didunia sekalipun, karena pertumbuhannya yang hanya membutuhkan 9 hari
untuk mencapai angka 1 juta dukungan.
Aktivitas Anti Korupsi
Saya memang belum lama berkenalan dengan Facebook,
umur akun saya belum genap setahun. Namun saya bukan orang yang baru berkenalan
dengan isu korupsi. Saya kerap melakukan
advokasi pada sejumlah kasus korupsi di Bengkulu. Dari pengalaman itu, saya
melihat jelas ada mafia peradilan yang kerap memengaruhi proses penegakan hukum
di Indonesia .
Saya banyak bertemu kejaksaan, kepolisian, dan hakim di pengadilan. Dari situ
saya tahu ada tangan-tangan yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Saya juga belajar bahwa untuk menghasilkan
keputusan yang adil membutuhkan perjuangan yang luar biasa, bahkan cenderung
bertele-tele, menghabis waktu, sumberdaya bahkan sumber dana.
Ketika melihat kasus yang menimpa Bibit dan
Chandra, saya tergerak untuk mempelajari latar belakang kehidupan dan rekam
jejak karier mereka berdua. Saya merasa, apa yang mereka alami hampir sama
dengan yang pernah dialami diri saya sendiri dulu, karena melakukan advokasi
kasus korupsi bukan saja bisa berbalik kepada kita, tetapi bisa kehidupan kita
diteror bahkan diancam. Saya melihat ada
masalah dalam penegakan hukum Indonesia ,
baik dari level terendah hingga ke level tertinggi. KPK adalah sebuah harapan
untuk reformasi penegakan hukum di Indonesia, untuk itulah saya mulai dari
kamar kos saya yang sederhana, dan berjarak hanya sekitar 500-an meter dari
Kampus IPB Dramaga Bogor, untuk melakukan advokasi dengan menggunakan teknologi
informasi melalui jejaring sosial dunia maya facebook.
![]() |
Jangan
Main-Main Ada
Facebook
Dan Gibran
Gelombang dukungan yang begitu besar
terhadap perseteruan antara Cicak melawan Buaya, terutama bagi dan terhadap
mereka yang mendukung para mantan pimpinan KPK yang di nonaktifkan karena
menyandang status tersangka. Menjadi sebuah pelajaran sekaligus fenomena sangat
berharga bagi demokrasi indonesia .
Sebagai warga negara biasa kita selalu
menghadapi persoalan sendirian, apalagi ketika persoalan tersebut menyudutkan
kita, dan ketika itu juga kita berhadapan sendirian vis a vis dengan penguasa.
Yang kita asumsikan adalah seperangkat apparatus sekumpulan instrument yang
tentu saja makin membuat kita merasa bahwa kita adalah “No Body” Inferior complek bisa lantas menyergap
relung mental kita lantas. Kita akan Diam tak berdaya. Dalam keadaan terpojok
pula.
Tapi itu dulu, itu ketika suara anda
adalah suara rakyat tak berharga yang hanya mengisi ruang legitimasi kekuasaan
setiap 5 tahunan sekali, ketika suara andapun dapat ditukar dengan selembar
uang recehan, yang anda kemudian menitipkan suara anda pada orang-orang
“terpercaya” yang sejatinya mewakili anda meski kerap kali mereka justru
mengkhianati amanah dengan menjadi budak kekuasaan semata.
Hal ini juga bukan hanya mempengaruhi
sikap kita sebagai rakyat jelata ketika ruang masalah kita terangkat ke public,
tapi juga sikap mereka yang berada di ranah public, pejabatkah, pemegang
kekuasaan kah, atau selebriti dan artis yang biasa bersliweran berada di tabung
kaca.
Bahwa siapapun tidak boleh tidak
berhati-hati menggunakan keleluasaannya. Kemampuannya untuk tampil menjadi
pemuka publik. Kesempatannnya berada diranah public tadi bukan tidak beresiko.
Karena mereka disaksikan oleh berjuta mata- berjuta telinga dan berjuta
facebooker tentunya.
Facebook sudah membuktikan itu bahkan
lebih jauh dan bertenaga jejaring social lintas generasi dan lintas batas
Negara dan ras ini. Obama adalah prestasi cukup penting bagi facebook. Bahwa
para facebooker di Amerika pernah antusias mendorong perubahan yang di
dengang-dengungkan, sebagai anti klimaks dari regulasi sebelumnya yang dinilai
eror dan terbukti public Amerika haus akan Change.
Pembelaan
Publik
Ketika seorang ibu rumah tangga dengan
anak yang masih kecil-kecil yang dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan
pencemaran nama baik melalui penyebaran email. Empaty public serta merta ikut
melakukan pembelaan. Atas nama nurani yang terusi. Atas nama orang-orang kecil,
orang-orang biasa yang terpinggirkan. Mereka seketika itu juga terpanggil
memberikan reaksinya.
Ketika polisi menahan Bibit dan Chandra,
public dengan segala macam efek seketikanya memberikan respon, bagaimana upaya
pemberantasan Korupsi benar-benar berjalan sementara mereka adalah bagian dari
KPK dan KPK sejauh ini memberikan bangunan harapan bahwa pemberantasan Korupsi
memang berjalan
Main-mainlah
Akibatnya Bukan Main
Sekalipun anda adalah idola publik yang
kerap kali menjadikan anda sensasi, dengan bergelimang perhatian publik, dengan
lontaran dan atau sekali celotehan yang memperburuk citra anda maka seketika
itu juga facebooker akan memberikan peringatan pada anda. Bahkan mungkin juga
penghinaan dan caki-maki yang tiada hentinya dari warga negara paling bebas di
seantero jagad mayantara ini. Facebookers.
Demikian juga untuk anda para pejabat. Main-mainlah
anda dan tak perlu pikirkan akibat lanjutannya mereka yang bermain-main dan
kelihatan tidak melek media, namun jsutru hidup diranah public terbiasa dengan
sensasi yang membiarkan kebodohannya menjadi arena tontonan tapi kini tidak
lagi demikian. Bahwa orang perorangan kini bisa memberikan “balasannya”.
Memberikan langsung punish ataupun reward nya pada anda.
Lihatlah bagaimana ketika komisi III DPR
mempertontonkan dirinya “mencari muka” ketika rapat dengar pendapat dengan
Kepolisian, pada tengah malam itu juga berlaku tuntutan dan kecaman terhadap
ketiak puasan rakyat. Dalam sekejap angka 50 ribuan pendukung groups facebooker
kecam komisi III pun tak terelakan. Sehingga memaksa anggota DPR berganti wajah
pada RDP berikutnya yang kelihatan sedemikian seriusnya.
Dihadapan publik yang bersuara anda
tentu tidak bisa membiasakan diri untuk tetap menganggap anda tidak disaksikan
oleh public. Agresifitas public yang mencengkeram leher anda dibuktikan dengan
deretan komentar-komentar yang tidak sedikit membuat anda merasa tercekat.
Sehingga tentu saja anda haru sehaluan dengan perasaan dan keinginan public
yang semakin melihat anda tanpa sekat.
Inilah ritus pengawalan sekaligus
pengawasan juga pendampingan yang mampu membuat demokrasi menjadi niscaya hadir
ke tengah-tengah public. Partisipasi bukan lagi sekedar transaksi konvensional
yang bisa dilepas begitu saja dalam kurun waktu tertentu melainkan detik
perdetiknya bisa berubah. Yang tadinya cinta bisa berubah menjadi benci
demikian juga yang tadinya benci bisa membesar menggulingkan anda. Maka berhati
hatilah!. Main-mainlah jangan kaget akibatnya bukan main. rruuuaarr biasa.
***
Bukan Sekedar Dunia
Maya :
Usman Yasin
Memulai
sesuatu yang bermakna dalam hidup kadang kita tidak menduga sejauh mana hal
tersebut berpengaruh pada diri kita, lingkungan kita, atau daerah kita apalagi
sampai ke tingkat nasional, bahkam Internasional. Seseorang mungkin tidak menduga apa yang
akan terjadi dengan apa yang ia lakukan.
Niat, keseriusan, kesungguhan tanpa kenal lelah memungkinkan apa yang
dilakukan suatu saat akan menghasilkan hal yang tidak kita duga
sebelumnya.
Columbus
contohnya, dengan sebuah hipotesisnya dia berasumsi jika dia bergerak
menggunakan perahu layar dan berlayar dari Britania Raya, kemudian bergerak
kearah timur maka suatu saat dia akan ketemu dengan daratan Tiongkok, siapa nyana dengan
hipotesis tersebut justru dia mendarat ke sebuah daratan baru yang kemudian
dinamai dengan Benua Amerika. Columbus tidak menyangka
bahwa dengan melakukan sesuatu dengan berbasis pengetahuannya bahwa bumi itu
bulat, akhirnya dia membuat sebuah sejarah yang besar, yaitu menemukan Benua Amerika.
Kemudian
seorang ilmuan besar Archimides misalnya, secara tidak sengaja dia menemukan
bagaimana cara untuk mengukur volume sebuah mahkota yang tidak beraturan. Dia
ditantang oleh seorang raja untuk mengetahui bagaiman cara untuk mengukur
apakah mahkota raja ini terbuat dari emas murni atau tidak. Saat itu, dia berpikir keras bagaimana cara
untuk mengetahui apakah mahkota ini terbuat dari emas murni, maka paling tidak
dia membutuhkan, pengetahuan tentang berat jenis emas murni, maka dia
memerlukan data berat mahkota tersebut, hal ini bisa dilakukan, berat jenisnya diketahui, persoalannya lagi
adalah bagaimana menghitung volume mahkota yang bentuknya tidak beraturan
tersebut. Kalau balok dengan mudah
dihitung volume = p x l x t = panjang x lebar x tinggi.
Karena
Archimides sebagai seorang ilmuan ditantang untuk melakukan untuk mengetahui
emas itu asli atau tidak, maka dia berupaya keras melakukan penghitungan dengan
berbagai cara, kalau tidak ditemukan maka dia harus menerima hukum gantung dari
raja. Dengan tekanan luar biasa, justru
kondisi ini membuat Archimides sakit deman panas, dalam kondisi mengigau diluar
kontrol alam sadarnya sampai-sampai dia menceburkan diri ke dalam kolam yang penuh
terisi air.
Tanpa
dia sadari justru kejadian tersebut menjadi inspirasi beliau untuk menentukan
bagaimana mengukur volume sebuah benda yang tidak beraturan. Hal ini dia temukan, dengan analogi bahwa
kolam yang berbentuk persegi panjang yang terisi dengan volume air yang bisa
dihitung, pada saat dirinya mencebur ke dalam kolam maka airnya akan bertambah
volumenya sebesar volume tubuhnya. Dari
kenaikan tinggi muka air kolam atau volume kolam itulah maka dapat ditentukan
volume benda yang tidak beraturan atau dalam hal ini adalah volume tubuhnya
sendiri.
Dengan
asumsi tersebut, akhirnya dia berteriakan eupika, eupika, eupika = saya tau,
saya menemukan jawabannya. Artinya dia
mendapatkan jawaban bagaimana mengukur volume mahkota yang tidak beraturan tersebut,
dengan sendirinya dia mendapatkan jawaban apakah mahkota tersebut murni terbuat
dari emas asli atau tidak.
The
Wisdom of Facebook
Ada
cerita tentang Nenek Minah yang ditahan karena mengambil 3 Buah Biji Kakao,
Atau ada cerita tentang Prita yang mengharukan ketika kuasa imperialisme
ekonomipun menjajah tak kenal ampun memotong urat nadi hubungan Seorang Ibu
Rumah Tangga dengan Keluarga dan Anak-anaknya lantaran harus di tahan di balik
jeruji besi. Atau yang mungkin anda bisa saksikan sedkit fenomenal adalah,
pembelaan terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Kesemua
hal itu adalah sedikit cerita dari bagaimana fenomena dukungan public yang
demikian meluas atas aras keadilan yang menjadi Soal besar di republik Bedebah
menurut Adhie Massardi. Persoalan besarnya adalah keadilan yang tak kunjung
dating, justru ketika hukum positif terus berjalan, ironisnya Hukum tadi juteru
menggerus rasa keadilan. Seolah-olah Aparat hukum adalah anasir yang dapat
menentukan, mendefinisikan dan bertindak atas nama “Keadilan”.
Mereka
lupa bahwa keadilan bukan sekedar pelaksaan hokum positif secara procedural.
Ketika sebuah kasus ditetapkan lalu ada tersangka sebagai pesakitan yang
dikorbankan untuk menerima muara kesalahan, bukankah hal semacam itu hanyalah sebuah
praktek “Sandiwara Hukum”. Dalam bahasa sederhananya hokum ditegakan. Keadilan
dipinggirkan.
Dan
ketika masyarakat melihat dengan mata dan pengamatan mereka yang terang
benderang. Lewat kaca mata common sense, perlahan namun pasti mereka tergerak untuk
menggali lebih lanjut informasi, dan pada suatu titik tertentu ketika
masyarakat melihat pola ketidakserasian antara logika mereka yang sederhana
dengan “Kerumitan” keadilan yang di reka-reka sedemikian rupa dalam bahasa
hukum.
Maka
dari sanalah tiba-tiba bergemuruh suara-suara yang begitu “gundah” kegundahan
itu kemudian makin tak terbendung. Dan ia terus mengalir mencapat suatu titik
kulminasi kegelisahan. Dan kemudian mengkristal menjadi sikap. Dan mereka
berkumpul dalam sebuah ruang pertemanan dunia maya bernama Facebook.
Dari
sebuah lingkaran kecil pertemanan kemudian masuk pada group-group dukung
mendukung atau sebaliknya, mereka menyatakan sikap. Memberikan komentar,
mengalir dengan sendirinya undang-mengundang sesame kawan dilingkaran mereka
sendiri atau diluar ingkaran mereka. Lalu yang terjadi ia seperti juga laksana
gurita yang menjulur ke berbagai kisi-kisi dan sudut-sudut ruang manapun dan
TAK TERBENDUNG.
Jika
sebelumnya facebook mampu menemukan perkawanan lama yang telah lama hilang dan
kemudian dapat mengorganisir diri untuk melakukan reuni komunitas tertentu.
Atau sekedar mencari lowongan pekerjaan. Atau memberikan suka atau tidak suka
pada status-satus kita.
Facebook
malah menjadi sebuah arena yang kemampuannya lebih dahsyat dari itu. Bahkan Ia
dapat membebaskan Chandra Hamzah atau menguritakan dukungan terhadap gerakan
koin untuk Prita. Atau membuat aparat waspada memenjarakan Nenek Minah dan
Lanjar.
Membayangkan
revolusi social berkumpulnya manusia dalam jejaring social, seolah memberikan
ruang baru, kanal penyelamat kehidupan, bahkan ruang oportunitas untuk tujuan
apapun juga. Maka facebook memang telah nyata memberikan konstribusi bagi
perbaikan social. Tidak hanya itu facebook mendorong perubahan masyarakat
kedalam masyarakat yang kritis. Tidak bisa seenaknya siapapun membungkam
informasi. Bahkan sekecil apapun atau bahkan sebesar apapun pertahanan untuk
mempengaruhinya.
Inilah
ruang kedaulatan baru. Tempat dimana ekpresi-ekpresi masyarakat dapat di
sejajarkan dengan para panelis yang sering hadir mengisi ruang media
konvensional. Karena Anda adalah pemiliknya. Facebook menghadirkan anda sebagai
rakyat sekaligus pemilik kesejatian akan kekuasaan menentukan sikap. Inilah
‘wisdom” yang kita dapat dari facebook.
***
Tuhan Bertanya : Kamu
Punya Facebook
Dan Gibran
Lalu Tuhanpun
bertanya. Kamu Punya Facebook? Apa jadinya kalau ternyata anda mesti menjawab. Belum bikin. Apalagi kalau sampai Gak punya. Sebab ternyata facebook mampu
membasmi korupsi, sebab sebagaimana kita tahu inilah dosa akar dosa
sesungguhnya. Karena ia mencuri keadilan dari segala makhluk lainnya di dunia.
Korupsi adalah
mencuri kebahagiaan mereka yang berhak mendapatkannya. Seorang anak dicuri
kebahagiaannya lantaran ayahnya mengalami kecelakaan, disebuah jalan yang
dibangun dengan kualitas yang sangat buruk. Sehingga sementara kebahagiaannya
terampas karena sang ayah meninggal dunia. Korupsi memisahkan keluarga dari
Sang Ibu yang seharusnya berada di lingkungan mereka karena tidak mendapatkan
pengobatan semestinya karena ongkos obat tersebut telah dicuri yang seharusnya
di bayarkan.
Karena begitu
kejamnya efek Korupsi bahkan ia mempu membuat manusia yang seharusnya menjadi
melaikat-malaikat keadilan di muka bumi ini malah justru menjadi Iblis-iblis
kecil yang berkolusi dengan mereka yang membayar ”argo”. Sebab kita sama-sama
tahu kalau korupsi merubah malaikat penjaga pintu keadilan menjadi Buaya-buaya
yang rakus menghisap
Dulu manusia dimuka
bumi ini meneriakan keadilan dengan turun ke jalan-jalan atau sebagian kaum
hipokrit masuk ke dalam jaring kekuasaan untuk berdalih. ”Mau merubah dari
dalam!”. Tapi apapun itu, justru nyatanya terjebak pada keindahan kekuasaan
yang begitu membutakan mata batin dan hati nurani. Inilah relevansinya anda
ikut facebook. Ini sama sekali bukan ”joke” atau saran iklan layanan masyarakat
sekelas KB. Ini malah jauh lebih penting dari sekedar KB ini FB bung!
Sehingga jangan
terheran kalau sampai Tuhan Bertanya pada anda. Kamu Punya Facebook? Ini tentu
saja membuat anda malu. Bikin dong! Masih untung kalau dapat anda tidak punya
facebook. Lalu menjawab dengan jujur. Sebagian lainnya pejabat-pejabat kita di
negeri rezim Buaya mungkin ditanya; Kamu Punya Facebook lalu dijawab. Punya,
Tapi sudah saya jual.
Dulu kala sekali
setiap kali kebobrokan muncul kepermukaan. Lalu si pejabat menyarankan kotak
pos sebagai salurannya. Persoalan bahwa dilanjuti atau tidak dilanjuti. Di
benahi atau justru didiamkan bukan lagi persoalan yang penting rakyat sudah
mengirimi mereka dengan gundukan surat menyurat dan korespondensi. Bahkan
dengan narsisnya mereka bisa mengatakan. Surat yang dikirim adalah indikator
tanda cinta dari rakyat.
Menjadi berabe
tentunya manakala ekspektasi masyarakat yang demikian besar justru harus habis
dan terlantar lalu, sedikit demi sedikit dicuekin dicicil-cicil lama-lama
berkas dan kasus yang mertinya didorong dan kemudian sampai menjadi sebuah
proses peradilan, justru menjadi seongkot kertas kiloan yang tentunya
dikembalikan pada pemulung jalanan yang pasti dijamin tidak lagi dibaca.
Padahal boleh jadi itu bukti otentik sebuah korupsi besar.
Lalu Tuhanpun
bersabda Jadilah maka Jadilah. Alam semesta ini berikut dengan segala isinya,
Bentangan bermilyar galaksi disana dan bintang-bintang yang bertebaran di
penjuru semesta ini. Dilengkapi dengan dengan segala planetnya yang berputar
pada orbitnya dan tak luput pula dengan berbagai zat dan unsur-unsur dan segala
kemaha rupa serta bentuk didalamnya salah satunya adalah. Facebook.
Big Bang. Mungkin kata inilah yang setepatnya mengandaikan
fenomena yang terjadi di jagad dunia internet ketika lalu lintas manusia dan
manusia lainnya saat ini terhubung tanpa sekat dan hampir tak memiliki batasan
apapun baik negara maupun ras dan kebangsaan.
Judul diatas sama
sekali tidak menyinggung bahkan mengolok-olok rasa religiusitas kita, melainkan
sekedar memberikan penekanan bahwa Facebook sedemikian seriusnya dapat
memberikan pengaruh besar pada kehidupan anda. Mulai dari jaringan dan jalinan
pertemanan. Jaringan ekonomi dan jaringan lainnya. Bahkan religiusitas anda
mungkin.
Yah sulit untuk
tidak diakui Bahwa Facebook adalah fenomenal. Bahkan kalau boleh mengandaikan
secara guyon bahwa kehadiran facebook
(baca : fesbuk) adalah big bang (ledakan besar) bagi dunia digital saat ini.
Bagaimana tidak, facebook mampu memamah biak anggota-anggotanya dengan sangat
spektakuler dalam hitungan beberapa tahun saja sejak berdiri telah menembus
angka 100 juta member bahkan mungkin lebih menurut ComScore yang memprediksi
mencapai 130 juta members aktif. Bahkan data terbaru yang dirilis dari situs
wall fans pemiliknya Mark Zuckerberg bahkan telah tembus 200 juta account
aktif.
Begitu menyebar dan
menggurita dengan cepatnya sehingga Facebooker boleh dikatakan sebagai jejaring
sosial sudah bahkan telah merepresentasikan gaya hidup kekinian dan masa kini.
Sehingga jangan-jangan Tuhan memang sengaja mengagendakan bahwa Facebook adalah
drama dunia digital hasil kreasi dan ciptaan Tuhan melalui tangan dingin Mark
Zuckerberg tentunya.
Mengapa Facebook
melejit? Pakar teknologi informasi, Dr Linda M Gallant, Asisten Profesor dari
Emerson College, Boston, memberi penjelasan, ”Situs internet umumnya menyajikan
informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Sekarang ini para
penjelajah ingin berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat
itu.”
Umat
Facebook-iah
Demam Facebook yang
tak terbantahkan tersebut melahirkan sebuah syndrome keranjingan. Bagaimana
tidak, saat ini mulai dari bangun tidur bahkan sampai akan beranjak tidur, dari
mulai kerja dikantor sampai mau tutup kantor, mulai dari makan siang sampai
makan-makan, terus menerus keranjingan facebook.
Mulai dari keluar
rumah hingga kembali ke dalam rumah, begitulah fenomena facebook seolah kita
akan sangat merugi bila tidak mengupdate facebook atau setidaknya untuk
membukanya. Karena jangan-jangan ada isu penting yang pastinya anda perlu
komentari sekalipun itu sekedar batuknya teman anda.
Pengikut setia
facebook ini mungkin merasa bahwa facebook sudah menjadi bagian dari kehidupan
dirinya, bahkan untuk sekedar mengganti semua relasi sosialnya dimuka dunia,
kata facebook sudah menjadi kebutuhannya. Tidak hanya urusan asmara, atau
sekedar rutinitas kehidupannya, tapi arena sosial yang jauh lebih luas pun
menjadi kebutuhan dirinya melalui facebook
Mungkin kalau boleh
menyindir bahwa makhluk ciptaan Tuhan yang keranjingan ataupun boleh disebut
dengan istilah facebokiah umat pengikut facebook, pengidam facebook, pengelola
account facebook, pemilik account facebook mereka adalah yang mempraktekan
jejaring ini menjadi ritus disamping sembahyang, shalat, kebaktian sebagai
bagian paling penting yang menjadi kompas kebijaksaan. Harian! Atau lebih
daripada itu setiap jamnya!
***
Situs jejaring
sosial adalah mirip seperti jaring laba-laba yang sebenarnya dan dalam konteks
interaksi sosial. Dunia yang menghubung lalu lintas manusia antar benua
terhubung dalam sebuah layar mini dan saling terhubung satu-sama lain tanpa
sekat dan sehelai benangpun yang bisa membatasi ruang pergaulan dan pertemuan-pertemuan
lintas ruang yang tidak pernah terbayang sebelumnya.
Internet menjadi
sebuah alat selancar yang sangat dinamis, kapal layar yang bisa menjadi kapal
ulang alik pada saat bersamaan, Ia bisa menjadi alat kesenangan tak terbatas
atau juga alat penghasut dan pemfitnah tak terkendali, melalui internet juga
kita dapat menempuh perjalanan antar benua tanpa sejengkal pun beranjak dari
tempat duduk kita.
Dan Internet
sendiri tentu saja sebuah sarana, jembatan lalu lintas data yang salah satunya
menghadirkan facebook. Mungkin inilah keajaiban facebook. Ia laksana arena
sosial yang nampaknya sederhana, konservatif, tak bisa diubah-ubah namun ia
justru menjadi nama lain dari internet yang hanya sekedar ruang lalu lintas
data.
Istilah
Facebookers
Harus dicatat
secara cermat dan juga seksama bahwa istilah facebookers sendiri bukanlah bikinan atau made in buatan facebook
melainkan ia adalah kreativitas turunan. Yang secara sengaja di lembagakan oleh
Usman Yasin sebagai penggagas gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibi Samad Riyanto.
Namun ia juga harus
diakui sebagai istilah yang secara sengaja ditemukan. Hasil adopsi dari para
penggiat facebook yang kemudian secara bersamaan di amini oleh banyak orang
sebagai facebookers. Dan satu hal istilah ini bertendensi muatan lokal.
Satu-satunya yang dengan bangga boleh dikatakan Made In Indonesia-nya.
“Wahai pemegang wewenang Anda
Sewenang-wenang Facebooker Menghadang” komentar saudari Santiana Angelia
seorang dokter cantik yang ternyata facebooker sejati. Facebookers adalah
kumpulan yang tidak memiliki tautan orang perorang secara langsung alias
impersonal, tidak saling mengenal satu sama lainnya. Persekongkolan facebook
merupakan persekongkolan paling murni dan tanpa kontaminasi yang perlu di curigai.
Karena sejatinya inilah menggambarkan suara mayoritas.
Istilah dapat
diartikan pengrajin facebook. Meski Ia bukan berarti orang yang mendesain atau
mengelola atau pendiri facebooker. Tapi istilah ini lebih berarti sebagai para
penghuni facebook yang beraktivitas dan berinteraksi, ataupun juga sedikitnya
mengelola content-content facebook yang pada gilirannya ia seolah bekerja dan
beraktivitas. Karena pada dasarnya istilah facebookers itu sendiri menjadi
ragam diksi baru yang dilahirkan dari gerakan paling fenomenal. Yakni group
dukungan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Dan harus diakui
bahwa inilah gerakan paling fenomenal yang pada gilirannya melahirkan
gerakan-gerakan ”turunan” untuk tidak sekedar dikatakan sebagai gerakan latah
yang memakai idiom, sejuta atau 1.000.000 facebookers. Dan ini tak bisa kita
bantah.
Facebooker adalah
umat manusia yang melakukan aktivitasnya di dunia facebook untuk itulah istilah
ini lebih mendefinisikan orang-perorangan atau sekumpulan orang yang melakukan
aktivitas sosialnya di jejaring facebook. Facebooker adalah identitas aktivitas
sekaligus agresivitas.
Jika facebook mampu
mendorong civil society bergerak untuk mengkritisi kebijakan yang salah atau
penguasa yang zalim maka tentu saja facebook berpeluang mengatasi gap
komunikasi antar isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat sehingga pada
gilirannya facebook menjadi alat transformasi politik ekonomi sosial masyarakat
ke arah yang lebih baik.
Atau setidaknya
diharapkan masyarakat membentuk dirinya sendiri untuk memulai otokritik dan oto
kreasi menuju masyarakat yang mandiri. Bahkan ia mampu mendekonstruksikan
kebenaran, lalulintas ekonomi dan dalam skala sosial yang lebih besar yakni
budaya yang bergerak demikian revolusioner dalam interaksi sosial baru yang
intensitasnya terasa makin Pas bagi masyarakat yang makin terbuka.
Impersonalitas Yang Bertenaga
Solidaritas kaum Ibu dan masyarakat
kecil dalam membantu seorang Ibu rumah tangga yang berjuang mempertahankan
haknya sebagai pasien dan menjadi korban arogansi pengusaha kaya dan
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam
menangani perkara rakyat kecil yang senantiasa termarjinalkan hak-haknya dan
selalu "dikalahkan "oleh kekuatan uang dan kekuasaan .
Padahal dukungan Kaum Ibu
merupakan salah satu kunci kemenangan SBY baik di Pilpres 2004 maupun 2009,
kekuatan dan solidaritas kaum Ibu Indonesia sekali lagi ditunjukkan pada saat
penggalangan dana bagi Prita Mulyasari. Yang menjadi pertanyaan kita adalah,
apakah gerakan ini bukan merupakan sindiran dari kaum Ibu Indonesia yang melihat presiden
yang dipilihnya ternyata tidak berbuat apapun untuk menolong salah seorang Ibu
yang berjuang untuk mencari keadilan bagi dirinya. Apakah para elite politik,
anggota DPR dan para aparat penegak hukum tidak dapat berbuat sesuatu yang
nyata untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini di masa yang akan datang.
Bayangkan oleh anda jika suara dukungan
untuk Chandra dan Bibit bisa mencapai kurang lebih 2 juta suara (dikumpulkan
beberapa groups yang sama nafasnya) melawan mereka yang mendukung Polri,
Kejagung, Anggodo dan atau yang netral dengan kata-kata Gerakan Dukungan
Pemberantasan Korupsi Tidak Pandang Bulu yang tidak sampai mencapai ratusan
bahkan beberapa malah berisi 16 pendukung dan itupun bukan dukungan tapi gerundelan,
artinya tentu saja, suara anonim-anonim ini pantas dibaca sebagai suara hati
nurani masyarakat yang mulai bergerak.
Meski suara parlemen online ini sekilas
nampak Abstrak namun suara ini justru mencerminkan suara kejujuran yang tidak
terbantahkan. Siapa yang berani bilang bahwa suara facebooker ini ditunggangi.
Siapa yang bisa mengumpulkan jumlah tersebut di dalam sebuah realitas yang
sangat impersonal.
Salah satu kunci keberhasilan facebook
besutan mark Zuckerberg ini adalah terletak pada member-member yang hamper sama
sekali bukan anonim, meski memang orang bebas-bebas saja masuk dengan tanpa
wajah atau kloningan dari account miliknya sendiri, meski demikian facebook
sudah cukup kredibel, sehingga sekalipun ada juga yang memiliki satu atau dua
account di facebook. Facebook telah memperlihatkan dirinya sebagai jaringan realitas
bukan Anonim. Sebagaimana mereka juga tetap mempertahankan eksistensinya dalam
perkerabatan itu. Dan terbukti para membernya pun tidak sedikit yang
mendapatkan nilai profetis. Usman Yasin sendiri dapat bertemu dengan kawan lama
yang sudah sekian tahun tak pernah berkomunikasi. Hubungan kekerabatan,
jaringan orang-perorangan dari Facebook jelas sangatlah. Ia eksis dan real.
Tudingan yang dialamatkan kepada
facebook, tentulah memberikan sinyal bahwa orang terebut memang belum sama
sekali melek teknologi. Setidaknya mungkin belum punya facebook, atau
jangan-jangan facebooknya sudah dijual
saking tidak melek internetnya menjawab dengan alasan sekenanya.
Jejaring “Bukan” Maya
Facebooker ternyata adalah jejaring
social perkawanan dunia maya yang boleh jadi bukan lagi maya. Mengingat peran
serta facebooker yang justru menjadi pilar baru demokrasi. Ia mampu menjadi
kendara baru bagi pejuang-pejuang demokrasi yang sejatinya terakumulasi dalam
sebuah jejaring sosial.
Dan ndilalah. Bahwa Facebook mampu menjembatani suara-suara kegelisahan
itu menjadi kekuatan baru yang tak dapat di bantahkan kecuali oleh kebenaran
itu sendiri. Dengan kata lain bahwa tak layak lagi untuk diragukan tentang
bagaimana facebook menjadi alat kritikan sosial dan penyeimbang sosial.
Kita bukan lagi perseorangan, kita
tidak sendirian, itu pula yang tejadi ketika ratusan kemudian ribuan bahkan
kemudian jauh lebih membesar dari angka itu melakukan pembelaan terhadap Prita.
Dan saat Prita diganjar Vonis untuk membayar denda atas putusan pengadilan yang
memihak pada penguasa. Seketika itu juga diganjar dengan aksi keprihatinan
dengan mengumpulkan koin bagi Prita. Dan facebook telah menjadi saran penting
untuk mengejawantahkan jejaring gerakan yang dikatakan maya. Justru menjadi
gerakan ”bukan” maya.
Baiklah anda adalah
Umat beragama ataupun anda adalah umat yang bukan beragama. Tapi yang jelas
anda adalah Umat facebook. Setidaknya anda adalah facebooker istilah ini
sedikit banyak memberikan notasi bahwa anda adalah pelaku dan sekaligus anda
adalah penghuni jejearing sosial ini.
Ruang interaksi
yang demikian ”seketika” boleh jadi demikian dahsyatnya. Ketika anda
menampilkan diri anda, siapa anda, darimana anda, anda sudah berhubungan dengan
orang yang saat itu juga tengah ”menjadi mata” telinga dan lidah anda. Facebook
menggambarkan Transformasi Media Komunikasi Lintas Pelaku
Beragam
komentar-komentar dan keusilan-keusilan yang membuat anda tampil ke permukaan.
Seketika itu juga akan disambar dengan berbagai interaksi. Dahsyat. Demikian
interaktifnya. Ketika anda berdoa dan mendoakan orang lain misalnya. Pada saat
itu juga anda sudah mendapatkan ”jawaban” langsung dan seketika. Mungkin juga
bukan dari Tuhan tapi setidaknya oleh ”perantara” Nya lah. Para facebooker
lainnya.
***
Gegap gempitanya
begitu menggurita mulai dari Kakek-kakek dan nenek-nenek sampai cucu mereka
hadir dan tak luput absen nongol di facebook. Setidaknya berbagai alasan yang
beralas romansa atau romantika masa lalu segera diganjar. Beberapa cerita
tentang facebook ini malah seketika itupula dengan mempertemukan mereka dalam
jaringan tertentu yang tentu saja secara spesifik mereka sengaja hadirkan.
Tidak berapa lama berkumpul. Ambil contoh Sebuah reuni SMA atau mungkin juga
Sekolah Dasar. Tak dinyana dapat segera terkumpul.
Bahwa facebook
hampir menyerupai ruang kehidupan manusia modern, yang bertetangga, berteman
atau juga bergunjing dan bergosip seperti televisi dimana anda juga menjadi
agen sumber gosip itu sendiri, Jadi rasanya belum lengkap kalau anda hidup
didunia ini kalau belum punya facebook jadi AWAS jangan sampai Tuhan bertanya
pada anda, Kamu punya facebook?

Bab 5
Facebookers Menggetarkan ISTANA
Dan Gibran
Selamat Atas
kembalinya kedaulatan ke tangan pemegang hak konstitusi paling primordial siapa
lagi kalau bukan rakyat. Dulu ia disandang oleh para punggawa-punggawa negeri
ini untuk sekedar menjadi pendorong memuluskan laju hasrat menuju kursi
kekuasaan. Setelah itu. Rakyat seolah “boleh dibiarkan” untuk sekedar mengganti
resapan bahasa ditelantarkan. Atau Maaf! Ditinggalkan.
Rakyat adalah
alamat paling komunal. Ia bisa saja di pakai oleh Ketua RT. 04 atau ketua RW
012. untuk sekedar merepresentasikan dirinya berfungsi dalam konteks
keterwakilan. Dan tentu saja apalagi mereka yang berada di lembaga yang
mengatas namakan rakyat di Bangku legislatif terhormat bernama Dewan Perwakilan
Rakyat.
Lucunya sering kali
Untuk Siapa mewakili, apalagi ditengah aras keterwakilan proporsional yang
melulu membuat partai menempatkan kader-kader setianya pada kursi paling depan
dan tentu saja paling “empuk”. Baru pada Pemilu 2009 inilah wajah dan profil
publik anggota dewan saling berlomba memperkenalkan paling ganteng dan paling
cantiknya sebagian tentu saja paling berpeci dan paling berkumisnya. Sedikitnya
rakyat tahu ada ingatan yang sedikit terekam dalam memori pendek mereka
ditengah hingar-bingar banyaknya pilihan.
Aha! Ada Facebook.
Laksana jejaring
social lainnya di dunia Maya sederet nama situs cukup akrab di benak masyarakat
Indonesia, mulai dari Friendster, hi5,
Twitter. Facebook adalah salah satunya. Meski harus cukup di akui Facebook
menjadi salah-satu situs yang paling banyak penggemarnya di Indonesia. Dan
tentu saja ini sensasional, beranjak dengan itu kemelekan.
Saat ini dari 30
Juta Pengguna Internet di Indonesia 2/3 nya adalah pengguna facebook,
sedemikian dahsyatnya. Mulai dari tukang Jahit di dusun Lingkis Ogan Komering
Ilir sampai presiden juga katanya memiliki facebook, mulai dari anak tukang
nasi uduk sampai anak Jenderal polisi katanya. Mungkin Pengguna Facebook yang
lintas batas tadi di karenakan feature-feature facebook lebih dinamis dan
interaktif. Salah satunya fungsi groups. Yang baru-baru ini menjadi buah bibir
dan wacana public yang monumental.
Diantaranya yang
cukup menggelitik dan tentu saja fenomenal, sensasional dan Duahsyaat dan
Mantab adalah groups yang dimiliki seorang dosen di Universitas Bengkulu.
Bernama Usman Yasin. Fenomenal?! karena ternyata facebook terbukti ampuh dan
memiliki kekuatan kemampuan untuk menyuarakan suara-suara masyarakat yang
tercecer satu demi satu suara tersebut terpungut dan berhasil mengepung para
pengambil kebijakan. Seiring dengan sensionalnya kasus yang di hadapai oleh
Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Dalam tempo
relative singkat angka satu jutapun hamper tembus kurang dari satu minggu.
Gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto
dibuat oleh Usman Yasin sebagai bentuk keprihatinan atas ”tragedi” menurutnya
yang menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Lepas dari realitas
kebenaran yang sesungguhnya, namun masyarakat yang memang melihat ada
kecompang-campingan aksi prosedural ditambah gonta-gantinya urusan penuntutan
seolah membangunkan ”kebodohan” masyarakat yang diam tidur, nyenyak dan tak
bersuara itu, justru berbalik menjadi hingar-bingar suara yang tak terkendali
bahkan tak terbendung.
Hati-Hati Ada Facebook!
Keberpihakan
masyarakat pada anti penzaliman, rasa perlawanan atas perlakuan tak adil dan
hasrat mengorek kebenaran lebih jauh, justru meruntuhkan kesombongan Aparat
Penyidik yang bertengger dengan alasan produral dan kewenangan dan
profesionalitas seketika itu juga dijawab dengan ribuan bahkan jutaan caci maki
dan sumpah serapah dan berbalik menjadi kekuatan dukungan yang sungguh amat
berarti untuk mengetuk pintu nurani pemegang kekuataan administratif tertinggi
untuk bertindak dan berpihak kembali pada Rakyat.
Dampaknya realitas
maya yang di hadirkan facebook jusru menjadi realitas tersendiri yang seolah
menjembatani dirinya dengan realitas dunia nyata, realitas yang sesungguhnya.
Seolah mengepung tanpa perlu pertimbangan rumit karena logika dasar mereka yang
begitu terhina untuk tak rela menyaksikan drama tak layak tayang.
Fenomena Facebook
juga memberikan arti bahwa kekuasaan atau legitimasi tidak bersifat absolut. Ia
dapat di ambil kapan saja, dimana saja tanpa terkecuali apabila jika mereka
kurang berhati hati menghadapi publik yang masih di kiranya gampang
”diyakinkan” dengan kata-kata profesional dipaksakan untuk menelan tayangan
”tidak panik” dengan aroma yang terasa mengental luar biasa paniknya.
Kasus Prita
misalnya tiba-tiba publik memberikan dorongan lalu berkumpul dalam wadah
bersama lalu ketika wacana tersebut merembes, sebuah kekuatan tersendiri yang
dahsyat dan dalam waktu singkat dukungan mengalir bak air bah. Dan sangat tidak
tertutup kemungkinan bahwa kita juga bisa saja
memainkan isu-isu lain yang jauh bersifat personal atau bahkan privasi.
Fenomena ini memberikan
arti bahwa apapun persoalan yang terjadi di masyarakat kita bisa berupaya untuk
melakukan pengepungan-pengepungan dengan inisiasi wacana yang memadai maka akan
mampu mendorong pihak terkait untuk mampu menyelesaikan masalah yang harus di
perbaiki.
Jika jejaring
social dunia maya mampu menggetarkan Istana maka persoalan-persoalan lain yang mungkin sama halnya berkaitan
dengan wacana publik. Sepatutnya Kepentingan publik akan teradvokasi juga
dengan baik. Tanpa memandang tinggi rendahnya permasalahan isu atau bahkan
seberapa personalnya pun Jejaring sosial ini tetap memiliki fungsi yang tak
tebilang jumlah kemanfaatannya, karena sifatnya yang impersonal dan bahkan
isu-isu remeh-remehpun, orang bisa lantas meresponnya.
Istana Saja bisa
bergetar. Apalagi Kampung kita. Ayo Kita Bisa Indonesia!!!
***
Pendiri Gerakan Dukung Chandra - Bibit
di Facebook
Usman
Yasin: Dari Genggaman Kugetarkan Istana
Facebook memunculkan fenomena baru dari
aksi bersama, yang mampu 'menggetarkan' istana.
Dua pekan sejak akhir Oktober 2009,
Facebook lebih 'meriah' dari biasanya. Tak hanya menjadi ajang curhat bagi para
pengunjungnya, jejaring sosial terpopuler di di dunia itu telah menjadi jalur
alternatif untuk menyampaikan aspirasi politik bagi para Facebooker tanah air.
Momentum itu dipicu oleh babak baru
perseteruan antara 'cicak' (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan 'buaya' (Polri),
akibat penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bibit Samad
Riyanto dan Chandra Hamzah, pada Kamis 29 Oktober 2009 sore. "Gerakan
1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto"
mencuat menjadi grup yang menjadi pusat perhatian banyak orang.
Entah karena titelnya yang bombastis
atau memang karena penahanan polisi mengoyak rasa keadilan banyak orang, yang
jelas kini jumlah anggota grup ini sudah melampaui dari harapan awalnya untuk
menghimpun dukungan dari sejuta facebookers.
Pada beberapa kesempatan berbeda,
VIVAnews sempat berbincang dengan Usman Yasin penggagas grup ini. Seorang dosen
Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang juga salah seorang Facebooker aktif.
Kepada VIVAnews ayah tiga orang anak ini
bercerita tentang proses pembentukan grup ini di awal, dan ke arah mana grup
ini akan dibawa, setelah target sejuta terlampaui. Berikut petikannya.
Sebenarnya bagaimana proses terjadinya
grup ini?
Grup ini saya buat murni dari rasa
spontanitas karena tergerak dengan pengorbanan dan perjuangan Pak Bibit dan Pak
Chandra. Saat itu saya mendapat informasi penahanan Pak Bibit dan Chandra
melalui berita di VIVAnews, detik.com, serta radio Elshinta. Lalu saya langsung
berkata bahwa ini momen yang tepat. Ini mungkin juga karena saya sering
berbenturan dengan kasus hukum. Jadi, saya melihat bahwa saya harus melakukan
pembelaan bahkan dalam bentuk yang paling sederhana, yakni membuat sebuah grup
di Facebook.
Apa Anda sebelumnya mengenal Bibit dan
Chandra?
Saya tidak mengenal keduanya secara
pribadi. Saya mempelajari latar belakang keduanya dari Internet. Saya pelajari
profil keduanya. Dari situ saya mendapati bahwa mereka itu orangnya sederhana.
Bibit adalaah Bekas Kapolda Kalimantan Timur, daerah yang memiliki banyak hasil
kayunya. tidak mungkin dia tak bisa punya uang, kalau mau. Artinya dia memang
orang yang sederhana. Bukanberarti ia tidak pernah punya kesempatan untuk
menjadi orang kaya. Tapi walau saya mengenalnya hanya sebatas dari informasi
yang tercatat di internet. Tapi saya memiliki keyakinan, apa yang mereka
perjuangkan itu benar. Bila seseorang berjuang berdasarkan kebenaran, maka dia
akan berani untuk menghadapi siapapun.
Sebelumnya pernah melakukan
kegiatan-kegiatan penggalangan dukungan semacam ini?
Saya mengenal internet sejak sekitar
1994. Tapi pada saat itu saya menggunakan internet lebih pada tataran untuk
mencari informasi. Kemudian pada 1999, saya pindah dari Universitas
Muhammadiyah Malang ke Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
Saat itu saya baru melakukan campaign
melalui email ke mailing list-mailing list, karena saat itu belum ada itu yang
namanya Facebook. Sebenarnya saya ingin mendirikan sebuah situs yang konsepnya
seperti VIVAnews juga, tapi untuk sementara saya lakukan melalui blog, yakni
sejak tahun 2005. Sejak itulah kegiatan-kegiatan saya yang bersifat advokasi
saya masukkan ke blog.
Saya mendokumentasikan langkah-langkah
per item sesuai urutan kronologisnya. Misalnya, hari ini saya bertemu dengan
siapa, jam sekian, latar belakangnya. Dokumen-dokumen juga saya simpan disana.
Dengan begitu maka banyak orang yang tertarik. Artinya apa yang kita lakukan
mendapat respon.
Nah segala permasalahan yang ada saya
dokumentasikan di internet. Sejak 2005,
pengguna internet sudah semakin banyak. Orang tidak lagi hanya mencari
literatur fisik di perpustakaan. Banyak yang kemudian menemukan dokumen-dokumen
tentang advokasi saya di internet.
Akhirnya mereka datang ke rumah saya
melakukan penelitian, baik itu skripsi S1 maupun thesis S2. Mereka datang dari
berbagai universitas dari mulai ITB, Universitas Padjajaran, Undip, ITS, UGM,
dan lain-lain. Ternyata selama ini, saya telah mengkumulasi data-data yang bisa
menjadi acuan bagi tulisan bagi mereka. Sejak itu saya berpikir bahwa internet
dapat digunakan untuk sebagai sarana pendidikan, sarana mengumpulkan informasi,
dan sarana advokasi.
Saat itu sudah melakukannya melalui
jejaring sosial Facebook?
Belum, ini saya lakukan masih dalam
bentuk blog, sehingga beberapa interaksi yang saya lakukan masih terbatas.
Sebatas mereka meninggalkan pesan di kolom komentar, atau kemudian mereka
mengontak saya melalui Yahoo Messenger. Tapi kemudian ini berkembang terus.
Waktu tahun 2008, saat itu sedang
hangat-hangatnya bagaimana Presiden Barack Obama juga memanfaatkan internet dan
jejaring sosial untuk kampanyenya. Saya kemudian berpikir, kenapa saya tidak
menggunakan Facebook? Sebab teknologi Facebook memiliki antarmuka yang sangat
mudah. Cukup tulis di kotak (status), tekan enter, lalu langsung jadi. Semuanya
langsung terdokumentasi.
Tapi, kalau kita pakai blog, butuh
tahapan yang lebih panjang. Butuh keterampilan lebih untuk melakukannya. Harus
ke dashboard dulu, bahasa scriptnya juga masih ada, dan lain-lain sebagainya.
Karena kemudahan mengupload di Facebook ini, itulah keuntungannya Facebook.
Maka sejak September 2008 saya mulai
menggunakan Facebook. Sampai sekarang saya malah lebih sering mengupdate
Facebook daripada blog saya. Blog saya belum diupdate-update. Saya telah
mencoba memunculkan beberapa permasalahan lewat Facebook ini.
Selain itu Facebook juga memudahkan,
karena terutama kawan-kawan di media juga selalu memantau aktivitas di Facebook.
Misalnya saat kita hendak melakukan demonstrasi, atau advokasi tentang suatu
isu, saya cukup tulis di Facebook dan mereka langsung mengontak kita.
Jadi ini menunjukkan bahwa ada kemudahan
berkomunikasi lewat media ini. Facebook juga mampu mendokumentasikan segala
sesuatunya dengan baik. Ada jejak-jejak yang bisa disimpan dengan baik di
Facebook, misalnya pada fitur message. Ini tidak bisa kita peroleh misalnya
melalui teknologi pesan SMS.
Agaknya hidup Anda tidak bisa lepas dari
dunia advokasi atau LSM?
Setelah saya pindah ke Bengkulu saya
berpikir, harus ada sesuatu yang saya lakukan. Pada 27 Agustus 1999 saya
kemudian mendirikan sebuah lembaga berbadan hukum, yaitu Yayasan Lembak
Bengkulu yang melakukan advokasi terhadap permasalahan lokal.
Saya sempat melakukan advokasi untuk
kawasan konservasi di Bengkulu, yakni kawasan cagar alam Danau Dusun Besar
Bengkulu, yang mengalami kerusakan akibat adanya jalan yang membelah kawasan
itu. Akhirnya kasus itu dapat diselesaikan dengan baik, walikota ditindaklanjuti
oleh gubernur, mentutup jalan tersebut.
Selain itu saya juga sempat
memfasilitasi petani dan balai benih untuk melakukan penyuluhan, agar mereka
mendapatkan penyuluhan tentang benih. Akhirnya setelah itu beberapa kelompok
tani malah mampu mensertifikasi benih mereka sendiri dan oleh dinas pertanian
benihnya dibeli. Dari situ mereka mendapat keuntungan, daripada mereka menjual
dalam bentuk gabah, benih itu nilainya jauh lebih besar.
Selain itu pada 2006-2007, saya juga
melakukan advokasi kasus gubernur Bengkulu (kasus Dispenda Gate). Untuk
diketahui, beliau menjadi tersangka September 2008, sekarang sudah November
2009, sudah setahun lebih.
Saya sudah Saya sudah sempat ke KPK,
Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, hingga memindahkan sidangnya dari Bengkulu ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Kemudian P21-nya Mei 2004, tapi hingga kini
kasusnya belum diselesaikan.
Apa yang membuat grup Anda bisa menggaet
banyak pendukung?
Ada beberapa hal. Pertama, ini soal
pemilihan media yang tepat. Pemilihan teknologi sangat menentukan kenapa
dukungan ini begitu besar.
Kemudahan-kemudahan kelengkapan fitur dari Facebook inilah yang menguntungkan.
Menurut saya orang lebih banyak mengerti Facebook daripada media lain misalnya
Twitter atau Yahoo Messenger.
Mungkin saya tidak akan mampu menghimpun
dukungan secepat ini bila saya menggunakan Twitter atau media lain. Sebab,
Facebook memiliki fitur yang lebih banyak, dan lebih menarik. Mulai dari kaki lima , tukang becak,
tukang ojek, kalau kita llihat, mereka juga sudah terbiasa dengan Facebook.
Kenapa? Karena sekarang perangkat ponsel yang mendukung Facebook juga sudah
semakin banyak, bahkan ada yang paketnya cuma Rp 199 ribu.
Selain itu, tak bisa diabaikan adalah
bantuan dari media, termasuk VIVAnews yang mepublikasikan sejak awal-awal grup
ini berdiri. Sekitar Jumat pagi beberapa media juga sudah memberitakan grup
kami, sejak itulah jumlah anggotanya mulai mengalami kenaikan yang cepat.
Artinya ada sebuah kebersamaan dalam media, yang membuat dukungan bisa naik
luar biasa.
Yang kedua, momentumnya juga tepat. Saat
itu saya mendapat informasi penahanan pertama kali, saya langsung berkata bahwa
ini momennya. Saya langsung membuat grup ini. Yang ketiga, soal pemilihan
judul. Dalam bahasa komunikasi media, judul itu harus provokatif, mudah
diingat, dan dibuat sedikit agak bombastis sedikit. Saya buat: Gerakan
1.000.000 Facebookers... Padahal saat itu saya juga tidak tahu, sampai kapan
angka satu juta itu bisa tercapai? Sebab, dalam benak saya, saya hanya punya
jaringan teman sebanyak 500 orang.
Bagaimana Anda merawat grup ini sehingga
bisa semakin besar?
Jadi merawat grup seperti itu harus
memerlukan kemampuan komunikasi. Seorang moderator harus paham situasi. Sebelum
mencapai satu juta, banyak yang sangsi dan berkata: ah paling grup ini cuma
hangat-hangat tahi ayam. Tapi, saya bilang kepada mereka, ini tugas kita untuk
sama-sama menjaga dan merawat grup ini.
Saya harus sabar melayani banyak ajakan
untuk chatting. Dalam satu waktu, saya harus melayani 20 ajakan chatting yang
antri, satu per satu. Sekarang saya harus menyediakan lebih banyak waktu untuk
menjaga grup ini. Pada akhir pekan saya bisa meluangkan waktu sekitar 7-8 jam
dalam sehari.
Saya bilang, apapun bisa kita lakukan
asal kita jaga.Saya tidak pernah merespon komentar-komentar yang tidak baik
dengan jawaban yang bermusuhan. Saya juga selalu meminta tolong kepada mereka
untuk memperkenalkan kelompok ini kepada tetangga-tetangga dan kerabat mereka.
Kenapa tidak mencoba untuk mencari
moderator lain untuk membantu?
Saya pernah meminta bantuan orang lain,
tapi setiap orang kan kadang memiliki visi dan pandangan yang berbeda. Perlu
menyamakan persepsi dulu dan bertemu tatap muka sebelum bekerja bersama-sama.
Karena belum sempat melakukannya, jadi untuk sementara saya pikir saya sendiri
masih bisa melakukannya, ke depan mungkin bisa saja.
Dari mana saja biasanya Anda mengakses
FB untuk melakukan moderasi?
Kebanyakan saya melakukannya di depan
komputer. Tapi kadang juga moderasi pakai ponsel karena sudah banyak program-program
kecil seperti opera mini yang memungkinkan kita tetap terhubung dengan
Facebook.
Apa saja tantangan yang dihadapi saat
memoderasi grup ini?
Kadang memang ada saja hambatan yang
dijumpai. Untuk mencapai tujuan bersama, kadang ada juga tujuan-tujuan yang
hendak mengurangi kredibilitas kelompok ini. Misalnya saja ada yang mengirimkan
gambar porno, atau mengirimkan iklan. Oleh karenanya kolom gambar beberapa kali
sempat saya tutup.
Pernah mendapat ancaman dari orang yang
tak suka dengan grup ini?
Belum pernah. Hanya saja kadang ada
pihak-pihak yang tidak memberikan identitas yang jelas, seolah-olah
mengait-ngaitkan grup ini sebagai salah satu upaya menggembosi parpolnya.
Padahal, saya pikir tidak benar. Ini murni ekspresi dari orang-orang sebagai saluran
alternatif baru yang muncul. Bahkan, saya jamin, tidak ada satupun saluran dari
partai manapun bisa berhasil tanpa dibantu dengan teknologi semacam ini.
Saya pernah ditelpon oleh keluarga Pak
Bibit dan Chandra, dan diingatkan agar saya hati-hati, karena mungkin
berhadapan dengan orang-orang yang sedang memegang kekuasaan. Tapi saya
beranggapan bahwa kita tidak menyerang personal orang, tapi kita memperjuangkan
pada proses penegakkan hukum pada agar berada pada track yang benar.
Ada teman lain yang menyarankan agar
saya tidak terlalu transparan dengan menampilkan data-data pribadinya saya,
keluarga saya, anak-anak saya, alamat saya nomor telepon, dan sebagainya, tapi
saya justru ingin mengajarkan agar kita tidak lempar batu sembunyi tangan.
Semula memang saya tutup. Tapi begitu semakin banyak anggota grup ini, justru
saya buka habis-habisan.
Kalau seandainya ternyata di tengah
jalan saya yang ditangkap oleh polisi ya kita harus pasrahkan. Orang khilaf kan bisa terjadi. Tapi,
itu pun saya punya keyakinan, feeling saya bahwa apa yang kita perjuangkan
selama ini betul.
Apa yang Anda rasakan setelah perjuangan
Anda bisa dibilang berhasil?
Saya katakan, bahwa inilah Facebook yang
dulu sempat mengundang kontroversi, dipermasalahkan halal-haramnya. Saya katakan,
apapun itu, ketika kita manfaatkan dengan niat yang bagus, dia akan menjadi
sangat bermanfaat.
Bahkan sesuatu yang halal, kalau terlalu
berlebihan dia akan jatuh menjadi haram. Misalnya makanan yang halal, kalau dia
kita makan terlalu banyak sampai muntah-muntah, dia bisa menjadi haram
hukumnya.
Saya juga sering memanfaatkan Facebook
untuk keperluan perkuliahan. Bahan-bahan kuliah kadang saya kirimkan lewat
Facebook selain melalui blog saya. Tak hanya itu, melalui Facebook saya juga
bisa menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang sudah terpisah sejak
puluhan tahun. Ini kan menjadi hal yang sangat berfaedah.
Di Facebook saya bisa bertemu dengan
teman-teman saya yang sekarang tinggal di Australia, Hongkong, Jerman,
Polandia, ada juga yang di Jepang. Walaupun tak ketemu fisik. tapi kita tahu
keadaan mereka sekarang dengan biaya yang murah.
Selain itu, melalui Facebook juga, kita
bisa menyalurkan aspirasi politik kita. Ini merupakan kemunculan fenomena baru
dari aksi bersama, collective action, yang bisa menciptakan gelombang kekuatan
yang bahkan bisa menggetarkan istana. Kasarnya, saya bisa katakan bahwa dengan
Facebook, kita bisa menggetarkan istana melalui perangkat di genggaman tangan.
Sekarang, walaupun saya yang tampil di
radio, TV, namun, ada kebanggaan bahwa saya hanyalah bagian dari satu juta
gerakan ini. Saya cuma menjadi representasi dari sejuta pengguna Facebook yang
tergabung dalam grup ini. Ini adalah kasus saya yang paling fenomenal.
Setelah ini, grup FB ini mau dibawa ke
mana?
Grup Facebook ini adalah sasaran antara.
Kami sudah berdiskusi bahwa ke depan gerakan ini harus dikongkritkan ke dalam
sebuah gerakan real, gerakan bersama untuk memantau dan memberantas kasus-kasus
korupsi lainnya.
Sebab, sebenarnya dana yang beredar di
pusat itu hanya 40 persen dari seluruh anggaran. Yang 60 persennya ada di
daerah. Sudah ada beberapa anggota grup ini yang kemudian melaporkan
kasus-kasus lain yang sebenarnya juga perlu ditindaklanjuti.
Untuk langkah awal, kita juga akan
menyoroti kasus yang sudah ada di depan mata kita, yakni kasus Bank Century.
Kita ingin tahu bagaimana uang Rp 6,7 miliar itu digunakan. Apakah uang itu
sudah dimanfaatkan dengan benar. Rencananya Selasa depan (hari ini, 10 November
2009) saya juga akan berkoordinasi dengan Pak Teten Masduki dan teman-teman
lainnya untuk bersinergi agar kelompok ini bisa memberikan manfaat yang lebih
berarti.
***
People Power Dunia Maya Untuk
Bibit - Chandra
Dan Gibran
Sudah tidak percaya dengan
keadaan saat ini, Parlemen Online menjadi media untuk menumpahkan segala macam
keluh kesah !!
Ketika wadah-wadah konvensional terasa
begitu lambat dan tidak memiliki pengaruh apapun dalam benak masyarakat, yang
sudah ingin menumpahkan kegelisahan mereka. Maka teriakan itu
bermuara pada “jalur alternatif” teriakan itu kemudian terdengar lantang di
arena-arena luar yang tadinya hanyalah tempat berkumpul biasa. Antar kita,
antar manusia lainnya yang kebetulan saling terhubung.
Dan terjadilah kegelisahan yang
memuncak itu, ketika masyarakat melihat ”ketidakberesan” yang menggejala
disana-sini. Ketika akhirnya dirasakan
semakin tak perlu untuk diberikan toleransi. Lalu masyarakat pun memakai
caranya sendiri untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bahkan lebih dari itu
masyarakat mempertanyakan keadilan.
Ketika Prita di tuntut oleh perusahaan
multinasional yang berstandar internasional, lalu ketika orang biasa yang
’ngecarge” handphone miliknya. Dan kemudian yang paling memuakan adalah
pemenjaraan Bibit dan Chandra. Masyarakat sesadarnya memaknai. Orang yang tidak
terbukti melakukan kesalahan, saja bisa di penjara, tapi ada orang yang
jelas-jelas membuktikan dirinya. Atau terbukti secara kongkrit. Kok bebas berkeliaran?
Dukungan terhadap KPK tersebut secara
nyata menggambarkan rasa kepedulian masyarakat terhadap carut marutnya sistem
hukum dinegeri ini yang dipertontonkan secara gamblang diberbagai media
akhir-akhir ini. Keadilan telah mati, negara tanpa hukum, demikian kata Bimbim
Slank di Metro TV.
Gerakan menentang para ‘tuan-tuan keadilan’ ini telah bergaung kencang. Di depan mata perselingkuhan antara pemberi upeti dan penerima upeti ditelanjangi secata gamblang, menjadi tontonan utama penduduk negeri ini. 100 hari pertama pemerintahan SBY – Boediono akhirnya dihadiahi pertarungan dahsyat akhir tahun bertitel ‘ Cicak Vs Buaya’.
Aksi solidaritas masyarakat mendukung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus digalang. Hampir diseluruh penjuru
negeri ini, masyarakat bergerak dan terus bergerak memberikan dukungan. “Saya
Cicak”, menjadi simbol kalimat perlawanan terhadap ketidakadilan yang sedang
dirasakan.
Apa sih yang sedang terjadi? Mengapa yang telah memiliki gaji bulanan dengan segala macam fasilitas yang diberikan negara masih saja rakus menerima jatah? Tak malukah kau ketika uang hasil tilep, hasil korupsi, hasil kongkalikong diberikan pada seluruh keluarga untuk membiayai keseharian hidupnya? Aneh sekali, mereka telah memiliki gaji tetap bulanan dari negara tapi tetap saja rakus untuk mencuri. Kadang-kadang satu kue hasil jarahan dibagi-bagi tanpa malu.. Hati-hati, oknum-oknum seperti ini masih berada disekitar kita..!! Aneh tapi inilah Indonesia. Presiden telah berbuat banyak, tapi masih saja terus di hadang oleh oknum-oknum yang merasa terancam nasibnya.
Gerakan mendukung Bibit – Chandra bahkan merambah dunia maya. Lewat group Facebook bernama Gerakan Sejuta Facebookers Mendukung Bibit – Chandra untuk sementara anggotanya telah mencapai lebih dari 1,5 juta orang. Bahkan lebih. Gerakan massa didunia maya tersebut merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga parlemen sebenarnya. Di Group ini segala unek-unek ditumpahkan, segala yang tersumbat dilepaskan. Maka tak salah jika salah satu televisi terkemuka di Indonesia pun mendukung gerakan massa di group facebook ini dengan mengatakan gerakan ini sebagai People Power Dunia Maya untuk Bibit – Chandra.
Apa bukti Otentik : Suara Anda Menggetarkan Istana? Pertanyaan itu pernah terlontar dari seorang facebooker. Bukti yang paling tak terbantahkan adalah dibentuknya Team 8. yang jelas menginsyaratkan bahwa suara facebookers ah tekanan dari para facebookerlah yang akhirnya membuat Susilo Bambang Yudhoyono Suka tidak suka menerima usulan dibentuknya Team 8. Selanjutnya tak dapat dipungkiri bahwa inilah sejarah baru bahwa telah hadir kekuatan yang sangat ampuh. Terutama dalam perjuangan untuk melawan kesewenang-wenangan dan penyelewengan penguasa. Setuju?
***

Siapa
Takut Politik, Siapa Takut Kebahagiaan?
Ketika 1,4 juta Facebookers dan ribuan
Twitterist menyatakan dukungan terhadap Chandra M.Hamzah dan Bibit S.Rianto,
benak nakal mulai bertanya akankah terjadi perubahan politik seperti jatuhnya
Soeharto pada 21 Mei 1998? Karena problem utamanya sama yaitu: kejahatan
korupsi, rezim Soeharto-Orde Baru sangat masif kejahatan korupsinya bersamaan
dengan kejahatan HAM, sedangkan kasus pimpinan KPK dipacu upaya pembongkaran
korupsi di lembaga negara seperti legislatif (sekitar 132 orang untuk anggota DPR
masa bakti 2004-2009 dan sebagian terpilih lagi untuk masa bakti 2009-2014),
eksekutif dan yudikatif, juga kepolisian.
Umumnya perubahan politik dipicu oleh
kemuakan publik terlibat perilaku rakus petinggi negara, dalam daftar StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat pemimpin politik yang digulingkan
publik karena mempraktikan korupsi terhadap uang publik. Sepuluh besar yang
dicatat StaR Initiative PBB 2007 adalah : (1) Soeharto
(Indonesia, 1967-98) : US$15-35 billion; (2) Ferdinand E. Marcos
(Filipina,1972-86): US$5-10 billion; (3) Mobutu Sese Seko (Kongo,1965-97): US$5 billion; (4) Sani Abacha
(Nigeria,1993-98): US$2-5 billion; (5) Slobodan Milosevic (Serbia, 1989-2000): US$1 billion; (6) Jean-Claude
Duvalier (Haiti,1971-86): US$300-800 million; (7) Alberto Fujimori (Peru,1990-2000):
US$600 million;
(8) Pavlo
Lazarenko (Ukraina, 1996-97): US$114-200 million; (9) Arnoldo Aleman (Nikaragua,
1997-2002): US$100 million;
(10) Josep
Estrada (Filipina,1998-2001): US$78-80 million.
Kemuakan
terhadap korupsi
Fenomena jutaan Facebookers dan
Twitterist terlebih dahulu harus kita catat titik puncaknya yaitu pembebasan
Bibit S.Rianto dan Chandra Hamzah – setelah sempat ditahan Kepolisian selama 5
(lima) hari - merupakan prestasi puncak perlawanan popular melalui jejaring
sosial dan multiplikasi media massa, sebuah model perlawanan politik moderen
yang akan berkembang di tahun-tahun mendatang dalam ranah gerakan sosial dan
gerakan politik di Indonesia. Prestasi ini kemudian berlanjut dengan dibukanya
rekaman pembicaraan rekayasa kriminalisasi KPK dan pimpinan KPK oleh lembaga
hukum lain melalui sosok kriminal Anggoro dan Anggodo bersaudara – celakanya
hingga hari ini pata pelaku rekayasa kriminalisasi ini beserta pendukungnya tak
juga ditahan, seolah-olah tak terjangkau hukum. Kemudian berlanjut dengan
dikembalikannya Bibit S. Rianto serta Chandra Hamzah sebagai pimpinan KPK. Bagi
kedua pimpinan KPK ini, tentu pembebasan mereka serta dipulihkannya jabatan
mereka bukanlah harus dibayar secara cuma-cuma. Publik tentu menuntut mereka
untuk memberantas korupsi dengan lebih fokus dan trengginas karena lenbaga
hukum lainnya justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi bahkan berniat
melumpuhkan KPK, secara khusus tentu membongkar megaskandal Bank Century.
Publik yakin, tentu termasuk Facebookers
dan Twitterist, bahwa 11 tahun terakhir perbaikan lembaga kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan untuk menjadi lembaga formal terdepan memberantas korupsi belum
juga tercapai. KPK tetaplah berada di garis depan, dan mampu memperbaiki
peringkat pemberantasan korupsi dalam skala global, walaupun perubahannya belum
terlalu signifikan. Parahkah korupsi di Indonesia ? Tranparansi
Internasional menempatkan Indonesia pada 2009 masih berada di level 111 dari
180 negara, dengan Indeks Persepsi Korupsi 2,8 (sebelumnya 2,6 pada tahun
2008), kenaikan yang tidak signifikan dan masih dalam kategori negara korup.
Masih jauh dibawah Selandia Baru (peringkat 1), Denmark , Swedia, Singapura. Bahkan
masih di bawah negara-negara ASEAN seperti Brunai
Darussalam , Malaysia
dan Thailand .
Menurut hemat saya, prestasi KPK sepanjang tahunlah yang menyelamatkan Indonesia dari
kemungkinan terpuruk menjadi negara paling korup di dunia, bukan prestasi
lembaga hukum pemerintah seperti kepolisian dan kejaksaan. Seberapa parahkah
korupsi sekarang ini? Bibit S. Rianto, Wakil Pimpinan KPK dalam bukunya, Koruptor Go To Hell!: Mengupas Anatomi
Korupsi di Indonesia (Hikmah, Jakarta, Desember 2009, hal. 9) menyebutkan
dari catatan pelaporan ke KPK 2004-2008 tercatat lebih dari 31.000 laporan.
Pada 2008 saja tercatat lebih dari 8.000 laporan. Berarti dalam sebulan tidak
kurang 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan, atau sehari
37 laporan korupsi ke KPK.
Simpati kelas
menengah pada korban
Kemuakan para Facebookers dan Twitterist
berujung pada kembalinya Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah sebagai pimpinan
KPK dan dirayakan oleh para pegiat Koalisi
Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) dengan tumpengan di hari pertama
kembalinya mereka memimpin KPK agar semakin trengginas memberantas korupsi dan
membongkar setuntasnya megaskandal Bank Century. Apakah para Facebookers dan
Twitterist lalu mati-matian mau mengejar para pelaku kriminalisasi Chandra
M.Hamzah dan Bibit S.Rianto? Atau mencoba membongkar Bank Century, kasus utama
yang mempopulerkan istilah Cicak versus Buaya, ketika Susno Duadji tersadap
disaat KPK mulai mengendus skandal Bank Century ketika Susno Duadji berhubungan
dengan Boedi Sampoerna yang uangnya tersangkut US$183 juta di Bank Century?
Atau membentuk jutaan dukungan kepada Pansus Angket Century seperti dukungan
kepada Bibit dan Chandra.
Kenapa 1,4 juta Facebookers dan puluhan
ribu Twitterist tidak bertransformasi secara linier untuk mengejar pelaku
kriminalisasi seperti Anggodo Widjojo atau pelaku rekayasa lainnya, atau
mendukung pembongkaran Bank Century? Penulis memakai alat analisa kecenderungan
menghadapi risiko yang biasanya dipakai dalam ilmu manajemen keuangan, bahwa
pelaku keuangan atau konsumen umumnya terbagi dalam tiga kecenderungan
preferensi (psikologis) yaitu: pengambil risiko (risk taker), netral risiko (risk
neutral) dan penolak risiko (risk
avoider). Umumnya masyarakat memiliki kecenderungan netral risiko (risk neutral), misalnya lebih memilih
meletakkan uangnya pada tabungan walaupun keuntungannya tak besar. Para
pengambil risiko akan meletakkan uangnya di pasar modal atau pasar uang,
sedangkan penolak risiko akan menyimpan uangnya di bawah bantal.
Ketika media massa secara massal
memultiplikasi sosok Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai korban
rekayasa oknum-oknum penegak hukum (bahkan setelah Mahkamah Konstitusi
mempertunjukkan pelakunya Anggodo Widjojo, serta para oknum kepolisian termasuk
nama Bareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung M.Ritonga) maka
meledaklah dukungan tersebut. Kategori korban menimbulkan simpati publik
(terutama dalam masyarakat melodramatis) disamping risiko untuk mendukung
korban pun dalam kasus Bibit dan Chandra sangat kecil, terutama informasi itu mereka
lihat dari dukungan penuh media massa (cetak dan elektronik). Hal serupa kita
lihat pada kasus Koin untuk Prita, Prita adalah korban dan simpati publik juga
serta kecilnya risiko juga dimultiplikasi media massa secara massal.
Namun ketika arah advokasi ditujukan
pada pengejaran pelaku kriminalisasi Bibit dan Chandra apalagi ketika menajam
pada pembongkaran megaskandal Bank Century Rp.6,7 triliun yang membuat media
massa terbelah posisi kepentingannya. Maka publik kelas menengah ini mencium
bertambahnya risiko, maka jangankan satu juta pendukung untuk membongkar Bank
Century, menembus angka 100 ribu sulitnya tak terkirakan. Itulah sebabnya mimpi
berlebih sejumlah aktivis radikal bahwa gerakan Facebookers dan Twitterist ini
akan berujung pada perubahan politik radikal dan besar-besaran tidak terbukti.
Bahkan upaya menurunkan mereka dalam gerakan demonstrasi mendukung Bibit dan
Chandra pun tak lebih dari 2.000-3.000 orang saja yang bersedia memunculkan
diri dan wajahnya di jalanan. Tetapi ketidakbersediaan mengambil risiko
berlebih ini tidaklah mematikan semangat mereka untuk menjadi orang baik dan
berpikiran sehat, membebaskan Indonesia dari korupsi.
Gerakan politik
kelas menengah
Sebelas tahun reformasi dengan
pendidikan demokrasi hanya satu derajat di atas nol, menyebabkan demokrasi
prosedural dianggap cukup, walaupun demokrasi substantif disepelekan. Tak sukar
menemukan pelanggaran atas demokrasi substantif yang mengarusutamakan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warganegara: hak sipil, hak politik,
hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya.
Rasa simpati atau solidaritas kepada
korban adalah modal sosial utama dalam demokrasi, dan hendaknya selalu dirawat
untuk kemajuan demokrasi. Berpihak kepada korban, kepada Bibit dan Chandra,
kepada Nenek Minah, kepada Prita Mulyasari, bahkan kepada Luna Maya, itulah
nyawa demokrasi. Namun melalui pendidikan politik yang terencana, cerdas,
kreatif, dan inovatif, maka rasa simpati kepada korban dapat menjadi kekuatan
perubahan demokrasi yang berbuah pada kebijakan, regulasi dan institusi yang
melindungi setiap warganegara dari kemungkinan menjadi korban berikutnya.
Semestinya upaya mengejar pelaku kriminalisasi Bibit dan Chandra menjadi
langkah kunci untuk mencegah kriminalisasi berikutnya, seharusnya dibuat regulasi
baru UU atau Perpu Pembuktian Terbalik, seharusnya ada penolakan atas RPP Tata
Cara Intersepsi (Penyadapan) yang membunuh KPK dan dibuat Menkominfo Tifatul
Sembiring.
Seharusnya ada revisi UU ITE yang
mengorbankan Prita dan Luna Maya, seharusnya megaskandal Bank Century dibongkar
melalui KPK dan Pansus Angket lalu pembuat kebijakan keliru dan cacat hukum
ditendang sebagai pejabat publik dan pelaku perampokan uang rakyat itu
ditangkap dan diadili. Idealnya tidak ada risiko untuk mengubah rasa simpati
menjadi kekuatan politik perubahan. Namun fitnah, ancaman dan intimidasi terus
mewarnai langit politik kita terutama puncaknya pada Gerakan 9 Desember pada
Hari Anti Korupsi Sedunia dimana KOMPAK menjadi inisiatornya dan menyerukan
aksi serupa di 33 propinsi dan 400an kabupaten/kota. Semuanya berlangsung
damai, tanpa kerusuhan dan tanpa makar yang dituduhkan Presiden SBY, karena
KOMPAK adalah gerakan pakar bukan gerakan makar. KOMPAK mendasarkan gerakan
anti korupsi berdasarkan tiga prinsip dasar: antikekerasan, pluralisme dan
nonsektarian. Seharusnya SBY meminta maaf, tapi tak pernah dilakukannya, buat
apa merasa risih kalau bersih, bukan? Politik Machiavelianistik masih menguasai
langit politik Indonesia, warisan buruk dari rezim totaliter Soeharto-Orde Baru.
Kondisi itulah yang membuat gerakan politik menjadi momok yang menakutkan bagi
mayoritas kelas menengah, termasuk para Facebookers dan Twitterist.
Namun gerakan politik kelas menengah ini
sudah menunjukkan efektivitasnya, menggerogoti basis legitimasi politik dan
moral penguasa dan mendesakkan tuntutannya di dunia maya. Bila modal sosial ini
terawat baik dan dipoles pendidikan politik yang cerdas, kreatif dan inovatif,
penulis yakin suatu hari nanti akan menjadi kekuatan politik baru yang
mempercayai politik sebagai jalan damai dan jalan cerdas untuk melindungi dan
menerapkan hak-hak dasar jantungnya demokrasi (hak sipil, hak politik, hak
ekonomi, hak sosial dan hak budaya). Sehingga menyatakan sikap politik menjadi
kewajiban moral setiap warganegara tanpa harus mendapatkan risiko berlebih,
difitnah, diancam, diintimidasi apalagi dipenjarakan hingga dihilangkan seperti
di masa rezim totaliter Soeharto-Orde Baru.
Akhirnya, mengutip Aristoteles dalam
Nicomachean Ethics, bahwa, “Politics is
the science of the good for man, to be happines.” Ya, politik itu adalah
untuk kebahagiaan manusia. Jadi siapa lagi yang takut terhadap politik? Siapa
yang takut terhadap kebahagiaan?
Sumber tulisan : M.Fadjroel Rachman
***
A
new politics of non-party in Indonesia
Di Indonesia, Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono khawatir atas facebook, merebaknya ratusan ribu facebookers
yang memprotes penahanan pimpinan Komisi Anti Korupsi. Dia mengundang
tokoh-tokoh, menyatakan kekhawatiran dirinya digulingkan lalu membentuk sebuah
Tim Independen untuk memeriksa apakah penahanan itu menyalahi due process of
law. Dalam hitungan hari, penahanan itu ditangguhkan.
Inilah fenomena menarik di Indonesia.
Realitas virtual yang terwakili dalam “gerakan sejuta facebookers dukung
pimpinan KPK’ ini mampu mempengaruhi interaksi dalam kehidupan negara.
Facebookers yang hidup dalam dunia maya ini bertemu dengan interaksi sosial
dalam dunia real para pegiat anti korupsi. Ini juga diperkuat oleh media massa
yang terus menyajikan wacana dominan publik. Selain dalam kasus di atas, para
facebookers pernah memberikan solidaritas terhadap seorang ibu rumah tangga
Prita Mulyasari yang diadili secara pidana hanya karena telah mengeluh di dunia
maya atas pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit. Bahkan ada kasus terbaru
‘Evan Brimob’ di mana kritik para facebookers terhadap seorang pengguna
facebook yang kebetulan berprofesi sebagai polisi paramiliter yang langsung
meminta maaf dan meralat pernyataan yang sebelumnya yang menyatakan polisi tak
butuh masyarakat, masyarakat yang butuh polisi.
Meski tak selalu bisa diukur, ini
menunjukkan bahwa masyarakat sipil semakin aktif dalam interaksi kehidupan
sosial, ekonomi dan politik. Mereka mewakili individu dan kelompok masyarakat
dari pelbagai spektrum sosial, mulai dari organisasi non pemerintah di bidang
lingkungan, anti korupsi, hak asasi manusia, perdamaian dan keagamaan, pekerja
seni terkenal, cendekiawan, kalangan profesional hingga warga biasa, ibu rumah
tangga dan komunitas lokal di perkotaan. Mereka bersatu dalam jumlah yang
mencapai satu juta dari total pengguna facebook sekitar sembilan jutaan, dan
dalam jumlah ribuan mulai turun ke jalan-jalan, lalu memprotes kekuasaan
politik dalam pemberantasan korupsi pada penegak hukum. Tuntutan kolektif yang
mengemuka adalah anti korupsi.
Sejak lepas dari rejim otoriter
pimpinan Jenderal Soeharto, masyarakat sipil memiliki ruang publik yang begitu
besar. Namun demikian, perannya masih dilihat sebagai kontrol sosial yang
terbatas. Keterputusan hubungan antara basis-basis kelompok sosial dengan
partai membuat masyarakat sipil tak menjadi pihak penentu dalam perumusan
legislasi dan kebijakan publik. Secara politik marjinal dan mengambang secara
sosial (Demos: 2005). Logika politik demokrasi ditentukan oleh kekuatan partai.
Sayangnya, pengaruh kekuatan modal dan under representasi partai membuat partai
politik lemah dalam mengartikulasikan kepentingan publik. Politik menjadi
transaksional, karena dominannya pengaruh politik uang, patronase elite dan
modal. Kebijakan negara yang melemahkan kepentingan rakyat berlanjut tanpa
kontrol kuat dari partai politik. Kini, kekuatan facebookers masyarakat sipil
menggantikan kontrol demokratis yang dalam dunia real merupakan peran partai
politik di parlemen. Ia mendapat julukan ‘parlemen online’.
Inilah mungkin yang disebut masyarakat
sipil sebagai “the new politics”. Dalam sejarah kediktatoran militer di Amerika
Latin atau rejim totalitarian komunis di Eropa Timur, pemahaman masyarakat
sipil memang diartikan sebagai “the new politics”. Yaitu suatu ide dari sebuah
keyakinan individu-individu dan sebuah kelompok, di luar partai-partai politik,
yang ingin men-demokrasi-kan negara dan meredistribusi kekuasaan, tanpa mau
merebut kekuasaan negara itu sendiri.
Gerakan “the new politics” ini
diidentikan sebagai gerakan sosial baru yang muncul setelah 1968 dengan
perhatian pada isu-isu perdamaian, lingkungan, perempuan, hak asasi manusia dan
lain-lain. Hal ini mencakup upaya untuk membentuk sebuah ruang publik di mana
individu-individu dapat bertindak dan berkomunikasi secara bebas, independen
dari negara dan kapital. (Kaldor: 2003)
Sepertinya ini juga tak terlepas dari
tradisi kelahiran ‘civil society’ dalam pengalaman di Amerika pada 1970an dan
1980an. Apa yang disebut sebagai ‘civil society’ diharapkan mampu mengkoreksi
produk kesalahan dari kegagalan pasar dan krisis ekonomi seperti di Asia akibat
dari kegagalan dari ‘good governance’, khususnya korupsi.
Indonesia sekarang adalah Indonesia di
mana masyarakat sipil paling didengar, baik oleh negara maupun oleh privat, dan
menariknya adalah bukan karena gagasan ideologis. Sebagai contoh nyata dua
puluh tahun terakhir adalah menguatnya seluruh desakan keterbukaan dan
tatakelola pemerintahan yang bersih. Atau pada arena privat, munculnya praktik
tanggungjawab sosial bagi perusahaan. Padahal sebelumnya, negara hanya
mengutamakan pemungutan pajak, daripada bisnis yang beretika. Negara tak
berbuat apa-apa selama pajak itu dibayarkan, meski praktik operasinya mengancam
sistem ekologi.
Kini kehadiran masyarakat sipil begitu
terasa dalam percaturan politik Indonesia. Seorang Presiden SBY yang dipilih
langsung serta memperoleh dukungan partai mayoritas, termasuk dari partai non
pemenang pemilu, tak bisa mengabaikan kekuatan sosial di masyarakat.
Ini adalah a new hope towards stronger
civil society. A new hope for democracy. Mengapa? Ia menjawab salah satu ciri
penting dalam kebertahanan demokrasi yaitu kritik. Kritik mengandaikan adanya
autonomi. Fenomena FB adalah fenomena civil society yang aktif dan kritis yang
mengupayakan otonomi. Mereka mampu memilah operasi kekuasaan negara dengan
kelembagaan-kelembagaan yang memang dari semula diperuntukan bagi sebuah civil
society. Mereka memandang dirinya sama dengan lembaga anti korupsi. Ini semacam
integrasi atau engagement baru dengan institusionalisme demokrasi.
Dalam institusionalisme demokrasi hari
ini, partai politik di Indonesia tak memainkan kritik dan otonomi. Partai
terperangkap dalam formalisme dan logika transaksi. Partai tak lagi bisa otonom
sepenuhnya. Dia ikut dalam koalisi pemenang pemilu dan dalam bagi-bagi kue
kekuasaan. Nah, facebooker adalah gerakan yang berupaya mempertahankan otonomi
dan kritik partai yang melemah.
Meskipun saya menyebutnya sebagai
politik baru non kepartaian, ini tetap produk dari demokrasi lama. Ini
kesinambungan, yang menimbulkan harapan baru. Di balik semua keadaan yang orang
mengira semua akan mengintegrasi ke dalam insitusionalisme politik formal,
ternyata ada suara lain. Suara dari the silent majority.
Ditulis oleh Usman Hamid : Aktivis HAM
***
